Kamis, 25 Juni 2015

Monic's Story of The Day #2

Ini adalah hari ketujuh aku tinggal di Bandung, dan hari ini, aku ingin pergi mengelilingi taman-taman di kota ini. Aku menyiapkan kamera dan iPad ku, siapa tahu saja ada yang bisa aku abadikan. Setelah selesai semua persiapanku aku bersiap keluar kamar dan berharap tidak berpapasan dengan salah satu atau bahkan kedua kakakku.
            “kamu maukemana, Dek ?” tanya Kak Alven. Ialah yang paling tua di antara kami.
            “mau tau aja.” Jawabku sekenannya. Ah, urusan seperti ini akan memakan waktu. Aku melangkahkan kaki menuju tangga untuk menuruninya.
            “hei, jawab kakak. Kamu mau kemana ? sama siapa ? kamu kan baru di sini. Nanti kalau kamu nyasar gimana ? di culik ? di perko..”
            “Kak, kakak ini pikirannya kelewatan deh ! Aku kan bisa naik TMB atau taksi ? kalaupun aku naik angkot aku kan bisa tanya orang.” Hardikku tak sabar. Bisa-bisanya kakakku membayangkan hal buruk padaku yang... yang... ah, kalau kalian tak percaya dulu aku ban hitam karate saat SD. Kuharap aku masih bisa mempraktikannya saat kuperlukan nanti.
            “ada apa nih ?” tanya Kak Fuzi, yang lebih kalem dan tidak banyak bicara. Namun sekalinya ia bicara, “like brother like sister. Kalian ini biang onar di rumah.”
            Aku memelototkan mataku padanya, dan ia hanya tersenyum tipis.  Alhasil aku membuang muka dan bergumam tidak jelas. Oh Tuhan, kenapa ada mimpi buruk di pagi bolong ?
            “Fuzi, kamu gak sopan banget sih sama aku ! aku kan leih tua dari kamu.”
            “lima menit ? it doesn’t matter. Ayah sama Om Edi aja yang beda dua tahun bisa enjoy.”
            “ya Tuhan, kamu ini bicara seenak mulutmu sekali Fuzi !” bentak Kak Alven yang merasa dirinyalah yang bertanggung  jawab untuk menjaga keselarasaan di antara persaudaraan kami.
            Aku mengambil kesempatan ini untuk kabur. Selama aku tinggal seatap dengan mereka, kira-kira perlu paling cepat sepuluh menit untuk mendamaikan pertikaian yang seperti ini. Aku mengambil lengkah pelan kesamping, keluar dari himpitan antara Kak Fuzi dan Kak Alven. Namun aku melupakan satu hal.
            “sekali lagi kamu ngelangkah, Dek, kamu gak boleh keluar rumah.” Kecam Kak Fuzi, membuat Kak Alven ikut-ikutan melirik tajam padaku.
            “astagaaaaa !!! kalian ini kenapa sih ? aku ini udah besar, aku juga bisa jaga diriku sendiri.” Teriakku frustasi. Ah, kalau begini terus mana bisa aku dapat teman. “Buuuu, Yaaaah, aku mau pergiiiiiii !!!!” teriakku lagi, berharap ada ibu dan ayah yang akan mendengarnya di bawah sana.
            “Moniiiic, kenapa kamu teriak-teriak sayang ? kamu ini gak tinggal di hutan.” Kata ibu memperingatiku sambil berteriak juga.
            “ibuuu, aku mau pergi. Tapi Kak Alven sama Kak Fuzi...”
            “biarlah mereka ikut sayang, biar kamu gak nyasar.” Balas ibu dengan suara yang diturunkan oktafnya.
            Kakiku menghentak bumi, pertanda aku mulai senewen dengan hal-hal seperti ini. Kalau aku melawan dengan alasan aku ingin mendapat teman, ibu pasti menjawab dengan raut sedih yang membuatku tak tega untuk memberi alasan seperti itu lagi.
            “Monic, dengar ibu. Dulu saat kamu lahir, ibu merasa senang sekali. Karena akhirnya ibu punya teman di rumah. Saat kamu kecil, ibu membayangkan kalau saat kamu besar nanti, ibu bisa mengajarimu berdandan, curhat tentang laki-laki, belanja bareng, ke salon bareng, pokoknya hal-hal yang biasa di lakukan perempuan. Kamulah teman ibu, sayang. kita bisa menjadi teman, sahabat atau ibu dan anak. Selain itu, kakak-kakakmu juga temanmu, kenapa kamu masih merasa kesepian ? bukannya temanmu di sekolah juga banyak ?” begitulah tuturan ibu bila aku mengeluh aku ingin bermain dan mencari banyak teman.
            Dulu kupikir semuanya memang masuk akal. Aku bisa menganggap keluargaku sebagai temanku. Tidakkan semuanya terasa menyenangkan ? banyak anak seusiaku yang tidak bisa berteman dengan keluarganya. Bahkan ‘berkeluarga’ dengan keluarganya sendiripun tak bisa. Tapi beginilah yang aku rasakan saat semakin aku beranjak dewasa. Salahkah aku bila aku ingin memiliki teman yang bisa kuajak main kemanapun ? ku ajak bicara tentang apapun ? selain ibu, ayah, dan kedua kakakku ? oh, ayolah, aku tak ingin kehidupan hanya selalu tentang keluargaku. Aku ingin merasakan pesta piyama dengan teman-teman perempuanku.  Atau kencan dengan lelaki idamanku. Tapi, saat mereka pertama datang ke rumahku, mereka selalu keberataan karena grogi atau takut pada kedua kakakku.
            “dengar ? kami akan ikut denganmu. Emangnya kamu mau kemana, Monic ?” tanya Kak Alven, menarikku dari memori masa lalu (ralat : memori sepanjang masa).
            Aku masih diam. Malas sekali untuk menjawab. Membayangkan apa yang akan dipikirkan orang saat melihatku diikuti kedua kakakku. Mereka pasti berpikir : hey, lihat cewek itu ! dia pasti kuper hingga harus diikuti kakak kembarnya hanya untuk sekedar memiliki teman bicara ‘kemana lagi kita setelah ini ?’. aaaaarrrgghh !!! membanyangkannya saja membuatku kesal.
            “heh, kamu mau kemana Fuzi ?” tanya Kak Alven yang melihat Kak Fuzi melagkahkan kaki.
            “ambil jaket.” Jawab Kak Fuzi singkat, padat dan jelas.
           
