Jumat, 04 Maret 2016

Kembali Pulang

       

Aku tak mengerti. Kepergiannya, begitu berdampak besar untuk kelangsungan hidupku. Aku termenung. Tanpa aku sadari, rintik air mata menetes membasahi kedua lenganku yang saling bergelung satu sama lain. Entah sudah berapa lama aku memutar kembali kenangan itu, lagi dan lagi, hampir selama sebulan terakhir ini. Rasanya, baru kemarin aku merasakan kebahagiaan itu. Muka memerah karena rasa bahagia yang membuncah. Kupu-kupu yang bertebangan di perutku. Juga debar jantung yang sulit ku kendalikan saat aku bersamanya. Seperti itulah manusia yang sedang kasmaran. Semuanya terasa begitu indah, sempurna dan benar. Seolah kau tak ingin lagi untuk melangkahkan langkahmu ke depan, atau mundur. Cukup sampai di titik kebahagiaan itu, dan kau tak menginginkan yang lain lagi.

            Rinai hujan di luar semakin mendukung suasana. Kepulan uap hangat melayang-layang di atas cangkir coklat panasku. Rasa dingin dari udara di sekitarku menusuk leherku yang tidak tertutupi rambut, menjalar ke dadaku dan membekukan asa di hatiku. Lantunan lagu yang pernah dia nyanyikan untukku juga terus berputar, dari sejak aku membuat coklat panas, hingga sekarang.
            Aku masih ingat betul semuanya. Aku ingat suaranya yang agak nyaring meski masih berat, suara laki-laki pada umumnya. Suara tawanya yang bisa membuatku ikut tertawa juga, aku masih mengingatnya betul. Termasuk saat ia mengucapkan kalimat perpisahan itu.
            “aku harus pergi.” Katanya, melalui telepon genggam, dari sebrang ujung sana. Jauh sekali.
            “kemana ? apa ada acara hari ini ?” tanyaku. Harusnya ia libur, tapi ternyata dia akan pergi.
            “Manhattan. Proyekku.”
            Hening.
            “berapa lama ?”
            “aku tidak tahu pasti, tapi mungkin paling cepat tiga tahun.” Katanya. Aku mendengarnya menghembuskan nafas panjang dan berat. Seakan ia sulit dan lega untuk mengatakannya.
            “apa kau akan..”
            “Nadia, selama waktu itu, aku tak akan bisa kembali ke negara ini.”
            “begitu..”
            “kau selalu tahu bahwa,”
            “aku tahu. Aku tahu.”
            “maafkan aku. Ini juga sulit untukku. Aku ingin sekali mengajakmu, tapi kau tak akan mau, bukan ? kau juga tahu bahwa ini adalah cita-citaku. Nadia, apa kau mendukungku ?”
            Aku terdiam. Bukan sedang memikirkan jawaban, tapi aku sulit mengatakannya saat ini. kau tak perlu bertanya, kau tahu kalau aku selalu mendukungmu. “pergilah, kau tahu aku akan tetap disini.”
            “dengar, kau bisa mencoba untuk melanjutkan studi desainmu disana.”
            “aku harus menjaga ibuku juga, kau ingat ?”
            Lagi-lagi hening. “maafkan aku.”
            “pergilah, aku mendukungmu.”
            Aku tahu sambunga telepon tak terputus saat itu, tapi ada hening panjang yang mendebarkan. Aku juga tahu kalau ia sama cemasnya sepertiku. Tapi, ia selalu lebih pandai menutupinya. Dan itulah yang juga aku pelajari darinya. Mencoba terlihat tegar.
            “kau selalu bisa mencari penggantiku.”
            “diamlah..”
            “aku tak pernah melarangmu untuk pisah dariku kalau kau mau.”
            “hentikan.”
            “kau tahu, aku akan baik-baik saja.”
            “apa-apaan kau ini ?!” teriakku histeris. “apa kau sadar apa yang baru saja kau ucapkan, ha ? apa aku bagimu ? bagimu, apa yang telah kita lalui selama ini ? kau menganggapnya sampah ? kau membuangnya begitu saja ?”
            “kau ingin aku menjawab semua pertanyaan itu ?” tanyanya. Lagi-lagi itu yang selalu di tanyakannya bila aku melemparinya serentetan pertanyaan yang berputar di kepalaku.
            “lebih bagus bila kau menjawabnya.” Jawabku dengan suara dan emosi yang lebih terkendali.
