Minggu, 09 Oktober 2016

Teenager Can Make Their Own Decision

Teenager Can Make Their Own Decision
by : Anisa Aulia

Teenager can make their own decision. When they grow up from child to teenager, they have gain a lot of knowledges. By their knowledges, they can choose the decision that they will take. It’s important for teenager to decided their faith, skill and dream to arrange their future.
It’s not impossible for people who have to choose their own faith when they are getting older. People who have parents with different faith commonly feeling confused about what faith that they have to choose. It’s very important to choose their own faith. They can be grow up in one faith or both of faith. It’s easier for them to choose their own faith if their parents don’t force them to choose the faith that they themselves choose. As a teenanger, they should have made their own decision without any doubt. Because faith comes from what someone believe in.
When someone was a child, she/he must be have something that they like to do. After that, seldom they will practice it. And when they grow up, they will find their own skill or passion. This skill which will make them more creative and active. It’s definitely good for their emotional and future, because we never know what does make we success in the future.
Everybody has dreams, since we were child until we’re getting older. As a teenager, it is important to decided their dreams. they should have know what dreams do they want to reach. The’ve known more about life and how to live a life, eventhough sometimes we change our dream when we find something more intersting or something that make us intersted in. But for dreams, people will try hard to reach it.
Teenager is the unstable phase. They are usually hard to decide their decision. But by the time, they can decide something little by little. Faith, skill and dream are the important decision that a teenager has to make.

10-29-2016

A Satisfying Result Comes From A Sufficient Time

A Satisfying Result Comes From A Sufficient Time
by : Anisa Aulia

People work better when they have sufficient free time. It’s important to work in the sufficient time. First, people will be enjoy do their job. Second, they will not be in under pressure. And the last but not least, they will feel satisfied with their job.
People will be enjoy do their job in their sufficient free time. It’s possible for people being stress when they do their job. It can be due to they’re afraid of the deadline. But when people do it the sufficient free time, they will enjoy their job. They will forget about the deadline, the responsibility about their job so they can be focused on their job.
People usually feel stress when they face their job. It drives them into the under pressure feeling. It’s absolutely bad for their job. They will not think clearly and correctly whe they’re working. Their brain is heating, their head is spinning and as the result, their mind can’t thinking. Commonly, creativity and satisfactory come from a peace mind. When they work in the sufficient time, they will make a very great result in their job.
Thanks to working in the suffcient time, people will be satified with their job. It’s not impossible for them to gain the best mark or appreciation from their boss or lecturer. And it leads into the happy feeling. After that, working in the sufficient time will be the alternative way that people choose to finish their job. So, they will not postpone their job in another chances.
Working in the sufficient time is very halpful. But, some people are still hard to do that. They rather choose to take a rest than to finish their job. Whereas, it affects their goal. Above all, we have to be serious in doing everything. We have to love what we do, and do what we love.

11-05-2016

Learning Foreign Language In Primary School is Better

Learning Foreign Language In Primary School is Better
by : Anisa Aulia

It’s better to learn a foreign language in primary school than in secondary school. There are some reasons why the advantages of this outweight the disadvantages. First, primary students are easily to learn. Second, learning foreign language is important. Third, learning foreign language makes childern have an open minded.
Primary students are still easy to learn. In primary school, students are commonly learning foreign language. It’s because they are easy and fast learner, childern can receive knowledge and information easily. That’s why we need to teach them foreign language since they are childern. As the example, when i was in primary school, I learned English because English is universal language in the world.
Learning foreign language is important. Due to most of the world use English as the universal language, therefore most of students in the world learn English as their first or second language since their in primary school. It can easily them to communicate with people from around the world. Even we are from different country, we still can talk each order by using English. Beside that, learning foreign language can enrich or improve our skill. If we can speak in some language, we can find job easily.
Learning foreign language makes childern have an open minded. By learning foreign language since in primary school, students will know more about another culture beside their own culture. It’ll make them learn how to tolenrant in each culture as the same human being.

Learning foreign language can make us more close with people around us or  even in around te world, we can also develop our language skill or knowledge by learning foreign language. By learning foreign language, we can travel the world.

10-09-2015

Selasa, 02 Agustus 2016

annyeonghaseyo~ akhirnya author kembali membuka laman ini setelah beberapa waktu diculik oleh kesibukan. Sedikit curhat nih, dari kemaren author udah punya bahan buat bikin cerpen baru, tapi males nulis dan ujung-ujungnya suka stuck -____- oh inspirasi, come to mama please !!! :') nah, sekarang author muncul dengan sebuah imagine. imagine ini adalah imagine pertama yang author bikin. Imagine pertama selama sepanjang sejarah sembilan tahun jadi fangirl :') jujur aja nih ya, jaman sekarang alias di tahun 2016 ini, jadi fangirl itu bisa bebas berekspresi bebas dengan cara yang sangat mudah. pokoknya enak banget deh ! cukup curhatnya ah, sekarang langsung aja author kenalin imagine ini. Enjoy it !

Title : Not Seeing You In The Same Way
cast : you (y/n) and Park Chanyeol.
lenght : one shot
Author : Sunny



