Sabtu, 27 Juni 2015

Working During The Holiday

Halooo Sunshine !! kesempatan kali ini, Sunny bakal manfaatin buat curhat aja sama kalian. Libur semester kali ini bener-bener libur panjang buat aku. Banyak banget kesempatan yang bisa aku lakuin di liburan yang berdurasi selama kurang lebih tiga sampai empat bulan. Well, siapa sih yang gak suka libur ? pengusaha kaya yang hobi nyari duit aja pasti seneng sama yang namanya libur barang sehari mah. Kalau nggak, minimal si pengusaha itu dalam hidupnya pernah ngerasain butuh libur. Betul kan gueeee ???

sebelum Sunny lanjutin Monic's Story of The Day, yang masih dalam tahap pengetikan dan pemantauan lapangan (baca : eaaaak), the main topic here is... yap ! aku magang, untuk dua bulan sebagai asisten tanteku di kantor or you can say it's such as a store. Tempat magangku itu adalah sebuah ruko dua lantai dengan dekorasi yang super klasik, mewah dan vintage. Kenapa tiga unsur itu bisa bersatu dan serasi-serasi aja ? yaaa karena ruko itu adalag sebuah toko yang menjajakan berbagai keperluan desain interior. Mulai dari gaya klasik, vintage, elegan, maskulin, minimalis, sampe maksimalis (emang ada ya ? ngarang gue.) itu ada semua ! mulai dari gordyn, wallpaper, krey, roman shade, vitase, vinyl, parquet, karpet, sun blast, dan semua muanya ada disana. pintu PVC juga ada hehe ._.v jadi promosi kan. Eh by the way sih, to be there is so hard for me. Indeed for the first time especially and also definitely. Aku gak bisa apa-apa disana :') i'm all like a fish out of the water. bahkan saat disuruh ngitung pake kalkulator. sebut saja aku ngetik tulisan yang beginian dihitung satu paragraf cuma makan waktu dua menit, lha ini.. ngitung pake kalkulator kayanya butuh waktu lima menit cuma buat ngali, ngurang sama mersenin harga. isn't it sucks ?

and it's not only that ! tanteku adalah sosok perempuan yang idealistis, tegas, keras dan membingungkan. thanks God for i'm not the only one there. but i'm the stupid one. sepupuku, Lidya, dia udah kerja dengan tanteku for at least two years. Aku salut sekaligus gak ngerti sama dia, she's damnly strong and cool. Cool as in... gak ngerti deh, antara gak begitu ambil pusing dan atau emang bawaannya yang selalu "ngalemin aja, lanjut terooos". Aku, aku coba niru lidya yang no matter what, just keep going. but it's so hard, mungkin karena aku orangnya too much care sama lingkunganku. ada masalah yang 'yah, kok gini sih ?' so i have to do something, right ? but, apa yang bakal kalian lakuin kalo misalnya you don't know what to do. Diem ? anjrit, ngapain sih loooo ?!! kan lo lagi kerja. alhasil, aku paksa lidya buat ngajarin aku tentang semuanya di hari pertama aku kerja. i force my self to swallow it clearly. tapi apa ? setiap kali aku di suruh ngehitung, aku grogi. aku takut salah ngitung dan akhirnya merugikan tanteku. but i'm only human and i bleed when i fall down~ hahahaha

dan.. oh ya, aku juga belajar cara gesek debet gitu di kantor. awalnya, tiap ada yang mau bayar pake debet atau kredit, aku sering bilang : "ya, ini mau bayar." terus kartunya lidya ambil dan aku ngeliatin dia. pas pelanggan udah pergi, aku ngadu : "ya, ajarin ngefax, nggesek sama bikin PO dong." dan dengan baik hati, Lidya ngajarin aku sampe aku bisa. yeaaaaay !!! disana, aku belajar cara ngitung gordyn, wallpaper, dan semua tektek bengeknya yang ternyata selama ini gak pernah aku bayangin sekalipun. And I though, ohh jadi gini usaha keluarga gue selama berthaun-tahun. alhasil, aku ngerasa sedikit bersalah juga karena dulu waktu kecil, aku sama sepupuku yang lain sering banget ngacauin ruang jahit, ngerusak tasoet (tali gordyn), daaaaan kekacauan lainnya yang gak bisa aku sebutin satu-satu.



naaaah... jadi begitulah ceritaku selama liburan dua minggu ini. Sambil menyelam, minum air. Sambil liburan, sambil ngisi tabungan wkwkwkwk. kalau boleh jujur, i miss my social life, mau itu di kampus, di komplek, di rumah nenek atau di jalanan sekalipun. aku kangen itu. dan lewat tulisan seperti inilah, i share my social life events. hope you don't be bored with my story, sunshine. salam pena oranye !!!