            “kamu, tunggu di sini. Aku juga akan mengambi jaket. Jangan pernah berpikir untuk mengambil langkah seribu. Oke ?” kata Kak Alven memperingatkan.
            you wish !!!” sambarku dengan muka yang mungkin sudah memerah seperti wajah Tom yang gemas terhadap Jerry.
            Dan akhirnya, disinilah aku sekarang..
            Aku kadang melangkah cepat  atau lambat, tergantung dimana kedua kakakku berada. Kalau mereka berdiri di depanku, aku melambatkan jalan. Kalau mereka di belakangku, aku mempercepat jalanku.
            Aku membidik beberapa pemandangan di Taman  Jomblo. Beberapa orang tampak duduk berdiam diri di bangunan-bangunan kecil berbentuk persegi panjang yang berpencar dan berjarak. Menurutku bangunan-bangunan kecil itu adalah kursi yang hanya mampu diduduki satu orang. Mungkin karena itulah kenapa taman ini disebut Taman Jomblo. Jelas sekali kursinya hanya bisa diduduki oleh satu orang. Seorang jomblo.
            “heh, tingali geura. Kasep he-eh ?” kata seorang perempuan yang berdiri tak jauh dariku, pada temannya. Meski aku bukan orang Sunda, aku bersyukur karena nenek dari ibuku adalah orang Sunda. Jadi setidaknya aku mengerti apa yang mereka katakan. Tapi, pada siapa mereka mengatakan hal itu ? aku menolehkan wajah untuk melihat siapa yang mereka maksud tampan, dan pikiranku ternyata benar.
            “kamu liatin apa, Monic ?” tanya Kak Fuzi yang merasa kuperhatikan.
            Aku meringis mendengar itu. Karena pada saat itu, otomatis kedua perempuan itu melirik ke arahku dan tersenyum minta maaf.
            nothing. Udah sana, cari tempat lain. Gak usah ikutin aku mulu.”
            “gak bisa ! Alven lagi beli minum. Nanti kalo kamu kabur gimana ? atau kamu di bawa kabur ?”
            “astagaaaaa !!! huuh haaah huuuh haaah, terserah saja !” kataku denga nafas memburu. Apa yang ada di pikiran kedua kakakku ini ?
            Aku duduk di salah satu kursi dan melihat-lihat hasil bidikanku. Kak Alven ikut memiringkan badannya demi ikut melihat hasil bidikanku. Meskipun terkadang (ralat : seringkali) kedua kakakku menyebalkan, mereka adalah kakak yang sangat baik dan hangat. Saking sangatnya hingga terkesan berlebihan, mungkin karena kami tumbuh bersama. Dan hidup bersama. Sama sepertiku, kedua kakakku juga tidak punya banyak teman. Bedanya mereka sudah punya minimal dua orang mantan kekasih. Sedangkan aku, ada yang menyatakan cinta padaku saja, kedua kakakku yang menolak cinta mereka untukku.
            Kak Fuzi adalah lelaki yang dingin meski berwajah lebih tampan dari Kak Alven. Semua perempuan yang mengenalnya pasti penasaran padanya. Mantannya hanya ada dua dan di jomblo sekarang. Sedangkan Kak Alven kepalang baik sama perempuan, banyak perempuan yang patah hati karena terbawa perasaan pada sikap baiknya. Untung saja kakakku yang paling tua ini sudah akan bertunangan.
            “kenapa sih, Kak Alven gak pergi berdua aja sama Kak Mia ? jarak kan udah gak misahin kalian lagi.”
            “Mia lagi pergi sama keluarganya. Sebelum jadi istri, dia gak lebih penting dari kamu, Dek.” 
            Kami tertawa mendengarnya, hatiku terasa hangat seketika. Ah, membayangkan kakakku yang akan dimiliki perempuan lain membuatku merasa kehilangan meski baru membayangkannya saja.
            “eh, by the way, siapa yang milih taman jomblo jadi destinasi utama sih ? bukannya tadi aku bilang aku mau ke taman musik ?” tanyaku sambil menghapus ebeberapa gambar yang blur.
            “gak tau tuh, kan si Fuzi yang nyetir. Aku kan gak jomblo kaya kalian.” Ledek Kak Alven.
            Aku memalingkan wajahku cepat pada Kak Fuzi yang masih dengan gaya tenangnya. “ini yang paling deket dari rumah. Kalian pikir Bandung gak macet ?”
            Aku dan Kak Alven hanya manggut-manggut sambil menatap Kak Fuzi penuh arti. “uuuuuh Fuziiii !!!” kataku dan Kak Alven bersamaan, setelah itu kami tertawa bersama.
            Yap, like brothers like sister. Abis berantem, kita pasti damai lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar