Rabu, 25 Mei 2016

Celoteh Seorang Teman Anak Rantau


Kau marah, kau merasa bersalah.
Kerjaanmu meminta maaf, seperti disini kaulah yang bersalah.
Kau bukan bersalah, kau hanya dilemma, rindu kampung halaman. 
Aku mulai tak kerasa disini, begitu selalu ucapmu padaku.
Kau bagai sendiri, padahal kau punya aku.
Kau bukan bersalah, kau hanya gelisah.
Pundakmu penuh beban, padahal tak seorangpun ada yang menyimpannya disana.
Bebanmu datang sendiri, tanpa sadar kian menumpuk seiring bertambah tuanya dirimu, juga aku, kita.
Kita tumbuh bersama.
Dari asing menjadi saling.
Kita telah lama berada di tanah yang sama.
Menghirup udara yang sama.
Memainkan permainan yang sama.
Makan dari piring yang sama.
Banyak berteman dengan orang yang sama.
Kita sudah terlalu menjadi saling.
Berapa banyak bukti lagi yang kau perlukan untuk membuatmu lebih kuat untuk bertahan disini ?
paling tidak, sampai kita sama-sama yakin kita telah berhasil.
Kepahitan hidupmu disini akan menjadi manis disana, di tanahmu.
Terbayar oleh kemenangan dari keberanian seorang gadis kecil yang menantang kehidupan di tengah kemelut kota dan segala urusannya.
Goyah di relungmu tak harus sulutkan motivasi di kepala cantikmu.
Kau pandai, masa depanmu akan cerah.
Dan mereka yang kau rindukan, akan mendekapmu erat, bersyukur karena mereka tahu bahkan karang tak setegar dirimu.

-sunny-
Bandung, 25 Mei 2016
Tribute to all of friends o'mine.

Jumat, 13 Mei 2016

Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss

Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss
author : Sunny

            Mataku menyalang jauh ke antah berantah, tempat dimana semua rasa sakit itu berkumpul, bersatu dan melahirkan duka. Dadaku seketika sesak –amat sesak– bahkan hingga aku seringkali berpikir, apa aku punya kelainan pernapasan ? kalau ya, kenapa aku hanya merasakannya ketika mengingat duka itu saja ? duka yang sebelumnya tak pernah kukira akan menjadi duka, duka yang sebelumnya sempat aku banggakan karena dulu aku menyebutnya prinsip, duka yang akhirnya membuatku berusaha bertahan hidup tanpa terpenuhinya kebutuhan yang kini menjadi duka itu sendiri. Aku tak mengerti mengapa semua bisa menjadi serumit ini, semula aku menganggap semuanya baik-baik saja, lurus, benar dan normal –bahkan terlalu normal– hingga akhirnya aku sadari bahwa selalu menjadi normal, lurus dan benar terkadang tidak membuat seseorang menjadi baik-baik saja, aku menyadari itu sekarang.
            Suara tawa yang pecah itu menarikku kembali dari kenyataan pahit yang hanya aku saja yang tahu.  Aku melihat teman-teman disekelilingku tertawa lepas, begitu lepas hingga perasaan ingin menirunya saja membuatku takut. Takut kalau aku akan sangat bersedih nantinya, setelah itu maka aku akan kecewa karena bahagiaku hanya semu. Aku mendesah panjang, namun suara desahan itu terendap oleh suara temanku yang lain. Di satu sisi aku merasa lega karena tak ada yang menyadari keresahanku, di sisi lainnya, aku merasa tak ada yang mempedulikanku dan aku merasa amat sendiri.
            “kau pasti bingung sekali. Yang satu begitu perhatian dan baik hati, tapi dia bukan kekasihmu. Sementara yang satunya lagi baik dan tampan dia juga kekasihmu, tapi mengapa kau malah membingungkan keduanya ? bukankah sudah jelas kau seharusnya memilih kekasihmu saja dan fokus padanya. Kenapa kau bingung memikirkan keduanya ?” cerocos temanku, Vita, yang hobi meracau panjang.
            Luwi mendesah putus asa, namun aku masih melihat kilatan bahagia dimatanya meskipun memang dia terlihat sekali sedang dilemma. “ini tak semudah yang kalian bayangkan saudari-saudariku, kalian tahu, aku sangat bingung karena aku sepertinya mencintai orang lain selain kekasihku.”
            “kau terlihat tidak bingung, percayalah. Kau terlihat menikmati keduanya.” Goda temanku yang lain bernama Liza. “bagaimana rasanya dicintai banyak lelaki ?”
            “hei, apa maksudmu ? apa kau baru saja mengatakan kalau aku ini wanita murahan ? dengar ya sis, kukatakan padamu sekali lagi bahwa aku sungguh kebingungan.” Ada jeda sejenak, kemudian Luwi melanjutkan, “kau ingin tahu rasanya ? rasanya menyenangkan. Tapi kadang aku juga merasa lelah. Kini aku hanya ingin... diam.”
            Aku mendengus pelan, namun ternyata ketiga temanku mendengarnya. “apa ?” tanyaku begitu melihat mereka sedang memperhatikanku.
            “Tara, apa kau baik-baik saja ? aku lihat kau diam saja. Kau tidak menyimak cerita Luwi ? ceritanya seru sekali, bayangkan, lagi-lagi dia dikerumuni banyak cinta dari...”
            “aku mendengarnya, aku menyimak pembicaraan kalian.” Kataku memotong ucapan Vita.
            “oh ya ? lalu bagaimana menurutmu ? biasanya kalu selalu mempunyai saran bagus untuk permasalahan seperti ini.” Kata Vita lagi yang disambut dengan aggukan temanku yang lain.
            Begitulah yang selalu dilontarkan teman-temanku, sejak aku masih duduk di bangku SMP. Aku selalu dengan senang hati mendengar curahan mereka, kemudian memberi mereka saran terbaik yang bisa kupikirkan. Dan beruntungnya aku, saranku selalu berhasil dan mereka puas. Dulu aku merasa begitu, puas dan senang dengan kebahagiaan temanku apalagi bila aku yang menjadi alasannya. Tapi sekarang, tidak. Aku tidak terlalu memikirkan apa kini saranku memuaskan mereka ? apa mereka bahagia ? apa aku ada di dalam kebahagiaan mereka ? tepatnya, aku merasa sebagian besar diriku menolak menerima kebahagiaan mereka. Ya, aku tak mau peduli lagi. kenapa ? karena aku iri, karena aku sakit hati, karena aku lelah, karena aku ingin berhenti peduli. Bukankah itu manusiawi ?
            Terkadang aku merasa dunia tak adil dan kejam padaku. Kenapa di saat teman-temanku bahagia, aku tidak. Kenapa di saat teman-temanku bisa membicarakan tentang mantan, pacar dan lelaki yang mengejar mereka, aku tidak. Kenapa di saat mereka begitu merasakan banyak cinta dan kasih sayang, aku tidak. Aku selalu merasa sendiri di antara keramaian yang mencekikku, yang menekanku, yang menyiksaku. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan barang sekali. Aku ingin merasakan kebahagiaan di cintai, di kagumi dan di idamkan, meski hanya sebentar.
            Memang, awalnya aku menganggap semua itu tidak penting. Aku sering beranggapan bahwa urusan percintaan itu merepotkan dan merusak semua rencanaku akan masa depanku. Tapi sekarang, aku termakan ucapanku sendiri. Aku mulai menyadari, di usiaku yang sudah hampir menginjak kepala dua, bahwa cinta itu di perlukan. Bahwa mencintai dan dicintai itu diperlukan.
            “tidak ada. Aku sedang tidak bisa memikirkan apapun.” Aku tak ingin memikirkannya. Balasku, bertolak belakang antara bibir dan batin.
            “oh, ayolah.. kau harus membantu Luwi. Lihat dia, begitu bingung dan... bingung.” Liza menyahut iba.
            Kepala dan hatiku mulai panas. Tidakkah mereka mengerti bahwa aku jauh lebih tidak berpengalaman dibandingkan mereka ? tidakkah mereka mengerti kesedihanku ? tidakkah mereka mengerti keinginanku yang besar untuk berusaha tidak ingin peduli ?
            “kau jauhi keduanya.” Kataku datar.
            “apa ?” tanya mereka serentak.
            “kau ingin hidupmu tenang, kan, Luwi ? maka, jauhi keduanya.” Kataku lagi, berusaha terdengar lebih bersahabat. Biar bagaimanapun, mereka temanku. Aku tak tega untuk melukainya. “makan siangku sudah selsai. Kurasa aku harus pergi, sampai ketemu besok.” Kataku, setelah itu aku berlalu meninggalkan kantin.
            Setelah meninggalkan mereka, sebenarnya aku tidak tahu kemana dan apa tujuanku. Aku hanya ingin menyendiri. Menenangkan diriku sebelum aku bertindak diluar batas dan melukai sekitarku. Ya, kuakui belakangan ini – beberapa bulan setelah aku kuliah – aku selalu bersikap uring-uringan. Sebisa mungkin aku berada sejauh mungkin dari kehidupan sosial yang terlalu mencolok. Sebisa mungkin aku berusaha tak peduli pada problema masa mudaku yang dapat mengganggu prestasi akademikku. Sebisa mungkin aku menjauhi kebiasaan anak muda seusiaku yang sedang hobi merayu lawan jenisnya. Kuakui, tak sekali aku termakan rayuan murahan seperti itu karena aku sedang lengah dan saat itu aku sedang tak berlindung di balik tembok kokoh yang kubangun untuk kepentingan diriku sendiri. Dan ketika saat seperti itu terjadi, maka saat itu aku semakin benci diriku yang kurasa tak punya arti dan daya tarik. Aku memang payah.
            Tak terasa langkahku membawaku  jauh ke sudut  belakang beranda gedung kesenian. Aku tak sadar langkahku membawaku kemari dan membuatku duduk di sebuah batu besar yang sangat nyaman kududuki. Tapi aku tak menyesal, tampat ini indah, nyaman dan damai. Aku juga baru sadar bahwa aku hanya sendiri disini, hingga membuatku heran mengapa tempat seindah ini begitu sepi ? mataku menjelajah sekitar beranda itu dan mendapati kandang kelinci disitu. Dan apa yang baru saja kubilang ? tempat ini indah ? memang. Tapi aku juga menyadari tempat ini bau urine kelinci. Ah, tapi aku tak peduli. Yang penting aku bisa sendiri.
            Aku memejamkan mataku, merasakan hembusan angin yang membelai wajahku. Sesekali aku dapat mencium aroma dari kandang kelinci itu, namun aroma daun dan tanah yang basah juga mendominasi. Aku tersadar ketika mendengar suara itu, suara blitz kamera.
            “gambar ini lain daripada biasanya.” Gumam seorang lelaki sambil mengamati gambar di kamera DSLRnya.
            “apa maksudmu ? kenapa kau disini ?” tanyaku kesal. Kenapa Tuhan tak mengizinkanku tenang sebentar saja ?
            “gambar ini, biasanya bagus. Hari ini jadi lebih bagus, kau tahu, mungkin karena ada modelnya.” Guraunya sambil menunjukan gambar dikameranya dari tempatnya berdiri.
            Aku tak membalas karena merasa tak perlu. Biarlah dia melakukan apa yang ingin dilakukannya selama dia tak menggangguku. Mungkin sebentar lagi dia juga akan pergi, batinku yakin.
            “kau harus membayar,” kata lelaki itu lagi, mengusikku.
            “untuk apa ? oh ya ampun, bisakah kau meninggalkanku ?”
            “kalau begitu kau harus menyewa.”
            Aku memutarkan mataku dengan kesal, “menyewa apa ? apa yang aku sewa darimu ?”
            “tempat ini dan batu yang kau duduki.” Balasnya santai sambil terus membidikan kameranya, termasuk ke arahku.