Beberapa hari ini, kamu mendapati artis asuhanmu, Park Chanyeol, begitu rewel padamu. Sebagai managernya, kamu menjadi kewalahan menghadapi sikapnya yang angin-anginan. Kadang dia baik, kadang tega, kadang jutek, bahkan kadang dia bersikap manis padamu. Meskipun begitu,  kamu tetap bersikap tegas, dewasa dan hangat. Padahal kamu setahun lebih muda dari Chanyeol.
(di apartemen Chanyeol)
C : (y/n) kosongkan jadwalku akhir pekan ini !
Y : apa ? kenapa mendadak sekali ? kamu ini ya, apa berbuat seenaknya jadi watak kamu akhir-akhir ini, Yeol ?
C : pokoknya kosongkan. Ada yang harus aku lakukan.
Kamu merasa kesal dan hampir memarahi Chanyeol. Tapi mengingat Chanyeol yang jarang minta libur, terpaksa kamu harus membatalkan acara talkshow yang sementara belum dikonfirmasi.
Y : baiklah. Hanya hari Minggu.
C : *melirikmu lalu tersenyum* gomawo. Oh iya, (y/n) tolong ambilkan aku minum.
Y : *melotot pada Chanyeol, mengambil botol air mineral di kulkas, lalu duduk di samping Chanyeol* memangnya kamu mau kemana ?  Kamu tau, mengatur jadwalmu itu membuatku setengah frustasi. Untung saja undangan itu masih bisa kubatalkan.
C : ke suatu tempat, bersama seseorang. Penting. Dan.. *Chanyeol berbalik menghadapmu* terimakasih sudah menjadi partnerku (y/n). Apa jadinya aku tanpamu.
Kamu tersenyum lembut pada Chanyeol yang menatapmu dengan tulus. Lelaki ini sungguh baik seandainya sikap angin-anginannya ini tidak sering muncul ke permukaan. Tanpa sadar, hatimu menghangat.
Y : jadi, siapa seseorang itu ? teman kencan ?
Tanpa sadar, kamu merasakan denyut aneh di jantungmu ketika membayangkan lelaki baik nan menyebalkan ini memiliki teman kencan. Tapi kamu mengabaikan perasaan itu.
C : bukan, dia teman lamaku. Beberapa bulan ini, dia membuatku seperti orang gila. Aku harus segera mengatakan perasaanku. Aku... ternyata aku mencintainya.
Chanyeol mengusap wajahnya, dia tampak frustasi. Saat melihat Chanyeol yang begitu kacau, hatimu terasa sedih. Chanyeol tak pernah terlihat sekacau ini sebelumnya. Perempuan itu pasti sangat berarti untuk Chanyeol.
C : jangan sentuh aku (y/n), kamu membuatku seperti tidak berdaya.
Y : *kamu memukul bahunya yang tadi sempat kamu usap perlahan* ya Park Chanyeol ! aku ini sedang menyemangatimu. Percayalah, dia pasti akan membalas perasaanmu.
C : begitu ? *dia menatapmu dengan binar penuh harapan* tapi kurasa tidak, karena dia... di sepertimu (y/n) !!!
Y : mwo ? naega ?! memangnya kenapa dengan wanita sepertiku ?
C : ya ! wanita sepertimu itu adalah wanita yang paling aku benci sebenarnya. Karena sulit ditaklukan dan memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Pokonya, wanita seperti itu menyebalkan ! tapi dia... ah astaga, aku sungguh...
Y : ya ya ya !!! wanita sepertiku ini juga wanita normal. Aku juga suka laki-laki. Kenapa kamu membedakannya ?
C : jadi kamu menyukaiku ? *Chanyeol bertanya dengan cepat*
Y : Yap !! *jawabmu tak kalah cepat. Lalu kamu membekap mulutmu sambil bertatapan dengan Chanyeol. Berbicara lewat tatapan.* ya, Chanyeol... sudahlah, kamu sangat berhak untuk  percaya diri. Siapapun dia, pasti akan membalas perasaanmu. Percayalah..
C : hmm.. baiklah, aku pegang ucapanmu.
-skip ke hari Minggu-
(di apartemen Chanyeol)
Y : kamu dimana ? ini aku udah di apartemen kamu. Lagi demam juga. Tetap jadi kecannya ? *cecarmu via telepon*
C : jadi. Cepat, kamu turun ke kolam renang apartemen.
Y : bawel banget ya. Ini aku udah jalan ke kolam. Awas, jangan masuk kolam atau aku seret kamu ke studio IdolTalks sekarang juga.
Begitu kamu sampai di kolam renang apartemen Chanyeol, kamu menemukan lelaki itu dengan setelan polo-shirt putih dan celana jeans hitam. Dia sedang berbicara dengan seorang wanita yang memegang buket bunga di tepi kolam. Wanita itu tersenyum manis pada Chanyeol. Sepertinya cinta Chanyeol terbalas, lirihmu terasa sedih. Namun kamu menepis perasaan itu. Hubunganmu dengan Chanyeol harus tetap profesional. Tanpa sadar langkahmu terasa berat, namun akhirnya kamu berdiri di samping Chanyeol.
Y : kurasa pesonamu mutlak terletak di wajah dan sikapmu. Baju seperti ini dan nuansa sore aja bisa bikin wanita itu nerima kamu. sungguh gak rom..
C : tarik nafas
Y : apa ? oh..
BYUUUUURRR !!!
Kamu terjatuh ke dalam air. Tidak sendiri, kamu bersama Chanyeol ! lelaki itu menarik tanganmu ke dalam air dan membawamu ke sudut terdalam di kolam renang ini. kamu panik karena kamu terkejut. Kamu meronta, namun Chanyeol tetap menarikmu menuju rantai kecil yang terikat di kaki tangga kolam renang. Di rantai itu, ada cincin yang berkilauan. Kamu menatap Chanyeol dengan tanya. Namun lelaki itu menatapmu sambil membentuk tanda hati dengan jempol dan telunjuknya, lalu ia melirik cincin itu.
Butuh beberapa detik untuk kamu mengerti maksud Chanyeol, kamu menatapnya tak percaya. Sementara Chanyeol hanya tersenyum padamu. Persediaan oksigen yang semakin menipis membuatmu menarik cincin itu hingga terlepas dari rantainya. Lalu kamu menarik Chanyeol ke permukaan.
Y : ya, micheonnabwa ?!!
C : *dengan cepat Chanyeol mengecup keningmu* saranghae ! *ungkap Chanyeol sambil mengatur nafasnya*
Y : *kamu membalas tatapan dalam Chanyeol* kamu sadar apa yang baru aja kamu lakukan ?
C : ya, aku sangat sadar (y/n).
Y : kalau begitu lupakan kejadian ini.
C : Tapi aku gak bisa menahannya lagi. Kamu juga bilang kamu menyukaiku.
Y : kita harus profesional, Chanyeol-ssi.
C : persetan dengan semua itu. Aku terlalu nyaman denganmu !! aku tidak bisa melihatmu lagi sebagai manangerku. Aku tidak bisa melihatmu lagi tanpa merasa jantungku yang bagai mau meledak. *Chanyeol menatapmu dengan penuh kasih sayang, ia lalu memasangkan cincin yang masih kau gengam di jari manismu.* bisakah kita.. mulai sekarang.. berkencan ? *tanyanya dengan nafas yang naik turun. Sementara tangannya yang terasa panas masih menggengam tanganmu*
Y : tapi aku man...
C : kita pikirkan hal itu nanti. Aku ingin tau perasaanmu dulu.
Y : Chanyeol... kurasa aku mencintaimu tapi...
C : tapi apaaa ? katakan dengan jelas.
Y : tapi siapa wanita itu ?!
Chanyeol menatapmu penuh arti. Ia melirik perempuan itu yang kemudian memberikan buket bunganya pada Chanyeol.
C : untukmu. Dia florist disini. jadi bagaimana ? bukankah kalau kamu cemburu berarti kamu yakin mencintaiku ?
Y : Nado saranghae, Chanyeol Oppa. *kemudian Chanyeol memelukmu*

                -end-

Sabtu, 18 Juni 2016

Stranger Become Stronger

Apa saja yang bisa menggambarkan suatu bentuk kebahagiaan ? suara tawa ? tulisan ? air mata ? gambar ? sebutkan semuanya, maka itulah yang aku miliki hari ini. Kebahagiaan tak bisa aku bendung lebih lama lagi, semuanya terluapkan melalui cerita pendek saat diperjalan pulang bersama mama dan tulisan sederhanaku disini. Aku tak akan banyak menuturkan prolog, jadi biarkan aku menceritakan pengalaman luar biasaku hari ini, disini, sekarang juga.
Biasanya aku hanya memerlukan waktu satu jam untuk sampai BIP. Tapi hari ini, dua kali lipat. Dua jamku yang sangat panjang dan melelahkan. Berdesakan di angkutan umum, terjebak macet dan panas. Biasanya aku hanya perlu menyalip beberapa kendaraan guna mempersingkat waktu dengan motor kesayanganku. Namun pasca kecelakaan hari senin kemarin, aku belum cukup  berani untuk berkendara sendiri.
Hari ini, adalah hari yang dinantikan olehku dan teman-teman baruku, bisa ku sebut sebagai keluarga baru. Kami sudah saling mengenal lama melalui salah satu media sosial. Seperti tulisanku sebelumnya, aku memang banyak memiliki teman yang ku kenal melalui komunitas otaku. Kali ini, aku, dan teman-temanku yang berdomisili di Bandung, didatangi oleh temanku yang datang jauh dari Bali. Mereka adalah Hoodie, Mink dan Pandu. Sejak lama mereka sudah berencana akan datang ke Bandung, akhirnya datang juga.
Hari ini kami janjian di BIP. Jam 2. Tapi aku datang jam setengah tiga, macet yang sangat parah. Begitu aku datang, mereka sudah menungguku. Kasihan mereka =))) wajah mereka tak asing walaupun kami baru bertemu sekali. Ya ya ya... beberapa sudah pernah kutemui dua-tiga kali. Seperti Rays, Karin dan Abbis. Mereka kan, memang orang Bandung. Jadi wajar saja kalau kami sudah beberapa kali bertemu, walaupun tetap saja susah untuk sekedar bertemu.
Hey, tunggu..
“Ly, gaya banget pake masker ?” sindir mereka. Astaga, aku belum sembuh total. Doakan ya ^^
“akhirnya kita ketemu !!!” kata kami bangga dan senang. Jelas, perjuangannya tidak mudah memang.
“eh iya, sekarang kita kemana dong ?” tanyaku, melihat kondisi kami, yang sudah seperti rombongan anak hilang, belum lagi berdiri dengan tidak jelasnya di depan toko di hari puasa pula.
“oh iya, kita bikin fs aja dulu.” Saranku. Mengingat banyak member yang tidak bisa ikut menjadi sangat cerewet di grup meminta foto selfie kami dengan kertas yang bertuliskan nama  mereka.
Setelah itu kami, yang bagaikan sekumpulan anak ayam kehilangan induk, berjalan-jalan mecari tempat untuk foto di tengah keramaian BIP yang mendadak padat sekali.
Ketemu !!!
Akhirnya kami memutuskan untuk berfoto di koridor dekat Giggle Box. Yang ku tahu tempat ini sepi, tapi hari ini jadi sangat ramai. Belum lagi ditambah kereta mini yang berputar-putar di sekeliling kami. Di tambah, kami menjadi tontonan pengunjung yang baru saja menjejakan kaki di mall. Mungkin mereka akan berpikir, “guru mana yang tega membiarkan murid-muridnya terpisah dari rombongan bis ?”
Setelah berfoto, kami bingung harus kemana dan melakukan apa. Akhirnya, kami memutuskan untuk bermain di Timezone. Sekian rupiah dari saku kami keluarkan.
“dua rebu !” Si Abbis ngotot. Padahal dia baru beli tiket nonton XXI weekend.
“enak aja Abbisyah !!!” balasku yang di balas cengiran Abbis.
Akhirnya, sekian puluh ribu aku keluarkan. Mereka pun terpancing, dan alhasil sekian puluh ribu terkumpul ditanganku. Setelah itu, aku dan Karin membeli kartu Timezone. Dan yatta !!! kami dapat bonus saldo 100%. Puaslah kami bermain-main hari ini.
Kurasa Hoodie yang paling semangat. Baru dapat kartu, dia udah ngajak joged di permainan dance yang injak-injak kotak warna-warni itu (jangan salahkan aku kalau aku belum pernah tau apa nama permainan itu). Belum lagi, diam-diam dia hapal dengan lagu-lagu K-pop. Siapa sangka ?! =)))