Kamis, 25 Juni 2015

Monic's Story of The Day #2

Ini adalah hari ketujuh aku tinggal di Bandung, dan hari ini, aku ingin pergi mengelilingi taman-taman di kota ini. Aku menyiapkan kamera dan iPad ku, siapa tahu saja ada yang bisa aku abadikan. Setelah selesai semua persiapanku aku bersiap keluar kamar dan berharap tidak berpapasan dengan salah satu atau bahkan kedua kakakku.
            “kamu maukemana, Dek ?” tanya Kak Alven. Ialah yang paling tua di antara kami.
            “mau tau aja.” Jawabku sekenannya. Ah, urusan seperti ini akan memakan waktu. Aku melangkahkan kaki menuju tangga untuk menuruninya.
            “hei, jawab kakak. Kamu mau kemana ? sama siapa ? kamu kan baru di sini. Nanti kalau kamu nyasar gimana ? di culik ? di perko..”
            “Kak, kakak ini pikirannya kelewatan deh ! Aku kan bisa naik TMB atau taksi ? kalaupun aku naik angkot aku kan bisa tanya orang.” Hardikku tak sabar. Bisa-bisanya kakakku membayangkan hal buruk padaku yang... yang... ah, kalau kalian tak percaya dulu aku ban hitam karate saat SD. Kuharap aku masih bisa mempraktikannya saat kuperlukan nanti.
            “ada apa nih ?” tanya Kak Fuzi, yang lebih kalem dan tidak banyak bicara. Namun sekalinya ia bicara, “like brother like sister. Kalian ini biang onar di rumah.”
            Aku memelototkan mataku padanya, dan ia hanya tersenyum tipis.  Alhasil aku membuang muka dan bergumam tidak jelas. Oh Tuhan, kenapa ada mimpi buruk di pagi bolong ?
            “Fuzi, kamu gak sopan banget sih sama aku ! aku kan leih tua dari kamu.”
            “lima menit ? it doesn’t matter. Ayah sama Om Edi aja yang beda dua tahun bisa enjoy.”
            “ya Tuhan, kamu ini bicara seenak mulutmu sekali Fuzi !” bentak Kak Alven yang merasa dirinyalah yang bertanggung  jawab untuk menjaga keselarasaan di antara persaudaraan kami.
            Aku mengambil kesempatan ini untuk kabur. Selama aku tinggal seatap dengan mereka, kira-kira perlu paling cepat sepuluh menit untuk mendamaikan pertikaian yang seperti ini. Aku mengambil lengkah pelan kesamping, keluar dari himpitan antara Kak Fuzi dan Kak Alven. Namun aku melupakan satu hal.
            “sekali lagi kamu ngelangkah, Dek, kamu gak boleh keluar rumah.” Kecam Kak Fuzi, membuat Kak Alven ikut-ikutan melirik tajam padaku.
            “astagaaaaa !!! kalian ini kenapa sih ? aku ini udah besar, aku juga bisa jaga diriku sendiri.” Teriakku frustasi. Ah, kalau begini terus mana bisa aku dapat teman. “Buuuu, Yaaaah, aku mau pergiiiiiii !!!!” teriakku lagi, berharap ada ibu dan ayah yang akan mendengarnya di bawah sana.
            “Moniiiic, kenapa kamu teriak-teriak sayang ? kamu ini gak tinggal di hutan.” Kata ibu memperingatiku sambil berteriak juga.
            “ibuuu, aku mau pergi. Tapi Kak Alven sama Kak Fuzi...”
            “biarlah mereka ikut sayang, biar kamu gak nyasar.” Balas ibu dengan suara yang diturunkan oktafnya.
            Kakiku menghentak bumi, pertanda aku mulai senewen dengan hal-hal seperti ini. Kalau aku melawan dengan alasan aku ingin mendapat teman, ibu pasti menjawab dengan raut sedih yang membuatku tak tega untuk memberi alasan seperti itu lagi.
            “Monic, dengar ibu. Dulu saat kamu lahir, ibu merasa senang sekali. Karena akhirnya ibu punya teman di rumah. Saat kamu kecil, ibu membayangkan kalau saat kamu besar nanti, ibu bisa mengajarimu berdandan, curhat tentang laki-laki, belanja bareng, ke salon bareng, pokoknya hal-hal yang biasa di lakukan perempuan. Kamulah teman ibu, sayang. kita bisa menjadi teman, sahabat atau ibu dan anak. Selain itu, kakak-kakakmu juga temanmu, kenapa kamu masih merasa kesepian ? bukannya temanmu di sekolah juga banyak ?” begitulah tuturan ibu bila aku mengeluh aku ingin bermain dan mencari banyak teman.
            Dulu kupikir semuanya memang masuk akal. Aku bisa menganggap keluargaku sebagai temanku. Tidakkan semuanya terasa menyenangkan ? banyak anak seusiaku yang tidak bisa berteman dengan keluarganya. Bahkan ‘berkeluarga’ dengan keluarganya sendiripun tak bisa. Tapi beginilah yang aku rasakan saat semakin aku beranjak dewasa. Salahkah aku bila aku ingin memiliki teman yang bisa kuajak main kemanapun ? ku ajak bicara tentang apapun ? selain ibu, ayah, dan kedua kakakku ? oh, ayolah, aku tak ingin kehidupan hanya selalu tentang keluargaku. Aku ingin merasakan pesta piyama dengan teman-teman perempuanku.  Atau kencan dengan lelaki idamanku. Tapi, saat mereka pertama datang ke rumahku, mereka selalu keberataan karena grogi atau takut pada kedua kakakku.
            “dengar ? kami akan ikut denganmu. Emangnya kamu mau kemana, Monic ?” tanya Kak Alven, menarikku dari memori masa lalu (ralat : memori sepanjang masa).
            Aku masih diam. Malas sekali untuk menjawab. Membayangkan apa yang akan dipikirkan orang saat melihatku diikuti kedua kakakku. Mereka pasti berpikir : hey, lihat cewek itu ! dia pasti kuper hingga harus diikuti kakak kembarnya hanya untuk sekedar memiliki teman bicara ‘kemana lagi kita setelah ini ?’. aaaaarrrgghh !!! membanyangkannya saja membuatku kesal.
            “heh, kamu mau kemana Fuzi ?” tanya Kak Alven yang melihat Kak Fuzi melagkahkan kaki.
            “ambil jaket.” Jawab Kak Fuzi singkat, padat dan jelas.
           