            Aku mendengus dan berdiri menatapnya. “kau pikir tempat ini milikmu ? tempat ini berada di wilayah kampus, berarti ini milik kampus.”
            Kali ini dia yang mendengus sambil balas menatapku. “dengar nona, tempat ini memang berada di wilayah kampus. Namun perlu kau ketahui bahwa tempat ini sangat jauh di jangkau kampus sehingga tidak terawat. Dan perkenalkan, aku adalah orang yang selama ini merapikan tempat ini. Dan perkenalkan juga, itu Miko dan Mili, penghuni tempat ini.” Katanya sambil menunjuk sepasang kelinci di dalam kandang kayu itu.
            Aku terpana sesaat. Apa aku salah dengar ? apa ia baru saja menganggapku seperti tamu tak di undang ? lagi-lagi aku hanya mendengus.
            “baik, begini saja. Karena suasana hatiku sedang baik, aku mengizinkanmu duduk disini asal dengan satu syarat.” Katanya seolah aku ingin bernego.
            “apa ?” tanyaku yang ternyata berani ambil pusing.
            “kau harus menjadi modelku, setidaknya sampai aku puas.” Katanya santai, membuat terbelalak. Lebih baik aku segera pergi, batinku. “kalau kau meninggalkan tempat ini sebelum aku puas memotretmu, maka kau harus membayar.” Katanya seolah membaca pikiranku dan mengurungkan niatku untuk pergi.
Aku tak sudi mengeluarkan sepeserpun untuknya, batinku berkeras. Aku menarik nafas dengan kesal dan mengembuskannya dengan kasar, kemudian kembali duduk.
“gadis pintar. Tenang saja, aku tak akan menyulitkanmu. Aku fotografer lanskap, jadi aku lebih menyukai gambar yang natural. Bersantailah seakan tak ada aku disini.”
Pikirmu mudah ? aku terlalu peka dan mudah sekali terusik. Batinku lagi menahan kesal. Baiklah, aku akan berusaha santai meski aku tidak yakin. Meski aku merasa aku tidak yakin tapi ketenangan selanjutnya yang ditimbulkan lelaki itu membuatku yakin.
“tampat ini, kenapa aku baru tahu sekarang ? kenapa tidak dari dulu saja ? kenapa aku tetap diam sementara aku merasa tak nyaman ?” lirihku.
“sudah kukatakan tadi, tempat ini memang tak terjangkau. Tapi tempat ini cukup indah bukan ?” tanya seseorang di belakangku.
“kau benar, tempat ini cukup indah untuk merenung.” Kataku dengan suara bergetar. Ah, lagi-lagi pikiran seperti itu meruntuhkanku. Kenapa aku jadi melankolis sekali ? kenapa aku tidak mampu berusaha lebih sabar dan menerima kenyataan ? “kenapa ? kenapa begini ? apa yang salah denganku, Tuhan ? mengapa aku merasa tak ada yang istimewa dari diriku ? mengapa aku merasa aku begitu malang dan menyedihkan ? mengapa aku merasa aku hanya di permainkan ? mengapa tak ada yang menarik dari diriku ?” pekikku sambil memukul dadaku yang terasa sakit. Tanpa sadar ternyata aku sudah menangis.
“aku tahu manusia tidak ada yang sempurna, tapi bisakah Kau memberiku satu kelebihan saja ? satu daya tarik saja ? satu orang saja yang bisa mengerti aku, menyayangiku, mengisi kekosonganku, mengatakan padaku bahwa semuanya baik-baik saja.” Kataku masih sambil terisak. Aku menangis banyak siang itu, di tempat itu. Menumpahkan semua yang menghimpit dadaku. Menumpahkan semua yang selama ini selalu kutata rapi dan kusimpan sendiri.
Setelah aku merasa lebih baik dan tenang, aku beranjak meninggalkan tempat itu, dan berhenti melangkah ketika melihat sebotol minuman teh dan secarik kertas bertuliskan,
            Aku tak tahu suasana hatimu sedang buruk, maafkan bila aku mengganggumu. Tapi terpaksa kukatakan, aku belum puas dengan bayaranmu. Semoga kita bertemu lagi.
