Rabu, 30 Desember 2015

Badai Menjadi Nyata

haiiiiiii, hari ini author bakal ngepost cerpen yang sebenernya udah author tulis dari lama. Ini salah satu karya author yang author suka. Buat yang mau nyalin boleh kok, tapi sumber dan pengarang dicantumkan ya ! ^^ salam pena oranye *winkwink*

Detak jam yang berirama mengisi kekosongan kamarku, bunyinya semakin meresahkanku 
dari detik ke detik selanjutnya. Debar jantungku yang cepat juga ikut berkontribusi dalam menambah keresahanku. Atur nafasmu, tarik dan hembuskan, pikirku sambil mempraktikannya. Tanganku merambat menyentuh dada, sudah tak secepat tadi, pikirku lega.
            “baiklah,” kataku sambil menggenggam ponselku dan mengetik beberapa angka yang sudah kuhapal selama dua tahun belakang. Namun, lagi-lagi jariku berhenti menari ketika hendak menekan gambar telepon. Aku melemparkan ponselku yang langsung menyusup kedalam selimut.
            Lima menit kekosongan mengisi kamarku. Mendadak aku terlonjak kaget dan seketika aku tersadar bahwa aku melamun, ponselku berbunyi nyaring, ada sebuah panggilan. Aku segera menyambar ponselku, berharap itu panggilan dari seseorang yang hendak ku telepon, namun ternyata aku salah dan aku sadar kemungkinan itu mustahil.
            “hai,” seru sahabatku, Letta, ketika aku menjawab panggilannya. “bagaimana ? apa kau sudah meneleponnya ?” tanya Letta di sebrang sana.
            “belum.”
            “belum ? kau ini bagaimana ? katanya kau akan jujur, apa kau sudah melupakan janjimu untuk mengakuinya?”
            “belum.”
            “belum ? lantas mengapa kau belum meneleponnya ? ayo cepat, keburu malam. Aku tahu pria suka bergadang tapi kurasa dia tidak seperti itu.” Omelnya seakan aku ini korban ketinggalan kereta.
            “baiklah,”
            “baiklah,” cibirnya menirukan suaraku. “pokoknya kau harus meneleponnya malam ini. Setelah itu, kau kabari aku. Aku tak ingin melihatmu begitu terus. Aku akan menutup telepon, semoga berhasil.” Setelah itu terdengar nada bip yang membuatku kembali merenung.
            Aku merebahkan diri dikasurku, aku memejamkan mata dan kembali merasakan debar jantungku yang sudah seperti seribu pasukan kuda sedang berlari. Aku melirik dua lembar kertas dengan gambar piano klasik yang merupakan tiket konser piano di salah satu universitas di kotaku. Aku menemukannya di dekat meja pengembalian buku ketika Badai mengeluarkan kartu anggota perpustakaan dan tanpa sengaja menjatuhkan tiket itu dari saku calananya. Aku baru akan berteriak mengingatkannya, tapi dia pergi dengan cepat bahkan sebelum otakku benar-benar berpikir untuk mengejarnya. Tiket itu ada dua yang berarti untuk dua orang, mungkin satunya lagi untuk kekasihnya, pikirku pahit. Setetes air mata mengalir dimataku begitu mengingat sosoknya, Badai, orang yang telah memporak-pondakan hatiku. Membuatku sulit berpikir tentang hal lain selain Badai dan semua yang telah disebabkannya padaku. Aku mengenalnya dengan baik, tapi dia tidak mengenalku, bahkan jauh dari kata cukup kenal. Aku tahu hampir semua tentangnya, karena aku selalu memperhatikannya. Sedangkan dia, kurasa dia hanya tahu namaku dan tampangku. Hampir setiap hari –kecuali hari minggu— kami bertemu di kafetaria di perpustakaan daerah. Aku selalu memperhatikannya, apapun yang dia lakukan hingga aku bisa mengenalinya dengan mudah. Dia seperti buku yang terbuka, hal-hal tentangnya dan kepribadiannya mudah kubaca, tapi tidak dengan pandangannya ketika tak sengaja kami saling bertatapan. Mungkin saat itu aku yang seperti buku terbuka –karena tak sampai lima detik dia mengalihkan wajahnya tanpa tersenyum padaku— padahal menurutku dia pria yang ramah.