            “iya, aku sadar. Kau adalah orang yang aku cintai, selamanya akan tetap begitu. Bagiku, semua ini adalah anugerah untukku. Tidak dan tidak.” Jawabnya tenang, tanpa ada getaran di suaranya sedikitpun. Berbeda denganku. “tidurlah, sudah hampir tengah malam, sayang.”
            “aku tak ingin tidur.” Lirihku. Aku benci saat dia mengatakan itu. “kau tahu, untuk bertemu dengamu adalah hal yang sulit. Dan sekarang, kau ingin menambah jarak lagi denganku ? pintar sekali.”
            “Nadia..”
            “selamat malam.”
            Begitulah akhir cerita kami. Sungguh akhir yang menyedihkan. Keesokan harinya, dia datang ke rumahku. Sengaja. Dia membujuk ibuku untuk bisa bertemu denganku, tapi aku sudah melarang ibuku untuk membiarkannya bertemu denganku. Hari itu, aku merasa hampa seketika. Aku merasa ada yang hilang. Aku merasa sedih tak terkira, selama beberapa minggu. Hingga akhirnya aku mampu bangkit kembali dan melanjutkan hidupku. Tanpanya, dan tanpa yang lain.
            Laki-laki bodoh. Kau sia-siakan aku begitu saja. Kau begitu naif dengan hidupmu sendiri. Aku mengutuknya, tak lagi memujinya seperti biasa. Namun saat itu aku sadar. Aku juga sama bodohnya dengannya. Aku menertawakan diriku sendiri atas kehancuran yang disebakan oleh diriku sendiri. Baru kali ini, aku ingin bisa memutar waktu. Aku rela melepaskan karirku disini, merintisnya lagi dari awal disana, bersamanya. Asalkan bersamanya.    Lalu, bagaimana dengan ibuku ? ibu merelakanku untuk ikut dengannya. Ibu bahkan memarahiku karena hal itu. Ia juga menyesal telah melarang dia bertemu denganku. Dan setelah memikirkan hal itu, aku baru menyesal. Amat sangat menyesal.
            “sudahlah, kau tahu sendiri bahwa rencana Tuhan lebih bagus dari rencanamu.” Begitulah cara ibu menghiburku setiap kali aku terkenang dirinya.
            Dia, adalah lelaki biasa. Namun jauh dalam dirinya, ada banyak hal yang akan membuat orang mudah menyukainya. Mungkin aku salah satu yang menjadikan hal itu sebagai alasan mengapa aku... mencintainya.
            Telepon genggamku yang tergeletak di sampir cangkir coklatku begetar halus. Aku malas untuk memerikasanya, tapi ada satu dorongan aneh yang membuatku ingin memeriksanya. Aku meraih ponselku dengan malas dan menyalakannya. Ada satu email. orang ini...
            Peraih Piala Oscar : hujan, dingin, bukankah lebih baik kalau kau cepat meminum coklatm itu ? atau lari menuruni tangga dan duduk di sofa, dekat dengan mesin penghangat. Denganku juga.
            Jantungku berdegup kencang lagi. Demi apapun, aku merindukan hal ini, aku rindu degup jantungku yang sulit ku kendalikan ini. Tapi aku takut untuk sekedar berharap, aku sudah tak pernah lagi berharap.
            “lama sekali menunggumu turun. Jadi aku memutuskan aku yang naik. Tidak dingin, Non ?” suara itu lagi. Aku bisa mendengar suara itu lagi. “kau tak ingin melihatku ?” aku sangat ingin melihatnya. Tapi, apakah aku boleh ?
            Lengan kokoh itu melingkar di bahuku, memelukku dengan hangat. Masih sama seperti yang pernah aku rasakan sebelumnya. “harummu masih sama, dan aku merindukanya.”
            “aku tak pernah menggantinya.” Balasku bangga. “kau pulang ?”
            “ya, sekarang aku sudah pulang. Dan tak akan pergi lagi.”
            “sayang,” panggilku dengan suara bergetar.
            “ya ?”
            “aku senang, semuanya masih tetap sama.”
           “kalau begitu, akupun sama.” Dia mencium puncak kepalaku. Aku sekarang tahu, aku tak akan lagi berkeinginan untuk memutar waktu. Semuanya akan selalu berjalan sebagaimana seharusnya. Bukankah begitu ?


 end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar