Sabtu, 23 April 2016

(Setelah) Pesan Terakhir

Haiiii, gutten nacht ! finally author comes back. Kalau author balik lagi, tentu gak akan bawa tangan kosong :D pasti selalu ada cerita disini. Bukan cerita yang wow banget sih, tapi semoga kalian dapet pesannya. Enjoy the story, guys !



             Klik !

            Layar ponselku hitam dalam sekejap, lantas aku meletakannya di atas nakas samping tempat tidurku. Aku lelah, tapi aku lega, akhirnya semua ini telah usai. Aku menatap langit-langit kamarku, sementara pikiranku sampai saat itu setidaknya masih kosong. Namun, apa kalian sadar ? semakin lama kalian diam, melamun dan terpekur memperhatikan satu hal, sebenanrnya hanya ada dua kemungkinan hal yang akan terjadi setelah kalian melakukan hal itu. Pertama, pikiran yang tak di undang seketika menghinggapi otak kalian. Atau yang kedua, kalian merasa tenang dan damai. Maka, dalam ceritaku ini, hal pertamalah yang terjadi padaku. Malang memang !
            Ponselku mendentingkan dengan lembut bunyi kristal . Aku terkesiap. Bukankah aku sudah mematikan koneksi datanya ? pikirku pada diriku sendiri. Aku memeriksa pesan masuk di salah satu sosial mediaku. Ah astaga, aku lupa kalau aku baru saja mengirimkan curhat colonganku di grup kumpulan sahabatku.
            That’s all. Menurut aku semuanya udh selesai. It’s over !
            Ternyata mereka menanggapi cuhat colongaku dengan ucapan syukur.
            Alhamdulillah
            Naha ? pegat ?  tadi hujan dordar gelap nya L
            Yang terbaik adalah itu ca.
            Selepas itu, mereka berusaha menguatkan aku. Mereka memintaku cerita, dan aku ingin, tapi aku tidak tahu apa yang harus diceritakan. Karena tidak ada cerita. Tidak ada lagi. Entah sejak kapan, dimatanya kami mungkin sudah jauh sejak lama telah berakhir.
            Hahahahahaha
            Aku ingin tertawa, juga ingin menangis. Dia pasti sudah gila ! atau mungkin aku yang gila ?! ya Tuhan, katakan bahwa semua ini tidak akan membuatku gila. Dan tentu saja tidak, aku tak akan membiarkannya. Aku mengenal diriku sendiri sebagai sosok yang kuat dan mandiri. Setidaknya, aku tidak akan membiarkan orang melihatku menderita atau kepayahan menghadapi kesedihan.
            Tapi,
            Dia pasti sudah gila !
            Mengingat kejadian lima belas menit yang lalu, membuat tubuhku bergetar hebat. Lebih hebat dari yang aku duga. Aku terguncang. Astaga, aku tak mengira aku akan  sesedih dan seterpukul ini ! aku tak mengira bahwa dampaknya ternyata sebesar ini. selama ini, aku tak pernah percaya pada kiasan-kiasan yang berlebihan dalam sebuah lagu atau kutipan picisan tentang cinta. Tapi kini aku mengerti apa yang di maksud dengan Cinta Ini Membunuhku, Seluruh Nafas Ini, Jangan Ada Angkara, atau bahkan All of Me sekalipun ! aku juga seketika mengerti apa yang disebut mati perlahan, nafas yang direnggut, dan kalimat lebay lainnya. SEKARANG AKU MENGERTI ITU SEMUA !
            Aku benar-benar mengerti ketika aku mulai merasa bahwa nafasku seperti sedang direnggut, bahwa aku sedang di bunuh perlahan-lahan, bahwa aku seperti tidak sedang bernafas dan bahwa dada ini... sakit seakan diremukkan oleh tangan kosong. Semuanya karena Si Gila itu !