            Aku merasakan leherku basah seperti sedang berkeringat, tapi ternyata bukan, itu air mataku yang menderas hingga membasahi leherku. Aku mengerjap dan saat itu aku mengakui bahwa aku mencintainya sejak pandangan pertama. Aku mengambil tisu dan melapnya. Setelah itu, aku kembali memegang ponsel. Ya, aku berniat mengembalikan tiket itu supaya dia bisa menontonnya dengan kekasihnya. Lagipula, tiket itu harganya mahal sehingga aku memang harus mengembalikannya.
            “baiklah, sekarang atau tidak sama sekali. Sekarang atau aku pencundang. Sekarang atau aku tak akan pernah hidup tenang. Sekarang atau sebelum aku menyesal.” Hiburku pada diri sendiri.
            Aku kembali menekan angka yang ternyata kuhapus saat nyaris melakukan percobaan pertama tadi, setelah menarik nafa panjang aku menekan gambar telepon itu.
            Dering pertama, kedua, ketiga, hingga terdengar suara petugas operator, teleponku tak diangkat dan aku tidak berminat untuk meninggalkan pesan suara. Aku memutuskan panggilan tersebut dan melemparkan kembali ponselku ke dalam selimut. Aku kembali merebahkan diri di kasur, lalu tanpa sadar aku tertidur.
            Aku tersentak begitu mendengar bunyi nyaring itu, nyaring yang panjang dan mengganggu tidurku. Terpaksa aku membuka mata, mataku menjajah seisi kamar dan pandanganku terpaku pada jam dinding yang menunjukan angka sembilan yang tandanya aku hanya tidur selama satu setengah jam. Aku mencari ponselku dan begitu menemukannya, ada satu voicemail dari kontak bernama Badai.
            Jantungku seakan tak mau berdetak lebih santai ketika memegang ponsel itu, setelah menarik nafas dan menghembuskannya, aku mendengar voicemail itu.
            “halo, ini Badai. Barusan nomer ini menghubungi saya ketika sedang menyetir, kalau ini darurat, silakan menghubungi saya kembali di nomor ini.” Begitu bunyi pesannya di mailbox-ku.
            Ini pertanda, ini sinyal, teleponku direspon ! Pikirku gembira, segera aku menghubungi nomor Badai kembali dengan penuh harap dan gugup yang membuat badanku terasa ngilu.
            “selamat malam,” suara itu terdengar hangat dan dalam, membuat lidahku kelu dan hanya ingin mendengarnya saja.
            “se-selamat malam, Badai,” balasku gugup dan pasti terdengar sangat bodoh.
            Ada jeda sejenak sebelum akhirnya dia menyahut, “ya, ada apa ?” tanyanya ramah.
            “aku.. aku ingin mengembalikan tiket konser Sound Of Classic, aku menemukannya ketika kau menjatuhkannya di meja pengembalian buku lantai tiga dua hari yang lalu. Tiket itu benar itu milikmu, kan ?” tanyaku lega ketika aku dapat mengucapkan kalimat itu dengan lancar walaupun aku masih sangat gugup.
            “ya, itu punyaku. Apa ada padamu ?”
            “ya,”
            “oh syukurlah, aku kira aku menghilangkannya. Jadi bagaimana aku bisa mengambilnya ?” dia terdengar senang sekali, membuatku meringis.
            “...”
            “hm.. bagaimana bila kita bertemu di kafetaria besok jam satu, apa kau keberatan ?” usulnya yang membuat jantungku berdegup tak karuan, dia mengusulkan pertemuan denganku ! yang benar saja, aku pasti bisa gila bila menolak.
            Aku mengangguk, “tak masalah.”
            “oke, kalau begitu terimakasih.” Lalu aku segera memutuskan panggilanku.
            Aku masih merasakannya, ribuan pasukan kuda yang berlari itu, masih terasa jelas di dadaku. Aku menatap ponselku dan rasanya aku ingin memberi ponselku hadiah atas kerja kerasnya.