            “kamu, tunggu di sini. Aku juga akan mengambi jaket. Jangan pernah berpikir untuk mengambil langkah seribu. Oke ?” kata Kak Alven memperingatkan.
            you wish !!!” sambarku dengan muka yang mungkin sudah memerah seperti wajah Tom yang gemas terhadap Jerry.
            Dan akhirnya, disinilah aku sekarang..
            Aku kadang melangkah cepat  atau lambat, tergantung dimana kedua kakakku berada. Kalau mereka berdiri di depanku, aku melambatkan jalan. Kalau mereka di belakangku, aku mempercepat jalanku.
            Aku membidik beberapa pemandangan di Taman  Jomblo. Beberapa orang tampak duduk berdiam diri di bangunan-bangunan kecil berbentuk persegi panjang yang berpencar dan berjarak. Menurutku bangunan-bangunan kecil itu adalah kursi yang hanya mampu diduduki satu orang. Mungkin karena itulah kenapa taman ini disebut Taman Jomblo. Jelas sekali kursinya hanya bisa diduduki oleh satu orang. Seorang jomblo.
            “heh, tingali geura. Kasep he-eh ?” kata seorang perempuan yang berdiri tak jauh dariku, pada temannya. Meski aku bukan orang Sunda, aku bersyukur karena nenek dari ibuku adalah orang Sunda. Jadi setidaknya aku mengerti apa yang mereka katakan. Tapi, pada siapa mereka mengatakan hal itu ? aku menolehkan wajah untuk melihat siapa yang mereka maksud tampan, dan pikiranku ternyata benar.
            “kamu liatin apa, Monic ?” tanya Kak Fuzi yang merasa kuperhatikan.
            Aku meringis mendengar itu. Karena pada saat itu, otomatis kedua perempuan itu melirik ke arahku dan tersenyum minta maaf.
            nothing. Udah sana, cari tempat lain. Gak usah ikutin aku mulu.”
            “gak bisa ! Alven lagi beli minum. Nanti kalo kamu kabur gimana ? atau kamu di bawa kabur ?”
            “astagaaaaa !!! huuh haaah huuuh haaah, terserah saja !” kataku denga nafas memburu. Apa yang ada di pikiran kedua kakakku ini ?
            Aku duduk di salah satu kursi dan melihat-lihat hasil bidikanku. Kak Alven ikut memiringkan badannya demi ikut melihat hasil bidikanku. Meskipun terkadang (ralat : seringkali) kedua kakakku menyebalkan, mereka adalah kakak yang sangat baik dan hangat. Saking sangatnya hingga terkesan berlebihan, mungkin karena kami tumbuh bersama. Dan hidup bersama. Sama sepertiku, kedua kakakku juga tidak punya banyak teman. Bedanya mereka sudah punya minimal dua orang mantan kekasih. Sedangkan aku, ada yang menyatakan cinta padaku saja, kedua kakakku yang menolak cinta mereka untukku.
            Kak Fuzi adalah lelaki yang dingin meski berwajah lebih tampan dari Kak Alven. Semua perempuan yang mengenalnya pasti penasaran padanya. Mantannya hanya ada dua dan di jomblo sekarang. Sedangkan Kak Alven kepalang baik sama perempuan, banyak perempuan yang patah hati karena terbawa perasaan pada sikap baiknya. Untung saja kakakku yang paling tua ini sudah akan bertunangan.
            “kenapa sih, Kak Alven gak pergi berdua aja sama Kak Mia ? jarak kan udah gak misahin kalian lagi.”
            “Mia lagi pergi sama keluarganya. Sebelum jadi istri, dia gak lebih penting dari kamu, Dek.” 
            Kami tertawa mendengarnya, hatiku terasa hangat seketika. Ah, membayangkan kakakku yang akan dimiliki perempuan lain membuatku merasa kehilangan meski baru membayangkannya saja.
            “eh, by the way, siapa yang milih taman jomblo jadi destinasi utama sih ? bukannya tadi aku bilang aku mau ke taman musik ?” tanyaku sambil menghapus ebeberapa gambar yang blur.
            “gak tau tuh, kan si Fuzi yang nyetir. Aku kan gak jomblo kaya kalian.” Ledek Kak Alven.
            Aku memalingkan wajahku cepat pada Kak Fuzi yang masih dengan gaya tenangnya. “ini yang paling deket dari rumah. Kalian pikir Bandung gak macet ?”
            Aku dan Kak Alven hanya manggut-manggut sambil menatap Kak Fuzi penuh arti. “uuuuuh Fuziiii !!!” kataku dan Kak Alven bersamaan, setelah itu kami tertawa bersama.
            Yap, like brothers like sister. Abis berantem, kita pasti damai lagi.

Rabu, 24 Juni 2015

Monic's Story of The Day



Monic’s Story of The Day
# 1
                Halo sobat, namaku Monica Tiara. Panggil saja aku Monic. Aku baru pindah rumah, ke salah satu perumahan di kota Bandung. Sebelumnya, aku tinggal Bali bersama orang tua dan kedua kakak laki-lakiku. Aku anak bungsu berusia tujuh belas tahun, sejak sebulan yang lalu. Kedua kakak kembarku, bernama Alven Jordan dan Fuji Jordan, adalah dua orang yang unik dan cukup bertolak belakang meski mereka anak kembar. Mereka lima tahun lebih tua dariku. Beberapa hal yang membuat mereka sama selain wajah dan ukuran fisik mereka adalah ; mereka sama-sama menyukai gunung seperti ayah kami(oleh karena itu nama depan mereka mirip nama gunung), sama-sama memiliki nama Jordan (yang sebenarnya bukan nama keluarga melainkan nama salah satu pemain basket legendaris dunia dan nama vokalis dari Dream Theatre, yang keduanya merupakan idola ayah kami), dan yang terkahir adalah sama-sama posesif terhadapku. Tidak, mereka tidak memanjakanku. Aku sama sekali tidak merasa dimanjakan mereka, aku justru merasa mereka memperlakukanku layaknya boneka yang tidak pernah mereka miliki. ya, itulah tentang kedua kakakku.
                Aku hidup bersama dengan orang tua yang masih utuh (syukurlah), aku sangat menyayangi dan disayangi oleh mereka. Mereka adalah perhiasanku. Ayahku, adalah orang yang unik. Beliau memiliki golongan darah O yang kutahu adalah salah satu golongan darah yang paling mendominasi di dunia. Tapi aku merasa, ayahkulah yang paling unik di antara pemilik golongan darah O lainnya. Ayahku adalah seorang arsitek. Beliau sangat menyukai gunung dan basket. Beliau juga memiliki suara yang nyaring untuk ukuran laki-laki. Beliau sangat hobi membangunkanku dan kedua kakakku dengan suara nyaringnya, karena tahu kami tak tahan dengan itu. Selain itu, ayah adalah orang yang senang bercanda. Tapi bila sedang serius mengerjakan sesuatu, tersenyum pun mungkin aku harus membayar mahal untuk melihatnya.
                Lain dengan ibuku. Ibuku adalah sosok wanita yang anggun dengan rambut ikal sebahunya. Ibu sangat menyukai semua hal bergaya vintage dan klasik. Ibu pernah bercerita bahwa saat aku lahir, ibu merengek pada ayah agar nama yang dipilihkannya untukku, aku pakai. Karena pada saat itu, ayahku berkeras memberiku nama Himala a.k.a Himalaya. Tentu saja ibuku menolak karena ibu menyukai pantai ketimbang gunung. Selain itu, ibu mengatakan bahwa nama itu meningatkannya akan nama himpunan di kampusnya yang memiliki kepanjangan Himpunan Mahasiswa Lama alias kumpulan mahasiswa yang sudah dua kali pernah gagal sidang. Juga, ibu mangatakan bahwa himalaya mengingatkannya akan salah stu jenis ras kucing yang meski imut namun hidungnya pesek sekali. Setelah menjelaskan itu semua pada ayah, dengan berat hati akhirnya ayah menerima usulan nama dari ibu untukku. Monica, mengingatkan ibu akan nama salah satu jalan di Amerika yang terdapat seorang pemain biola cantik nan handal juga terdapat pengamen handal lainnya. Ibu sangat menyukai musik san St. Monica adalah tempat dimana ia bisa menikmati musik saat gadisnya.