            Ya Tuhan, aku benar-benar menangis malam itu. Aku benar-benar merasa hancur. Aku merasa seakan aku tidak ingin lagi peduli dengan hal apapun. Mengecewakan. Semuanya mengecewakan ! apapun yang aku lihat, yang aku rasakan, semuanya menyakitkan. Bahkan terlalu menyakitkan. Aku ingin marah, tapi pada siapa ? satu-satunya orang yang paling pantas aku marahi bagai hilang di telan bumi.
            Tapi, baguslah !
            Telan saja dia, bumi ! biar dia juga tahu seberapa sakit luka yang dia berikan padaku.
            Malam itu, aku berusaha menguatkan diri. Aku memaksakan diriku untuk tidak bersedih, bahkan untuk tidak meneteskan lagi air mata yang selama ini pernah aku tumpahkan untuknya. Tidak lagi ! jangan lagi-lagi !
            Tapi ternyata aku tidak cukup kuat, lagi, aku menumpahkan air mataku. Ku bilang, biarkan saja, hanya untuk malam ini. Akhirnya, aku membiarkan diriku menangis malam itu. Lagi. Dan nyaris seperti histeris bagai orang depresi. Aku tak tahan. Ini semua terlalu menyakitkan. Antara kenyataan dan harapan, semuanya bagai kaset rusak yang kusut. Tanpa Si Gila itu tahu, aku diam-diam memiliki cita-cita yang indah bersamanya. Aku menyimpan rapi semuanya, untuk kami. Tapi aku lupa, bukankah cita-cita bersama harusnya di wujudkan bersama ?  ya, matilah aku ! aku terlalu gengsi, aku terlalu idealis. Mana ada cita-cita bersama diwujudkan seorang diri ?
            Ya Tuhan, aku benar-benar menangis malam itu. Tubuhku bergetar hebat. Aku duduk di atas tempat tidurku. Memeluk lututku dan terus menangis. Membiarkan semua rasa sakit ini tercurahkan memlalui air mata. Biar hanya Tuhan saja yang melihat betapa tak berdayanya aku malam itu.
            Tubuhku bergetar hebat. Aku menginginkan dekapan. Tapi mengingat akan nyamannya sebuah dekapan ketika menangis, malah membuat tangisanku semakin deras. Aku menginginkan sebuah dekapan disaat dekapan terbaik yang pernah aku rasakan tidak akan pernah bisa aku rasakan kembali. Sialan, dekapan Si Gila itu ternyata candu ! aku menangis semakin kencang.
            Malam ini aku hanya seorang diri. Siapalah yang ingin mendekapku. Aku hanya bisa mendekap diriku sendiri, dalam ketidakberdayaan. Aku berusaha mengumpulkan kembali kekuatanku, berdoa pada Tuhan, semoga luka ini cepat mengering dan pulih. Meski aku tahu bahwa bekasnya tidak akan pernah menghilang. Tapi, tak masalah. Biar suatu saat dia lihat sendiri bekas luka ini. Biar dia lihat sendiri bahwa dia telah melukai hati yang telah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi yang terbaik di matanya. Biar dia tahu sendiri bahwa ada hati yang telah ia khianati.
            Aku merebahkan tubuhku kembali di atas tempat tidur. Aku mulai kelalahan setelah menangis seperti orang kesetanan. Aku ingin tidur dan melupakan semuanya, untuk sedikit waktu. Tapi sebelum aku memejamkan mataku, aku memeriksa kembali ponselku, memastikan tidurku tidak akan terganggu. Tanpa sengaja, aku membuka ruang percakapanku dengan Si Gila. Belum dibaca.
            Aku mendesahkan nafas panjang dan dalam, berusaha menenangkan pikiranku supaya cepat tertidur.
            Kau hanya belum mengerti bahwa mempertahankan dan berjuang sendiri itu tidak mudah, pikirku lelah sebelum kesadaranku direnggut dariku.