            Aku membuka mata ketika merasakan cahaya yang menerobos masuk melalui celah mataku, membangunkanku dan segera menyadarkanku bahwa hari baru telah tiba. Hal pertama yang kurasakan adalah bahagia, kemudian semangat dan yang terakhir adalah aku tak sabar menanti jam satu siang nanti.
            Aku segera beringsut dari tempat tidurku kemudian aku membereskan rumah dan pergi mandi. Ketika selesai berpakaian, aku mendapati teleponku berdering.
            “selamat pagi, Ta,” sapaku riang. Oh, ternyata telepon Badai berdampak sangat baik untukku, meskipun aku akan menemuinya untuk mengembalikan tiket konser yang akan ditontonya dengan kekasihnya.
            “kau terdengar ceria sekali, mau berbagi denganku ?”
            “aku akan bertemu Badai jam satu nanti.”
            “itu bagus, akhirnya. Lalu apa kau akan jujur ?”
            Darahku seketika membeku, aku tak memikirkan itu, tepatnya tak sempat. Entahlah, mendengar ia begitu bahagia akan mendapat tiketnya kembali, rasanya aku tak memikirkan hal lain selain aku senang mendengarnya bahagia. Apa ia akan menghindariku bila aku menceritakan apa yang selama ini aku simpan tentangnya ?
            “halo, apa kau masih sadar, sobat ?” panggil Letta yang memang menyadarkanku.
            “entahlah,” desahku gelisah.
            “entah ? sudah sebaik ini kau masih bisa menjawab, ‘entah’ ? kini giliran aku yang harus mengatakan ‘entah’ karena entah apa yang ada di kepala cantikmu sehingga berani mengabaikan kesempatan emas.”
            “...”
            “ah benar, aku tau itu, amat sangat tau. Kau takut bukan ?” tebaknya tepat sasaran.
            “...”
            “kau pernah mengatakan ketakutan harus dihadapi. Tapi kau sendiri ? oh ayolah, menyerah hanya pantas untuk orang yang sudah berusaha. Mengerti ?”
            “baiklah,”
            “baiklah apa ?”
            “aku akan mencoba.”
            “itu bagus, dan jangan kau sampai lupa atau pura-pura lupa untuk mengabariku. Baiklah, aku harus pergi sekarang. Semoga berhasil.”
            Sepuluh menit sebelum pukul satu aku sudah duduk di kafetaria, menunggu Badai. Lagi-lagi jantungku tak mau berkompromi barang sebentar saja, terutama saat aku akan menghadapi Badai nanti. Aku ingin bersikap tenang dan santai, bahkan sempat terpikir untuk bersikap datar dan dingin, tapi aku pasti tak akan bisa. Aku terlalu senang dapat bertemu dan berbicang dengannya.
            Tepat pukul satu, aku melihatnya. Dia berjalan sambil memandang sekeliling. Ah aku lupa, dia pasti tidak mengenali siapa yang meneleponnya semalam. Bagaimana ini ? apa aku harus melambaikan tangan untuk memberi tanda ? setelah berpikir matang, mungkin hanya itu cara terbaik. Akhirnya aku melambai, dengan rasa cemas dan gugup yang membuatku berkeringat dingin.
            Badai melihatku yang masih melambai –aku tidak berani memanggilnya karena itu akan memalukan jadi aku hanya tersenyum— tapi semakin dekat denganku langkahnya terlihat semakin berat dan ragu, membuatku cemas setengah mati. Apa yang ia pikirkan, aku tidak tahu dan tidak berani membayangkan. Apa mungkin ia ketaku... stop ! dia tidak mengenalmu bodoh, kenapa dia harus merasa takut padamu ? omelku pada diri sendiri.
            Detik-detik selanjutnya terasa lambat, tapi aku melihat ada kilatan dimatanya dan langkah Badai terlihat ringan dan pasti. Aku bahkan berhalusinasi ia sedang tersenyum ke arahku.
            “hai,” sapanya padaku. “sudah menunggu daritadi ?”
            Aku menggeleng, “tidak, aku baru datang.”