                Di Bandung, aku memulai kehidupan yang serba baru. Aku jarang keluar rumah karena selain tidak ada teman, aku lebih senang menulis di rumah. Bila keluar, itu untuk keperluan kuliahku yang akan dimulai dalam satu bulan lagi. Aku akan berkuliah di salah satu universitas negeri jurusan desain interior. Aku tidak begitu suka menggambar, juga merancang. Tapi aku senang melihat rumah-rumah bagus yang ayahku ciptakan. Oleh karena itu, menjadi partner ayah seperti menyenangkan. Ayahku tentu saja senang, karena ia merasa ada teman. Kak Alven, berkuliah di jurusan matematika. Sementara Kak Fuzi, kuliah di jurusan psikologi.
                Tinggal di rumah baru, tentu saja belum membuatku merasa begitu nyaman. Baru dua hari tinggal di sini, aku sudah rindu dengan ombak dan pasir. Aku rindu pantai. Selain itu, aku belum terbiasa dengan perubahan waktu disini. Dan juga harga serta tempat umum disini. Di Bandung, semuanya serba murah dan lengkap. Hari pertama aku tinggal disini, aku bisa langsung menemuka Dunkin Donut yang langka di Bali. Aku juga tahu dari Kak Alven bahwa bioskop disini harganya dua kali lipat lebih murah dari harga bioskop di Bali. Aku menerima info itu dengan hati yang senang. namun, tetap saja aku merasa sedih karena aku tidak ada teman disini. Ingin rasanya memiliki teman. Aku termasuk orang yang introvert, oleh karena itu aku sulit dekat dengan orang lain. Hobi menulisku adalah sahabatku, dengan menulis aku bisa bercerita banyak dan bebas.
                Nah sobat, cukup sekian dulu ya cerita dari Monic. Setelah hari ini, Monic akan bercerita lagi. sampai jumpa, sobat !!!

Senin, 22 Juni 2015

the first poem on my new little journey

For the first time in forever...

hai readers, it's nice to share something that  i'd like to do. Here i will share my own poem on my own new blog. hope you'll like it. Please leave some feedback or like in my post.


Catatan Perempuan Biasa
Dia beruntung sekali
Mereka beruntung sekali
Terkadang aku iri
Akan apa yang mereka miliki

Aku tak punya
Apa yang mereka punya
Aku tak sama indahnya
Menyakitkan saat menyadari kenyataannya

Oh Tuhan,
Kau katakan kami semua sama
Mengapa aku merasa berbeda
Merapa aku merasa tak istimewa

Oh Tuhan,
Mereka bila kami mahluk paling indah
Mengapa aku merasa terlalu biasa ?
Mengapa orang menganggapku terlalu biasa ?

Oh Tuhan,
Adakah kebahagiaan untukku seperti kebahagiaan mereka ?
Mereka yang begitu didamba para adam
                                             Mereka yang tak sulit menaklukan sang adam 

written by : Sunny
salam pena oranye !!!