Bukan Bagaikan Mendekap Bulan



            Aku menyukainya sejak aku melihatnya. Itu adalah satu tahun yang lalu, sampai saat ini. Aku mendekatinya, bukan untuk bermaksud jahat. Aku hanya ingin mengenalnya. Lucunya, dia menganggapku bermain-main dengannya. Dia pikir, mana ada hubungan yang jelas yang di awali dengan perkenalan di dunia maya. Aku tahu ini gila, tapi semakin aku mengenalnya, aku semakin menyukainya. Dan yang paling gila adalah, kami sama-sama telah memiliki pasangan. Biar sajalah, pikirku, toh jodoh sudah ada yang mengatur.
            Selalu ada jalan menuju roma, begitu istilahnya bila ku gambarkan kisahku ini. Kurang lebih setelah satu tahun, aku semakin berani mendekatinya. Dia adalah orang Bandung. Dan saat satu tahun itu telah berlalu, akhirnya aku memiliki seorang teman yang juga orang Bandung. Aku banyak bertanya tentang kota mereka. Tapi sayangnya, temanku itu tidak tahu banyak tentang kotanya sendiri. Tapi tak apalah, setidaknya dia masih bisa membantuku. Saat itu, aku tidak banyak memberitahu tentangnya pada temanku itu. Aku hanya menyebutnya, seseorang. Tapi semakin lama, akhirnya dia tahu juga. Ya, mau bagaimana lagi ? lama-lama aku jadi sering bercerita tentangnya pada temanku itu. Dia pendengar yang baik.
            “kamu tolong kasih ke dia, ya !”
            “apaan nih ?”
            “hadiah lah. Aku harap hadiah ini bisa jadi doa buat dia. Tapi inget, jangan kamu buka isinya.”
            “iya, aku kasih. Gak akan aku buka. Tapi aku butuh kontak dia, kan belum kenal.”
            “ya udah, nanti aku kirimin kontaknya.”
            Selepas itu, aku hanya bisa berharap-harap cemas. Aku tahu dan aku sadar, semuanya memang terasa terlalu tergesa-gesa. Terlebih kami belum pernah bertemu satu sama lain sebelumnya. Dan lagi, dia masih memiliki kekasih. Sementara aku, hubunganku dengan kekasihku sedang dalam masalah. Aku ingin berpisah dengan kekasihku itu, secepat mungkin.
            Akhirnya, hari dimana temanku memberikan hadiahku padanya datang. Hari itu mungkin menjadi hari yang bersejarah di kehidupanku. Hari dimana menjadi awal yang baik bagi hubunganku dengannya. Temanku bilang bahwa dia dan kekasihnya baru saja berpisah sebelum temanku itu bertemu dengannya. Aku tahu ini jahat, tapi entah mengapa aku merasa senang.
            Baiknya, sejak saat itu hubungan kami semakin dekat. Kami sudah sama-sama berpisah dari pasangan kami. Dan aku sudah memiliki niatan baik dengannya, memiliki cita-cita yang tulus untuk bersamanya. Kami belum meresmikan hubungan kami dengan sebuah status, biarlah begini adanya dulu. Bukan bermaksud tidak serius, hanya saja, yang terpenting adalah kami sudah sama-sama mengetahui perasaan kami. Kami saling menyayangi, itulah yang terpenting.
            “kamu bilang, kamu mau dateng tiap bulan ke Bandung, Bang. Mau nengokin dia tiap bulan. Memang bulan April sudah ?”
            “hahahaha sebenarnya sudah. Dua kali malah ! Cuma gak ngabarin kamu. maaf ya. Kan waktu itu, kuota habis tea geningan.
            “wuaaaaah, parah nih gak ngabarin. Tapi biarin deh. Yang penting nengongkin. Jadi emang serius banget nih ya, ceritanya.”
            “iya atuh, kalau gak serius mah ngapain jauh-jauh dateng ke Bandung pake motor sendiri ?”
            “oh iya ya. Baguslah. Keren banget emang kamu, Bang. Kalau aku orang kaya, aku pasti udah kasih penghargaan sama selempang The Most Courageos Man in The World.”
            “oh, jelas atuh.

            “iya dong. Cewek mana gitu yang gak suka di perjuangin ? semua cewek, pasti suka kalo di perjuangin.”