Jumat, 10 Juni 2016

Hidup Sekali Lagi



Halo, nama asliku Anisa Aulia, si empunya dari blog oranye kesayanganku ini. Yang mengaku-ngaku Sunny, padahal memang benar nama penanya Sunny. Kali ini aku mau share pengalaman terbaru, pengalaman duka di awal Ramadhan 2016 ini. Hm.. aku akan mengawalinya dengan mengucapkan Alhamdulillah. Aku berterimakasih pada Allah SWT yang masih memberikanku kesempatan untuk hidup hingga hari ini, dan bisa menuliskan pengalaman ini saat ini. Percayalah, ketika aku menulis pengalaman ini, keadaanku sudah jauh lebih baik dari awal kejadian yang ku alami.
Hari pertama di bulan Ramadhan, semuanya di awali dengan sesuatu yang berbau awal. Pertama, hari senin. Kedua, hari pertama aku kembali bekerja di kantor tante. Ketiga, hari pertama puasa. Semuanya serba pertama. Entah apa maksudnya, aku tak ada firasat apapun tentang semua kebetulan itu. Aku menjalani hari sebagaimana mestinya. Ya... paling tidak begitulah yang aku pikir sampai kejadian itu terjadi dan membuatku tak habis pikir sampai sekarang, kurasa aku tidak serela yang aku pikir.
Mama antusias sekali terhadap hari pertama aku kembali bekerja. Berbanding terbalik dengan ayah yang nampak setengah hati melihat anaknya mencari uang jajan sendiri.
“emangnya mau kamu apain uangnya ?”
“tabunglah.. masa aku gak punya rekening sendiri, mam.”
Alhasil mama mendukung aku dengan sepenuh hati, tahu sendiri anaknya banyak mau tapi  punya sedikit dukungan.
Hari pertama berkerja, hm... kalau kamu tanya gimana rasanya, rasanya deg-degan. Meski berurusan dengantante sendiri, bukan berarti aku bebas dari omelan. Sebelumnya aku udah pernah cerita tentang pengalaman kerjaku di blog ini, kan ? jadi ya gitu deh, gak akan beda jauh rasanya sama aja. Tanteku tetep jadi orang yang idealis, tegas, perfeksionis dan royal. Tapi dibalik semua sikapnya yang kadang bikin aku tahan nafas, tanteku itu tetep orang yang baik.
Hari pertama bekerja, hari pertama puasa pula. Sebenarnya hari ini diawali dengan sedikit masalah yang membuatku agak kehilangan mood. Dimulai dari mama yang mengomentari gaya pakaianku (yang menurutku pantas dan nyaman), hingga tukang parkir rese yang mengancam tarif parkir mahal bila aku tidak menuruti kemaunnya untuk tidak mengkunci ganda motorku. Tapi setelah itu semua, aku disambut dengan antusias oleh para pekerja di kantor tante yang semuanya sudah ku kenal dengan baik karena meski hampir semua laki-laki (kecuali sepupuku Lidya dan tanteku), meski kami berbeda umur dan jaman, tapi mereka bisa menjadi teman yang asik.
“wah, asisten si ibu nambah satu, makin sering aja di suruh masang sama ngukur.” Celoteh salah seorang karyawan tanteku.
“oh jelas dong, kan biar cepet beres, Pak Jum,” balasku jenaka.
“Ca, kamu puasa ?” tanya sepupuku Lidya.
“lagi nggak Ya, hehe. Kamu puasa ?”
“puasa sih, tapi gak tau. Kayanya batal deh, soalnya kaya yang belum bersih.”
“hm... cek dulu lah. Lumayan, kita bisa godin bareng lagi nanti.” Celetukku.
“ya udah, kamu makan gih. Jajan aja sana, ca.”
“nggak ah Ya, aku males. Lagian bingung mau jajan apa. Gak enak juga.”
Dari percakapan singkatku dengan Lidya itu, entah kenapa aku langsung merasakan ada sekelebat firasat aneh, tapi aku biarkan. Mungkin Cuma perasaan. Aku menghela nafas berat. Padahal, kalau boleh jujur, aku sebenarnya cukup lapar dan sangat haus. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan, meskipun lalu-lalang aku melihat orang makan dan minum di sekitar IBCC.
                Jam-jam yang merepotkan berlalu dengan lambat. Yap, lambat. Kadang aku merasa ingin cepat pulang setiap kali bekerja di kantor tante. Tanteku sungguh menuntut kecepatan dan ketelatenan. Kadang aku suka berbisik kalau sedang melayani pelanggan tanteku, takut salah bicara. Tapi, kadang aku juga merasa waktu berlalu dengan cepat ketika banyak sekali kerjaan yang harus kuselesaikan dengan sepupuku. Menulis penawaran, mengirim penawaran, mengirim pesanan barang, mengkonfirmasi pelanggan, membujuk para pekerja lapang untuk cepat melakukan pengukuran atau pemasangan barang yang jumlahnya bisa membuat toko tanteku terlihat bagai gudang yang sempit sekali.
                Hingga akhirnya, jam menunjukkan pukul lima. Waktunya pulang. Saat itu, di kantor tante, aku malah seperti sedang kumpul keluarga. Omku datang dengan anaknya yang tak lain adalah sepupuku, Shania. Selain itu, A dika dan Reza juga datang, rencananya mereka ingin pergi gym dan mereka sudah janjian untuk kumpul di kantor tante dan akan pergi bersama. Aku sangat antusias dengan ide itu melihat perut buncit mereka yang... Ya Tuhan, bukankah bagus kalau satu lingkaran besar di perut kalian berubah menjadi enam bentuk persegi yang keras ?
                Rencana, tetaplah rencana. Kami semua sudah bersiap untuk pulang, padahal sore itu hujan. Tidak deras, tapi cukup membuatku waspada. Aku tak suka hujan. Tapi mau bagaimana lagi ? semuanya sudah mulai bersiap dan akan beranjak pergi. Dan akupun sebenarnya tak masalah di tinggal sendiri, tapi aku ingin cepat pulang. Alhasil aku memakai jas hujanku dan berkendara pulang.
                Di perjalanan, hujan mulai turun kembali. Aku sudah terima dengan resiko bajuku yang akan basah karena jas hujanku layaknya bocor atau memang tidak tahan air. Selain resiko itu, aku tidak memikirkan resiko lain. Perjalanan macet pun terasa wajar mengingat jam lima sore adalah jam pulang kerja ditambah orang-orang sibuk menambah kecepatan supaya bisa kumpul di rumah dan buka puasa hari pertama bersama keluarga. Begitu juga dengan aku, meskipun aku sedang tidak puasa.
                Aku tidak pernah menyangka bahwa hari itu aku nyaris menjemput maut. Aku kecelakaan. tetaptnya di dekat jalan Kawaluyaan. Seseorang menabrak motorku dari belakang dan aku kehilangan keseimbangan hingga aku terjatuh dan tertindih motorku sendiri. Orang-orang mulai berdatangan menolongku yang hanya berteriak kesakitan karena tubuhku bagai ditindih batu besar. Aku marah sekali, sedih dan juga sakit hati. Bagaimana bisa musibah ini datang di awal perjalanan liburan panjangku ? jahat sekali si penabrak itu. Orang yang menolongku bertanya, apa aku tahu siapa penabrak itu ? bukan hanya orang yang menolongku, tapi hampir semua orang yang tau musibah ini, bertanya apa aku tahu orangnya ? tentu saja tidak ! aku ini korban tabrak lari, si penabrak kabur entah kemana, bagaimana, sendiri atau tidak, laki atau perempuan, muda atau tua, aku sama sekali tidak tahu identitasnya. Seandainya saja aku tahu, akupun pasti akan melaporkannya dan meminta ganti rugi. Pasalnya, orang gila mana yang mengendarai kendaraan dengan tidak hati-hati di tengah hujan dan macet ?! sungguh gila orang itu.
                Aku menangis, tentu saja. Sakit semuanya. Hatiku sakit, tubuhku sakit. Aku tak habis pikir semuanya akan menjadi seperti ini. Ini semua terasa sungguh keterlaluan. Aku yang saat itu sangat terkejut dan kesakitan hanya bisa menangis dan berteriak marah, meluapkan emosiku yang kubiarkan keluar begitu saja. Aku tak peduli, toh aku tak akan bertemu mereka dua kali. Aku bakan sudah tak mengingat wajah orang yang menolongku, tapi aku tak melupakan mereka. Kurasa aku tetap ingat dimana aku diamankan pasca kecelakaan.
Seorang lelaki menolongku, kukira dia polisi, tapi ternyata bukan. Dan aku tak ambil pusing. Dia bertanya namaku, usia dan orang terdekat yang bisa aku hubungi. Aku mengeluarkan ponselku yang untungnya aman di dalam tas yang kusimpan di bagasi motor. Tanganku gemetar, tubuhku kesakitam, aku bagai tak memiliki tenaga barang untuk menelepon orang di rumah. Dan sangat disayangkan aku tidak bisa pingsan, padahal aku sangat ingin kehilangan kesadaran saat itu.
Aku menelepon mama, meski aku tahu itu bukan ide yang bagus. Tapi dalam beberapa nada sambung, panggilanku terjawab. Aku.. yang sebenarnya memiliki luka paling parah di mulut, berusaha bisa. Sedih sekali mengingat gigiku yang patah karena kejadian ini. Bicara saja susah. Suaraku gemetar dan belum terkendali. Bicaraku kacau. Mulutku penuh darah dan liur, juga mulai membengkak. Sambil menangis aku melaporkan keadaanku pada mama. Aku tak begitu jelas mendengar ucapan mama di telepon, tapi yang aku tahu pasti, mama pasti panik dan cemas.
Mengetahui kondisiku yang mulai lemah, sangat tidak berdaya dan terus menangis, lelaki yang menelongku itu menjelaskan kondisiku pada mama. Kurasa mama mengerti dan percakapan via telepon itu terhenti.
“kamu tunggu ya, nanti habis ini ke rumah sakit. Tadi mama kamu kan ? dia lagi di perjalanan kesini.” Hiburnya berusaha menenangkanku. “sudah, jangan menangis terus. Adek tetap cantik kok.”
Aku semakin keras menangis. Bagaimana bisa kondisi seperti ini tetap disebut cantik ? gigiku patah dan bibirku bengkak. Belum lagi kepalaku yang sakit dan tubuhku yang bagai remuk akibat tertindih motor kesayangan sendiri. Setelah tangisku reda, dan aku mulai tenang, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Toh aku masih bisa jalan meski kepayahan, motorku juga sepertinya masih bisa dikendarai. Tapi lelaki itu bagai bisa membaca pikiranku.
“motor kamu aman. Spionnya yang copot juga sudah disimpan. Habis ini kamu ke Al-Islam ya, Dek.”
Aku menggeleng. Aku gak mau ke rumah sakit.
Orang itu terperanjat. Mulai kesal. “kalau adek gak ke rumah sakit, lantas adek mau kemana ? ini harus segera di obati.” Cerocosnya yang membuatku menangguk-angguk saja, patuh.
Tak lama kemudian, ayah dan mama datang menjemput, menggunakan motor. Mama mengambil motorku, sementara ayah mengantarku ke rumah sakit. Aku langsung dilarikan ke IGD. Meskipun berlabel Gawat Darurat, tetap saja pelayanannya tidak “segawat” yang tertulis di pintu masuknya. Begitu lama aku menunggu untuk mendapatkan penanganan. Padahal aku sudah ingin sekali merobek celana jeansku dengan gunting operasi dan melihat luka yang sedari tadi sudah berdenyut minta di atasi.
Setelah dokter memerika keadaanku, aku bersyukur keadaannya tidak parah. Tidak ada luka sobek, hanya memar dan lecet. Tapi ya, menurut perawat lemah lembut yang mengobatiku, gigiku harus disambung supaya terlihat seperti normal lagi. Meskipun aku tidak bisa segera mendapatkannya karena bibirku masih bengkak. Makan dan bicarapun sulit sekali !
Bicara soal makan, aku merasa sangat menyesal karena tidak mengikuti saran Lidya yang menyuruhku makan saat di kantor tadi. Sekarang aku sangat kepayahan barang untuk mengenyangkan perut kecilku. Alhasil aku hanya bisa makan bubur bayi begitu sampai di rumah. Rasanyapun jadi tak enak, dan tidak kenyang. Aku merana sekali begitu sampai di rumah. Aku masih terus menangisi keadaan yang terasa sangat tidak menguntungkan. Gigiku patah, hilang, aku langsung merasa keberuntungan sangat tidak berpihak padaku. Bagaimana bisa aku kehilangan gigi di usiaku yang baru sembilan belas tahun ? menunggu tumbuh lagi pun rasanya mustahil, jadi tak ada jalan lain selain disambung. Sungguh ironis !

Namun yang paling penting, aku selamat. Aku masih di beri umur panjang, masih di beri kesempatan untuk belajar lebih baik, memahami tentang hidup yang sebenarnya dari setiap pengalaman yang aku dapatkan. Karena itulah proses belajar yang sesungguhnya. Aku terus berusaha merelakan semua kejadian ini, semuanya sudah terlanjur terjadi dan sudah berlalu. Tidak perlu menyesal. Toh semua ini bukan akhir. Allah SWT sungguh menyayangiku. Ia membiarkanku menerima semua cobaan ini karena Ia tahu aku adalah perempuan yang kuat dan mampu menanggung ujian ini. Dan ya, kurasa sejauh ini aku berhasil menjalaninya. Hal ini tidak terlepas dari dukungan keluargaku yang sangat mencintaiku tanpa syarat, yang menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Aku sangat beruntung memiliki mereka. Terimakasih semua, terimakasih Mama dan Ayah, aku sayang kalian.

Selasa, 07 Juni 2016

Rindu

haiii, author's back ! hmm... kapan ya terakhir nulis disini ? entahlah, aku lupa. beneran deh, pas nulis ini aja gak lihat tanggal hehe --a kali ini, author mau up tiga puisi author. Apaauthor lagi galau ? sayangnya nggak tuh. Cuma lagi dapet inspirasi aja. eh tapi, sekedar info aja sih, menurut author dan beberapa dosen yang pernah cerita ke author, tulisan yang bagus itu justru adalah tulisan yang ditulis ketika lagi galau. okay the, sebenernya author emg gak galau, tapi author lg emosi aja. udah kok. satu lagi, semoga kalian betah ngobrak-abrik blog oranye ku ini. semoga kalian suka ya ^^ kalo nggak juga gapapa *hiks*
selamat membaca ^^ ayo kita budayakan membaca !


Rindu
Rindu itu banyak rasanya.
Dingin bagai malam.
Berisik bagai ngeongan kucing lapar.
Anyir bagai bau selokan.
Keras bagai kayu.
Lantang bagai seruan pertanyaan dari ibuku.
Nakal bagai tatapan penasaran adikku lewat jendela kamar.
Renyah seperti suara tawamu
Dan..
Hilang, seperti kursi panjang yang kosong
Yang setiap kali aku duduki kala kau menelepon diriku
Dan menyapa,
“selamat malam sayang, kamu lagi apa ?”
Kini pertanyaan itu tak ku dengar lagi.

Kepada Kamu


Kepada kamu,
Pagi ini cuaca dingin sekali, sedingin sikapmu padaku.

Kepada kamu,
Bagaimana kabarmu sekarang ?
Aku harap tidak lebih baik dari kondisiku sekarang yang sudah merelakanmu.

Kepada kamu,
Yang saat itu membuat senja tidak terlihat lagi cantik dimataku.
Karena saat itu aku patah hati.
Dan senja menjadi saksi.

Kepada kamu,
Yang pernah mengobati, lalu melukai
Berbahagialah kamu sepanjang sisa umurmu
Carilah pengganti yang lebih baik dariku
Dia yang siap mempertahankanmu manakala kau berubah semaumu

Kepada kamu,

Dari aku yang pernah tersakiti namun tetap berbaik hati.

Mari Kita Bicara



Mari kita bicara
Ini bukan tentang cinta
Melainkan tentang ketidakberuntungan
Dulu kau bilang cintamu berulang kali kandas
Bukan karena dirimu
Melainkan ketidakberuntunganmu

Mari kita bicara
Tentang hasrat ingin memiliki satu sama lain
Tentang tali tak kasat mata yang ingin kau ikatkan di antara aku dan kamu
Tentang naluri lelakimu terhadap aku yang perempuan
Kau mencintaiku, sigkatnya begitu
Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya dengan lelaki.
Kecuali dirimu

Mari kita bicara
Bukan tentang cinta
Melainkan tentang keberuntungan
Dulu aku dan kamu saling bertukar cerita
Saling bersyukur karena menemukan pendamping seperti dirimu
Aku beruntung memilikimu
Terimakasih telah mencintaiku

Mari kita bicara
Kali ini tentang cinta
Termakasih karena telah mencintaiku
Terimakasih karena telah membuatku merasa beruntung
Namun kini tidak lagi
Kali ini, ternyata aku yang kurang beruntung
Ikatan ini tidak begitu kuat
Terputus
Kandas karena ketidakpastianmu
Maka disini, kaulah yang beruntung


-sunny-

Rabu, 25 Mei 2016

Celoteh Seorang Teman Anak Rantau


Kau marah, kau merasa bersalah.
Kerjaanmu meminta maaf, seperti disini kaulah yang bersalah.
Kau bukan bersalah, kau hanya dilemma, rindu kampung halaman. 
Aku mulai tak kerasa disini, begitu selalu ucapmu padaku.
Kau bagai sendiri, padahal kau punya aku.
Kau bukan bersalah, kau hanya gelisah.
Pundakmu penuh beban, padahal tak seorangpun ada yang menyimpannya disana.
Bebanmu datang sendiri, tanpa sadar kian menumpuk seiring bertambah tuanya dirimu, juga aku, kita.
Kita tumbuh bersama.
Dari asing menjadi saling.
Kita telah lama berada di tanah yang sama.
Menghirup udara yang sama.
Memainkan permainan yang sama.
Makan dari piring yang sama.
Banyak berteman dengan orang yang sama.
Kita sudah terlalu menjadi saling.
Berapa banyak bukti lagi yang kau perlukan untuk membuatmu lebih kuat untuk bertahan disini ?
paling tidak, sampai kita sama-sama yakin kita telah berhasil.
Kepahitan hidupmu disini akan menjadi manis disana, di tanahmu.
Terbayar oleh kemenangan dari keberanian seorang gadis kecil yang menantang kehidupan di tengah kemelut kota dan segala urusannya.
Goyah di relungmu tak harus sulutkan motivasi di kepala cantikmu.
Kau pandai, masa depanmu akan cerah.
Dan mereka yang kau rindukan, akan mendekapmu erat, bersyukur karena mereka tahu bahkan karang tak setegar dirimu.

-sunny-
Bandung, 25 Mei 2016
Tribute to all of friends o'mine.