            Aku kembali berhalusinasi ia sedang menghembuskan nafas lega, bahkan halusinaiku bertambah parah ketika dia tersenyum hangat padaku sambil menatapku.
            “jadi...”
            “ah iya, ini tiketmu. Maaf baru menghubungimu. Kau pasti cemas sekali.” Kataku seolah mengerti apa yang akan di katakannya. Aku bergerak duluan karena aku ingin menghindari sakit hati bila mendengar betapa ia mencemaskan tiket konsernya dan kekasihnya ada padaku.
            “ah, iya tak masalah. Lagipula acaranya masih dua hari lagi.” balasnya santai sambil terkekeh. Ya Tuhan, aku bahkan berkhayal mendengarnya tertawa. Aku pasti sudah gila.
            “apa kau baik-baik saja ? kau terlihat pucat dan... cemas.”
            Aku mengerjap. Ya Tuhan, aku bahkan berkhayal lagi dia mencemaskanku. Setelah ini aku harus ke psikiater untuk mengecek kesehatan mentalku.
            “kau tak menjawab ? apa kau baik-baik saja ? apa aku merepotkanmu ?” itu rentetan pertanyaan yang membuat air mataku berdesakan ingin keluar karena terharu, dan benar saja, aku bisa merasakan air mataku mengalir.
            Aku melihat Badai yang terlihat bingung. Tapi mana mungkin ? aku pasti sudah terlalu banyak berkhayal, atau mungkin yang lebih parah aku sedang bermimpi ? ah benar, mungkin aku memang sedang bermimpi.
            Aku menggeleng. Lebih baik aku memanfaatkan mimpi ini, pikirku yakin. “apa kau baru saja mencemaskanku ?” itu bodoh, aku tahu pasti itu tindakan bodoh.
            Badai mengerjap, “ya, ya tentu saja. Kau terlihat pucat, kau bahkan dari tadi terlihat cemas bahkan ketika aku tersenyum kau tak membalas. Apa aku merepotkanmu ?”
            Mimpiku melantur, mana mungkin dia mengaku dia cemas dan tersenyum padaku ? aku meringis mengetahui kenyataan itu. “kau tau, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tunggu, jangan menyela. Cukup dengarkan, aku tak ingin menyiakan kesempatan ini.” Kataku serius. Ketika kulihat dia tidak akan menyela dan setuju mendengar, aku melanjutkan. “begini, aku akan langsung saja. Aku menyukaimu, bahkan sepertinya aku mencintaimu. Kau membuatku seperti orang gila. Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku memilih mengembalikan tiketmu dan kekasihmu, kenapa aku bermimpi seindah ini, kenapa aku mengatakan ini padamu, aku sungguh tak mengerti. Yang aku mengerti hanyalah aku ingin pikiranku kembali normal dan hidupku tenang. Bertemu denganmu setiap hari, mengamatimu seperti aku mengamati tumbuhan, membuatku kehilangan akal sehat untuk menyelesaikan masalah seperti ini.”
            Dentingan sendok membuatku menoleh cepat ke arah suara itu. Apa mimpi bisa menghasilkan suara benda ? pikirku heran. Setelah itu, aku melihat seorang pelayan mendatangi mejaku sambil membawa sepiring banana split yang ia letakan di atas meja. Apa aku baru saja memesan makanan ini ? aku bahkan bisa mencium harum strawberry dan melihat pelayan itu tersenyum padaku. Ini aneh, aku tidak mungkin memimpikan seorang pelayan yang tersenyum bukan ?
            Aku menatap Badai yang sedang serius menatapku. Apa yang ia pikirkan ? apa yang sebenarnya...
            “apa kau sudah selesai bicara ?” tanyanya, membuatku mengerjap dua kali sebelum mengangguk. “baiklah, sepertinya ada yang harus kuluruskan disini dan sepertinya aku sudah bisa memahami kegelisahanmu.”
            Aku hampir tertawa mendengar ia mengatakan ia memahami kegelisahanku, yang benar saja ? mimpi ini ternyata bukannya membantu malah menyiksaku.