Jumat, 13 Mei 2016

Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss

Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss
author : Sunny

            Mataku menyalang jauh ke antah berantah, tempat dimana semua rasa sakit itu berkumpul, bersatu dan melahirkan duka. Dadaku seketika sesak –amat sesak– bahkan hingga aku seringkali berpikir, apa aku punya kelainan pernapasan ? kalau ya, kenapa aku hanya merasakannya ketika mengingat duka itu saja ? duka yang sebelumnya tak pernah kukira akan menjadi duka, duka yang sebelumnya sempat aku banggakan karena dulu aku menyebutnya prinsip, duka yang akhirnya membuatku berusaha bertahan hidup tanpa terpenuhinya kebutuhan yang kini menjadi duka itu sendiri. Aku tak mengerti mengapa semua bisa menjadi serumit ini, semula aku menganggap semuanya baik-baik saja, lurus, benar dan normal –bahkan terlalu normal– hingga akhirnya aku sadari bahwa selalu menjadi normal, lurus dan benar terkadang tidak membuat seseorang menjadi baik-baik saja, aku menyadari itu sekarang.
            Suara tawa yang pecah itu menarikku kembali dari kenyataan pahit yang hanya aku saja yang tahu.  Aku melihat teman-teman disekelilingku tertawa lepas, begitu lepas hingga perasaan ingin menirunya saja membuatku takut. Takut kalau aku akan sangat bersedih nantinya, setelah itu maka aku akan kecewa karena bahagiaku hanya semu. Aku mendesah panjang, namun suara desahan itu terendap oleh suara temanku yang lain. Di satu sisi aku merasa lega karena tak ada yang menyadari keresahanku, di sisi lainnya, aku merasa tak ada yang mempedulikanku dan aku merasa amat sendiri.
            “kau pasti bingung sekali. Yang satu begitu perhatian dan baik hati, tapi dia bukan kekasihmu. Sementara yang satunya lagi baik dan tampan dia juga kekasihmu, tapi mengapa kau malah membingungkan keduanya ? bukankah sudah jelas kau seharusnya memilih kekasihmu saja dan fokus padanya. Kenapa kau bingung memikirkan keduanya ?” cerocos temanku, Vita, yang hobi meracau panjang.
            Luwi mendesah putus asa, namun aku masih melihat kilatan bahagia dimatanya meskipun memang dia terlihat sekali sedang dilemma. “ini tak semudah yang kalian bayangkan saudari-saudariku, kalian tahu, aku sangat bingung karena aku sepertinya mencintai orang lain selain kekasihku.”
            “kau terlihat tidak bingung, percayalah. Kau terlihat menikmati keduanya.” Goda temanku yang lain bernama Liza. “bagaimana rasanya dicintai banyak lelaki ?”
            “hei, apa maksudmu ? apa kau baru saja mengatakan kalau aku ini wanita murahan ? dengar ya sis, kukatakan padamu sekali lagi bahwa aku sungguh kebingungan.” Ada jeda sejenak, kemudian Luwi melanjutkan, “kau ingin tahu rasanya ? rasanya menyenangkan. Tapi kadang aku juga merasa lelah. Kini aku hanya ingin... diam.”
            Aku mendengus pelan, namun ternyata ketiga temanku mendengarnya. “apa ?” tanyaku begitu melihat mereka sedang memperhatikanku.
            “Tara, apa kau baik-baik saja ? aku lihat kau diam saja. Kau tidak menyimak cerita Luwi ? ceritanya seru sekali, bayangkan, lagi-lagi dia dikerumuni banyak cinta dari...”
            “aku mendengarnya, aku menyimak pembicaraan kalian.” Kataku memotong ucapan Vita.
            “oh ya ? lalu bagaimana menurutmu ? biasanya kalu selalu mempunyai saran bagus untuk permasalahan seperti ini.” Kata Vita lagi yang disambut dengan aggukan temanku yang lain.
            Begitulah yang selalu dilontarkan teman-temanku, sejak aku masih duduk di bangku SMP. Aku selalu dengan senang hati mendengar curahan mereka, kemudian memberi mereka saran terbaik yang bisa kupikirkan. Dan beruntungnya aku, saranku selalu berhasil dan mereka puas. Dulu aku merasa begitu, puas dan senang dengan kebahagiaan temanku apalagi bila aku yang menjadi alasannya. Tapi sekarang, tidak. Aku tidak terlalu memikirkan apa kini saranku memuaskan mereka ? apa mereka bahagia ? apa aku ada di dalam kebahagiaan mereka ? tepatnya, aku merasa sebagian besar diriku menolak menerima kebahagiaan mereka. Ya, aku tak mau peduli lagi. kenapa ? karena aku iri, karena aku sakit hati, karena aku lelah, karena aku ingin berhenti peduli. Bukankah itu manusiawi ?
            Terkadang aku merasa dunia tak adil dan kejam padaku. Kenapa di saat teman-temanku bahagia, aku tidak. Kenapa di saat teman-temanku bisa membicarakan tentang mantan, pacar dan lelaki yang mengejar mereka, aku tidak. Kenapa di saat mereka begitu merasakan banyak cinta dan kasih sayang, aku tidak. Aku selalu merasa sendiri di antara keramaian yang mencekikku, yang menekanku, yang menyiksaku. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan barang sekali. Aku ingin merasakan kebahagiaan di cintai, di kagumi dan di idamkan, meski hanya sebentar.
            Memang, awalnya aku menganggap semua itu tidak penting. Aku sering beranggapan bahwa urusan percintaan itu merepotkan dan merusak semua rencanaku akan masa depanku. Tapi sekarang, aku termakan ucapanku sendiri. Aku mulai menyadari, di usiaku yang sudah hampir menginjak kepala dua, bahwa cinta itu di perlukan. Bahwa mencintai dan dicintai itu diperlukan.
            “tidak ada. Aku sedang tidak bisa memikirkan apapun.” Aku tak ingin memikirkannya. Balasku, bertolak belakang antara bibir dan batin.
            “oh, ayolah.. kau harus membantu Luwi. Lihat dia, begitu bingung dan... bingung.” Liza menyahut iba.
            Kepala dan hatiku mulai panas. Tidakkah mereka mengerti bahwa aku jauh lebih tidak berpengalaman dibandingkan mereka ? tidakkah mereka mengerti kesedihanku ? tidakkah mereka mengerti keinginanku yang besar untuk berusaha tidak ingin peduli ?
            “kau jauhi keduanya.” Kataku datar.
            “apa ?” tanya mereka serentak.
            “kau ingin hidupmu tenang, kan, Luwi ? maka, jauhi keduanya.” Kataku lagi, berusaha terdengar lebih bersahabat. Biar bagaimanapun, mereka temanku. Aku tak tega untuk melukainya. “makan siangku sudah selsai. Kurasa aku harus pergi, sampai ketemu besok.” Kataku, setelah itu aku berlalu meninggalkan kantin.
            Setelah meninggalkan mereka, sebenarnya aku tidak tahu kemana dan apa tujuanku. Aku hanya ingin menyendiri. Menenangkan diriku sebelum aku bertindak diluar batas dan melukai sekitarku. Ya, kuakui belakangan ini – beberapa bulan setelah aku kuliah – aku selalu bersikap uring-uringan. Sebisa mungkin aku berada sejauh mungkin dari kehidupan sosial yang terlalu mencolok. Sebisa mungkin aku berusaha tak peduli pada problema masa mudaku yang dapat mengganggu prestasi akademikku. Sebisa mungkin aku menjauhi kebiasaan anak muda seusiaku yang sedang hobi merayu lawan jenisnya. Kuakui, tak sekali aku termakan rayuan murahan seperti itu karena aku sedang lengah dan saat itu aku sedang tak berlindung di balik tembok kokoh yang kubangun untuk kepentingan diriku sendiri. Dan ketika saat seperti itu terjadi, maka saat itu aku semakin benci diriku yang kurasa tak punya arti dan daya tarik. Aku memang payah.
            Tak terasa langkahku membawaku  jauh ke sudut  belakang beranda gedung kesenian. Aku tak sadar langkahku membawaku kemari dan membuatku duduk di sebuah batu besar yang sangat nyaman kududuki. Tapi aku tak menyesal, tampat ini indah, nyaman dan damai. Aku juga baru sadar bahwa aku hanya sendiri disini, hingga membuatku heran mengapa tempat seindah ini begitu sepi ? mataku menjelajah sekitar beranda itu dan mendapati kandang kelinci disitu. Dan apa yang baru saja kubilang ? tempat ini indah ? memang. Tapi aku juga menyadari tempat ini bau urine kelinci. Ah, tapi aku tak peduli. Yang penting aku bisa sendiri.
            Aku memejamkan mataku, merasakan hembusan angin yang membelai wajahku. Sesekali aku dapat mencium aroma dari kandang kelinci itu, namun aroma daun dan tanah yang basah juga mendominasi. Aku tersadar ketika mendengar suara itu, suara blitz kamera.
            “gambar ini lain daripada biasanya.” Gumam seorang lelaki sambil mengamati gambar di kamera DSLRnya.
            “apa maksudmu ? kenapa kau disini ?” tanyaku kesal. Kenapa Tuhan tak mengizinkanku tenang sebentar saja ?
            “gambar ini, biasanya bagus. Hari ini jadi lebih bagus, kau tahu, mungkin karena ada modelnya.” Guraunya sambil menunjukan gambar dikameranya dari tempatnya berdiri.
            Aku tak membalas karena merasa tak perlu. Biarlah dia melakukan apa yang ingin dilakukannya selama dia tak menggangguku. Mungkin sebentar lagi dia juga akan pergi, batinku yakin.
            “kau harus membayar,” kata lelaki itu lagi, mengusikku.
            “untuk apa ? oh ya ampun, bisakah kau meninggalkanku ?”
            “kalau begitu kau harus menyewa.”
            Aku memutarkan mataku dengan kesal, “menyewa apa ? apa yang aku sewa darimu ?”
            “tempat ini dan batu yang kau duduki.” Balasnya santai sambil terus membidikan kameranya, termasuk ke arahku.
            Aku mendengus dan berdiri menatapnya. “kau pikir tempat ini milikmu ? tempat ini berada di wilayah kampus, berarti ini milik kampus.”
            Kali ini dia yang mendengus sambil balas menatapku. “dengar nona, tempat ini memang berada di wilayah kampus. Namun perlu kau ketahui bahwa tempat ini sangat jauh di jangkau kampus sehingga tidak terawat. Dan perkenalkan, aku adalah orang yang selama ini merapikan tempat ini. Dan perkenalkan juga, itu Miko dan Mili, penghuni tempat ini.” Katanya sambil menunjuk sepasang kelinci di dalam kandang kayu itu.
            Aku terpana sesaat. Apa aku salah dengar ? apa ia baru saja menganggapku seperti tamu tak di undang ? lagi-lagi aku hanya mendengus.
            “baik, begini saja. Karena suasana hatiku sedang baik, aku mengizinkanmu duduk disini asal dengan satu syarat.” Katanya seolah aku ingin bernego.
            “apa ?” tanyaku yang ternyata berani ambil pusing.
            “kau harus menjadi modelku, setidaknya sampai aku puas.” Katanya santai, membuat terbelalak. Lebih baik aku segera pergi, batinku. “kalau kau meninggalkan tempat ini sebelum aku puas memotretmu, maka kau harus membayar.” Katanya seolah membaca pikiranku dan mengurungkan niatku untuk pergi.
Aku tak sudi mengeluarkan sepeserpun untuknya, batinku berkeras. Aku menarik nafas dengan kesal dan mengembuskannya dengan kasar, kemudian kembali duduk.
“gadis pintar. Tenang saja, aku tak akan menyulitkanmu. Aku fotografer lanskap, jadi aku lebih menyukai gambar yang natural. Bersantailah seakan tak ada aku disini.”
Pikirmu mudah ? aku terlalu peka dan mudah sekali terusik. Batinku lagi menahan kesal. Baiklah, aku akan berusaha santai meski aku tidak yakin. Meski aku merasa aku tidak yakin tapi ketenangan selanjutnya yang ditimbulkan lelaki itu membuatku yakin.
“tampat ini, kenapa aku baru tahu sekarang ? kenapa tidak dari dulu saja ? kenapa aku tetap diam sementara aku merasa tak nyaman ?” lirihku.
“sudah kukatakan tadi, tempat ini memang tak terjangkau. Tapi tempat ini cukup indah bukan ?” tanya seseorang di belakangku.
“kau benar, tempat ini cukup indah untuk merenung.” Kataku dengan suara bergetar. Ah, lagi-lagi pikiran seperti itu meruntuhkanku. Kenapa aku jadi melankolis sekali ? kenapa aku tidak mampu berusaha lebih sabar dan menerima kenyataan ? “kenapa ? kenapa begini ? apa yang salah denganku, Tuhan ? mengapa aku merasa tak ada yang istimewa dari diriku ? mengapa aku merasa aku begitu malang dan menyedihkan ? mengapa aku merasa aku hanya di permainkan ? mengapa tak ada yang menarik dari diriku ?” pekikku sambil memukul dadaku yang terasa sakit. Tanpa sadar ternyata aku sudah menangis.
“aku tahu manusia tidak ada yang sempurna, tapi bisakah Kau memberiku satu kelebihan saja ? satu daya tarik saja ? satu orang saja yang bisa mengerti aku, menyayangiku, mengisi kekosonganku, mengatakan padaku bahwa semuanya baik-baik saja.” Kataku masih sambil terisak. Aku menangis banyak siang itu, di tempat itu. Menumpahkan semua yang menghimpit dadaku. Menumpahkan semua yang selama ini selalu kutata rapi dan kusimpan sendiri.
Setelah aku merasa lebih baik dan tenang, aku beranjak meninggalkan tempat itu, dan berhenti melangkah ketika melihat sebotol minuman teh dan secarik kertas bertuliskan,
            Aku tak tahu suasana hatimu sedang buruk, maafkan bila aku mengganggumu. Tapi terpaksa kukatakan, aku belum puas dengan bayaranmu. Semoga kita bertemu lagi.
            *note    : kau pasti tahu teh mengandung kaffein yang menenangkan. Aku hanya punya ini, semoga kau suka.
            Aku tercenung sesaat setelah membaca surat itu, menyadari bahwa aku lupa aku tak sendiri tadi. Dia, lelaki tadi, pasti mendengar semua racauanku. Ah, bayangkan betapa menyedihkannya aku sekarang dimata orang yang bahkan aku tidak tahu namanya.
            Keesokan harinya, setelah kuliah selesai, aku pamit pada teman-temanku untuk segera pulang ke rumah. Aku masih merasa belum bisa berbaur dengan mereka dengan suasana hati yang buruk. Tapi apa yang terjadi, aku malah kembali ke tempat kemarin, ke beranda di belakang gedung kesenian. Aku tidak mengerti kenapa, lagi-lagi kakiku melangkah dengan sendirinya hingga aku bisa selamat sampai di tempat ini.
            Tempat itu sepi seperti kemarin, dengan sepasang kelinci yang baru aku sadari terlihat menggemaskan. Aku menghampiri kandang kelinci itu dan memberinya seikat kangkung segar yang tergeletak di dekat kandang.
            “kau akan membuat mereka obesitas.” Kata suara itu mengejutkanku. Aku segera berbalik dan berhadapan dengan lelaki tampan dengan tinggi menjulang dan tatapan teduh.
            “a-apa ?” kataku tergagap dan dengan segera melepaskan beberapa batang kangkung yang ku pegang. “oh, maafkan aku. Aku tidak tahu.”
            Dia mengalihkan matanya dariku ke kelincinya. Lalu mengambil batang kangkung yang kujatuhkan dan memberikannya padaku. “aku bercanda. Kau boleh memberi mereka makan, kau mendahauluiku melakukannya. Sekarang kau harus bertanggung jawab memberi mereka makan karena sepertinya mereka menyukaimu.”
            Aku masih tergagap, namun akhirnya aku mengangguk.
            “aku Leo. Kau ?” tanyanya sambil mengarahkan kameranya dan mulai membidikku. Awalnya aku hendak protes, tapi tidak jadi karena aku mengingat kesepakatan kemarin. Dia belum puas memotretku. Aku sedikit meyesal kenapa tidak lebih memilih membayar saja, tapi aku juga tak ingin kehilangan tempat rahasiaku, kalau aku boleh menyebutnya begitu.
            “Tara.” Jawabku berusaha terlihat santai.
            “kau dari jurusan apa ?”
            “Sastra Inggris.”
            “aku Geologi.” Katanya tanpa kutanya. Dan aku juga tidak berniat untuk berbicara lagi, tapi lagi-lagi dia membuatku berbicara. “kenapa kau kemari lagi ?”
            “aku tidak tahu.”
            “kau pasti merasa berhutang.” Katanya dengan percaya diri.
            “aku bisa membayarmu,”
            “aku tak butuh uangmu. Aku hanya ingin modelku tetap datang sesuai kesepakatan.”
            Aku tak membantah, juga tak membalas.
            “Mili terlahir cacat – setidaknya itulah yang aku lihat saat menemukannya sepulang mendaki gunung – kaki kirinya lumpuh. Tapi aku senang dia mau bertahan apalagi sejak ada Miko.” Ceritanya padaku sambil tersenyum menatap sepasang kelincinya, setelah itu dia mengeluarkan kedua kelinci itu yang patuh ditangannya. “kau mau menggendongnya ?” tanyanya sambil mengangsurkan Mili padaku, membuat alisku berkerut ragu. “tenang saja, aku sudah memberishkan mereka dan kandang mereka.”
            Akhinya aku menggendong Mili. Aku setuju dengan Leo. Pertama, aku tidak mencium bau pekat urin. Kedua, sepertinya Mili benar-benar lumpuh karena yang kutahu kaki kelinci pasti akan menendang-nendang bila tangan asing menyentuhnya. Tapi Mili tidak, dia tidak meronta.
            “dia menyukaimu.” Katanya sambil tersenyum senang. kemudian kembali membidik kameranya padaku. Tanpa sadar aku tersenyum merasakan situasi yang menyenangkan seperti ini.
            “kenapa kau tidak merawat mereka dirumah ?” tanpa sadar aku bertanya. Ah, lagi-lagi aku tanpa sadar mencemplungkan diri pada sebuah interaksi sosial. Padahal aku ingin membatasi pergaulan, terutama dengan laki-laki. Yah, lebih untuk self defense, supaya aku tidak terlalu sakit.
            “aku tidak tinggal di rumah. Aku kost, dan di kostanku tidak boleh ada binatang peliharaan. Lagipula, tidak ada halaman dan itu pasti akan menyiksa mereka.” Aku bergumam ‘oh’ dalam benakku. “bagaimana dengamu ? kau tinggal dirumah ?”
            Aku berpikir sejenak, mempertimbangkan kemungkinan terburuk dengan cara membuka diri lagi. Sejujurnya aku masih enggan mengenal orang baru, tapi ada suatu dorongan yang membuatku merasa aku akan baik-baik saja meski menambah satu teman lagi. “ya, aku tinggal dengan Kakakku.”
            “kau beruntung,” katanya tanpa menatapku.
            “kau salah, aku tidak beruntung.”
            “tidak, kau beruntung. Kau hanya tidak bersykur.”
            Aku menoleh cepat. Ucapanya, begitu menamparku hingga sadar. Aku sadar itu, aku tahu aku kurang bersyukur. Tapi aku, aku memang kurang beruntung di banding yang lain.
            “aku sendiri di kota ini. Aku memilih berpisah sejak SMA dengan kedua orang tuaku yang juga saling terpisah. Aku menghidupi diriku sendiri dari hobiku. Bukan karena mereka orang tua yang jahat, hanya saja kami memiliki cara pandang hidup yang berbeda. Jadi disinilah aku sekarang. Terkadang kami bertemu untuk saling memastikan bahwa kami masih hidup. Setelah itu, kami berpisah lagi dan menjalani hidup dengan impian kami masing-masing.” Jelasnya membuatku terpana menatapnya. Aku tidak menyangka ada orang yang hidup seperti dirinya.
            “maafkan aku,” kataku lirih. Aku sendiri tak mengertimengapa aku berkata begitu.
            “bukan salahmu.” Katanya sambil terkekeh. “aku bahagia dengan hidupku.” Katanya lalu menatapku. “maka seharusnya kau lebih bahagia dariku.”
            Aku begitu tenang mendengar ucapannya. Aku seolah merasa dia baru saja mengucapkan, semuanya baik-baik saja.
            Setelah pertemuan hari itu, aku sering kembali ke tempat rahasia itu dan berbicara banyak hal dengannya. Tanpa sadar sudah hampir empat bulan aku menghabiskan sore dan meikmati senja bersama Leo. Dan semakin mengenalnya, aku semakin kagum. Leo adalah lelaki yang baik, mandiri, tegar, kuat dan cerdas di balik kesempurnaan fisiknya yang pasti banyak memikat wanita. Oh ya, dia juga setahun lebih tua dariku, dan hal itu membuat aku semakin segan padanya.
            Aku merasa hari-hariku lebih lengkap semenjak aku menginjakan kaki di beranda gedung kesenian, semenjak aku mengenal Leo, semenjak betapa aku tersanjung akan sikap lembut dan menyenangkannya. Ah, menyadari hal itu aku pasti sudah termakan oleh cinta lagi, dan tak lama setelah ini aku pasti akan kecewa lagi karena sepertinya Leo tak merasakan hal yang sama denganku. Baiklah, aku terima dan aku akan bersiap.
            Hingga suatu hari, ketika aku sedang menikmati senja dengan Leo, dia berbicara dengan nada yang serius sekali hingga membuatku memberi seluruh perhatianku untuk mendengarnya. Karena ini kali kali pertama aku mendengar cerita yang membuatku penasaran dan belum pernah disinggungnya.
            “aku belum pernah bertemu dengan perempuan sepertimu. Begitu takut di dekati, begitu menjaga jarak, begitu membuatku bingung bagaimana cara menghadapi perempuan sepertimu. Kau membuatku, penasaran.” Katanya membuatku tak mengerti apa yang sebenarnya ingin diutarakannya padaku. Perlahan tapi pasti, aku merasa takut dan cemas. Pikiran negatif berkelebat dalam kepalaku dan menyuarakan, dia pasti hanya penasaran denganmu dan sekarang dia sudah menuntaskan rasa penasarannya. Hatiku mencelos ketika mengakui kebenaran pikiranku itu.
            “mengenalmu sungguh menyenangkan, aku tak menyesalinya dan bahkan mensyukurinya. Terimakasih sudah hadir dalam hidupku.” Katanya lagi seolah itu adalah ucapan perpisahan bahwa dia akan segera hengkang dari hidupku. Hatiku terasa sakit ketika aku memikirkannya. “tapi, bolehkan aku meminta satu hal padamu ?”
            Kau ingin meninggalkanku setelah kau menuntaskan rasa penasaranmu ? ya, kau boleh. Begitu lebih baik. “apa ?” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.
            “tunggu aku,” katanya dengan nada yang begitu serius dan tenang.
            “tunggu ? memangnya kau ingin aku menunggumu untuk apa ?” tanyaku tak mengerti. Aku jadi meragukan pikiran negatifku.
            “kau tidak keberatan, kan ? aku tidak lama dan akan segera kembali. Setelah itu, mungkin giliran aku yang menunggu. Oh ya, aku titip Miko dan Mili padamu untuk sementara, rawat mereka.”
            Setelah mengatakan itu, dia pergi dan aku tak pernah melihatnya lagi. Demi Tuhan dia bersungguh saat mengatakan aku harus menunggunya, dan sekarang itulah yang aku lakukan. Seminggu, aku masih belum bertemu dengannya. Dua minggu, hasilnya tetap sama. Hingga sebulan kemudian, akhirnya aku melihat hal lain di belakang beranda. Seikat bunga edelweiss tergeletak di batu tempat aku biasa duduk berdua dengan Leo. Aku menghampiri bunga itu dan mengambil catatan yang tertindih di bawahnya. Tapi sayang, kertas itu kosong. Setitik harapan muncul di hatiku, hatiku mengatakan Leo telah kemabali. Aku mencari sosoknya, tapi aku tak melihatnya. Ya Tuhan, tidakkan dia mengerti bahwa aku merindukannya.
            Aku terpekur menatap kertas kosong itu dan bunga yang kugenggam erat, air mataku menetes mengahadapi ketidakberdayaan ini. “aku merindukanmu Leo. Kapan kau kembali ?”
            “aku memetik bunga itu dua minggu yang lalu, saat aku menemukannya di dekat puncak gunung yang sedang kudaki. Bunga itu memiliki dua kesamaan dengan dirimu. Pertama, untuk mendapatkannya sangat sulit dan aku harus berlelah dulu. Kedua –mungkin ini hanya kesamaan yang kubuat-buat– tapi aku pernah berharap meskipun edelweiss bunga yang abadi, aku berharap bunga itu tetap segar sebelum sampai ke tangamu, sepertinya harapanku terkabul. Bunga itu masih terlihat segar meski tanpa akar selama dua minggu lamanya.”
            Aku berbalik dan saat itu juga aku melihat Leo disana. Berdiri dengan senyum hangat dan tatapan teduhnya. Aku masih terisak menatapnya, aku tak percaya aku mengalami hal seindah ini dihidupku.
            “itu isi suratnya. Aku ingin berinovasi dengan membuat surat kertas yang bicara.” Kemudian dia terkekeh.
            “apa maksud kemiripan poin nomer dua ?” tanyaku bingung.
            “maksudku,” dia berjalan mendekatiku dan berdiri menjulang di depanku. “aku menganalogikan bunga itu adalah dirimu. Dan kesegaran bunga itu adalah penantianmu untukku. Bunga itu masih segar, berarti kau masih menungguku. Bukankah begitu ?”
            Aku hanya terpana menatapnya. Sungguh, aku merindukan lelaki yang selalu merasa percaya diri ini. Aku tak mampu berkata apapun dan aku juga tak mampu menahan air mataku yang terus berlinang.
            “Tara, aku menunggumu. Aku menunggu kau membuka hati dan diri untukku, aku sudah berusaha membuatmu melakukannya. Tapi aku tak yakin meski aku sudah berusaha sekuatku.” Dia mengucapakannya sambil menangkupkan kedua tangannya yang besar di kedua pipiku. “dan aku masih bersedia menunggu bila kau belum percaya padaku.”
            Aku percaya padanya. Ya, aku mempercayainya karena itu yang bisa aku rasakan ketika aku berani mempertaruhkan hatiku saat bersamanya. “aku mempercayaimu, Leo. Terimakasih sudah menungguku.”