            “apa kau berpikir ini mimpi ?” tanyanya membuatku tersentak seketika. Ya, tentu saja aku berpikir ini mimpi, kejadian seindah ini tak mungkin adalah kejadian nyata. Jadi aku memutuskan mengangguk. “baiklah, aku hanya ingin membantumu, kau mengerti ?”
            Aku bingung, walau begitu aku mengangguk lagi.
            “kau sedang tidak bermimpi.”
            “apa ?”
            “ini kejadian nyata. Semuanya.” Kemudian Badai menggenggam erat tanganku, membuatku seperti merasakan sengatan listrik. Tapi tunggu, aku tak akan langsung percaya, mungkin saja sentuhan ini milik ibuku yang sedang berusaha membangunkanku. Ya, pasti begitu.
            “aku tak percaya.” Balasku tegas.
            Badai tersenyum geli. Ya Tuhan, dia semakin tampan bila tersenyum seperti itu. “baiklah, aku akan memberimu bukti lain.” Kemudian dia menyendokan es krim banana splitku ke mulutku. Dan setelah itu aku merasakan dingin es strawberry di bibirku yang terkatup oleh suapan es itu, aku bahkan bisa merasakan rasa strwberry itu. Tubuhku menegang, sepertinya Badai benar, aku tidak sedang bermimpi. Aku mulai takut dengan imajinasi yang dibuat otak kananku.
            “kau percaya sekarang ?” tanyanya, membuatku mengangguk saja lebih untuk memastikan. Bila ini terbukti tidak nyata, aku siap menangis sepanjang hari begitu terbangun dari mimpi. “baiklah, karena kau sudah percaya dan sadar, kini giliranku yang berbicara.”
            “apa ? kau ingin bicara apa ?” tanyaku cemas.
            “kau salah paham tentang tiket ini.” Katanya sambil menggeser satu tiket di tangannya ke arahku. “tiket itu bukan untuk kekasihku, sebenarnya aku tidak tau bagaimana aku harus menyebutnya, yang jelas ia bukan kekasihku. Mungkin belum.” Katanya, membuatku tak paham dan merasa dadaku sesak, aku memandang tiket di depanku dengan bingung. “itu untukumu.” Katanya sambil tersenyum manis.
            “apa ?”
            “kau mendahuluiku untuk mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu. Aku takkan mengatakan ‘aku juga’, tapi aku akan mengatakan bahwa aku selalu memperhatikanmu dan tak pernah bisa berhenti melakukannya. Aku memikirkanmu seakan tak mau memikirkan hal lain selain kamu. Aku ingin mendekatimu tapi kau selalu menghindariku. Aku hampir menyerah tapi aku tak mau. Kau membuatku frustasi dan semakin frustasi ketika kau sama sekali tak tersenyum padaku.”
            “hei, tunggu, aku tersenyum padamu ketika aku melambai.”
            “kau meringis, aku melihat itu jelas.”
            “baiklah, tapi kau bilang apa tadi ? aku membuatmu frustasi ? hahaha.. apa aku membuatmu terganggu ?” tanyaku gusar.
            “tidak, bukan karena itu. Tapi karena aku senang ternyata perasaanku tak bertepuk sebelah tangan.”
            “apa maksudmu ? tunggu, kenapa kau jahat sekali ? bisakah kau tidak membuatku berharap meskipun ini hanya mimpi ?” tanyaku mulai jengah dan diliputi rasa sesak. Mimpi ini ternyata jahat.
            “aku mencintaimu.” Badai berkata jelas dengan nada yang lugas, serius, tulus tegas.
            “apa ?”
            “apa aku harus mengatakannya lagi ?”
            “apa aku tidak salah dengar ? kau bahkan tak mengenalku. Sementara aku, aku mengenalmu dengan baik Badai. Ini menyedihkan.”
            “kau menyukai musik klasik maka dari itu kau selalu berada di lantai tiga untuk menemukan buku-buku tentang musik klasik, kau menyukai cappuccino dengan sedikit gula dan banyak krim, kau menyukai catur dan basket, kau selalu membaca di perpustakaan hingga tertidur, kau suka anak kecil, kau mahasiswa semester dua, motormu matic putih dengan stiker biola di depannya, kau mempunyai sahabat bernama Letta dan kau... kau begitu sulit kubaca.” Jelasnya hingga membuatku menganga karena terlalu terkejut. Darimana ia tahu semua itu ?
            Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bersuara, hingga akhirnya aku mendengar dan merasakan ponselku bergetar di saku celanaku. Ya Tuhan, sepertinya aku memang tidak bermimpi, aku juga bisa merasakan angin yang berhembus hingga membuat bulu kuduku meremang. Aku membiarkan ponselku berhenti berdering dengan sendirinya. Kalau memang ini bukan mimpi, aku pasti sudah mempermalukan diriku tadi di depan Badai. Oh, tindakan bodoh apa lagi yang telah aku perbuat ? aku menggebrak meja dan berdiri, hingga membuat Badai terkejut. Detik selanjutnya aku merasakan perih di tanganku. Ya, aku akui sepenuh hati sekarang, aku tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar malu sekarang, aku sudah mengakui semuanya di depan Badai. Dia sekarang pasti jijik padaku.
            “kau kenapa ?” tanyanya cemas sambil memandangku.
            “berhenti memandangku seperti itu, aku... aku tidak tahu apa yang telah aku perbuat. Aku mempermalukan diriku dengan mengakui semuanya di depanmu, kau pasti akan menghindariku.”
            “hei, apa kau tidak mendengarku tadi ? berapa kali aku harus mengatakan dan menyakinkanmu bahwa aku juga menc...”
            “kau bahkan tidak tau namaku, Badai.”
            “tentu aku tahu, bahkan hal itu yang pertama aku ketahui. Oh, apa kau masih tidak percaya juga ?” kemudian dia menyerahkan ponselnya yang menujukan sebuah kontak dengan namaku tertera di atasnya. Ternyata dia benar. “kau percaya sekarang ?”
            “berhenti, ini mulai kelewatan. Aku hanya ingin mengembalikan tiketmu padamu, tapi... aku malah membocorkan semuanya dan mempermalukan diriku.”
            Lalu tanpa kusangka Badai berdiri dari kursinya, menghampiriku dan memelukku. Pelukannya begitu hangat dan terasa benar. Aku tidak tahu mana yang lebih parah, merasa diriku murahan karena mau-maunya di peluk oleh lelaki yang tiba-tiba mengaku bahwa ia juga mencintaiku atau mempercayai ucapannya yang terasa mustahil di telingaku.
            “aku tau mungkin ini terlalu cepat, aku juga tak menyangkanya. Tapi mendengarmu mengatakan itu semua, mengatahui bahwa ternyata selama ini aku tidak sendiri, membuatku merasa yakin bahwa aku telah sampai di tujuanku. Aku bersungguh-sungguh.” Katanya di sela-sela pelukannya. Kemudian, dia melepaskan pelukannya. “bagaimana dengamu ?”
            Aku mengerjap dan tampangku pasti terlihat bodoh. Aku senang, senang sekali, mendengar ucapannya yang terdengar tulus. “apa kau serius ? kau juga begitu padaku ? apa.. sungguh ini bukan mimpi ?”
            Kedua tangannya menepuk pipiku. “tentu saja bukan. Ini nyata dan semua yang kukatan adalah benar. Jadi bagaimana ? kau mau datang ke konser itu denganku ? aku belum tau apa aku akan pergi kesana dengan kekasihku atau denganmu, aku belum mendapat konfirmasi yang jelas.” Katanya menatapku dengan penuh arti.
            Jantungku, lagi-lagi jantungku berdentum kencang hingga aku takut badai akan mendengarnya. Aku tidak menyangka dengan kejadian hari ini, ini sungguh kejutan. Aku juga belum tahu harus mengatakan apa, yang jelas aku senang, bahagia, yakin dan merasa pasti sekarang. Aku tidak sedang bermimpi, jadi aku mengatakan, “ya, aku akan pergi denganmu Badai.”

            Badai yang telah memporak-porandakan hatiku. Lirihku bahagia.

Written by :

Sunny

Tidak ada komentar:

Posting Komentar