            *note    : kau pasti tahu teh mengandung kaffein yang menenangkan. Aku hanya punya ini, semoga kau suka.
            Aku tercenung sesaat setelah membaca surat itu, menyadari bahwa aku lupa aku tak sendiri tadi. Dia, lelaki tadi, pasti mendengar semua racauanku. Ah, bayangkan betapa menyedihkannya aku sekarang dimata orang yang bahkan aku tidak tahu namanya.
            Keesokan harinya, setelah kuliah selesai, aku pamit pada teman-temanku untuk segera pulang ke rumah. Aku masih merasa belum bisa berbaur dengan mereka dengan suasana hati yang buruk. Tapi apa yang terjadi, aku malah kembali ke tempat kemarin, ke beranda di belakang gedung kesenian. Aku tidak mengerti kenapa, lagi-lagi kakiku melangkah dengan sendirinya hingga aku bisa selamat sampai di tempat ini.
            Tempat itu sepi seperti kemarin, dengan sepasang kelinci yang baru aku sadari terlihat menggemaskan. Aku menghampiri kandang kelinci itu dan memberinya seikat kangkung segar yang tergeletak di dekat kandang.
            “kau akan membuat mereka obesitas.” Kata suara itu mengejutkanku. Aku segera berbalik dan berhadapan dengan lelaki tampan dengan tinggi menjulang dan tatapan teduh.
            “a-apa ?” kataku tergagap dan dengan segera melepaskan beberapa batang kangkung yang ku pegang. “oh, maafkan aku. Aku tidak tahu.”
            Dia mengalihkan matanya dariku ke kelincinya. Lalu mengambil batang kangkung yang kujatuhkan dan memberikannya padaku. “aku bercanda. Kau boleh memberi mereka makan, kau mendahauluiku melakukannya. Sekarang kau harus bertanggung jawab memberi mereka makan karena sepertinya mereka menyukaimu.”
            Aku masih tergagap, namun akhirnya aku mengangguk.
            “aku Leo. Kau ?” tanyanya sambil mengarahkan kameranya dan mulai membidikku. Awalnya aku hendak protes, tapi tidak jadi karena aku mengingat kesepakatan kemarin. Dia belum puas memotretku. Aku sedikit meyesal kenapa tidak lebih memilih membayar saja, tapi aku juga tak ingin kehilangan tempat rahasiaku, kalau aku boleh menyebutnya begitu.
            “Tara.” Jawabku berusaha terlihat santai.
            “kau dari jurusan apa ?”
            “Sastra Inggris.”
            “aku Geologi.” Katanya tanpa kutanya. Dan aku juga tidak berniat untuk berbicara lagi, tapi lagi-lagi dia membuatku berbicara. “kenapa kau kemari lagi ?”
            “aku tidak tahu.”
            “kau pasti merasa berhutang.” Katanya dengan percaya diri.
            “aku bisa membayarmu,”
            “aku tak butuh uangmu. Aku hanya ingin modelku tetap datang sesuai kesepakatan.”
            Aku tak membantah, juga tak membalas.
            “Mili terlahir cacat – setidaknya itulah yang aku lihat saat menemukannya sepulang mendaki gunung – kaki kirinya lumpuh. Tapi aku senang dia mau bertahan apalagi sejak ada Miko.” Ceritanya padaku sambil tersenyum menatap sepasang kelincinya, setelah itu dia mengeluarkan kedua kelinci itu yang patuh ditangannya. “kau mau menggendongnya ?” tanyanya sambil mengangsurkan Mili padaku, membuat alisku berkerut ragu. “tenang saja, aku sudah memberishkan mereka dan kandang mereka.”
            Akhinya aku menggendong Mili. Aku setuju dengan Leo. Pertama, aku tidak mencium bau pekat urin. Kedua, sepertinya Mili benar-benar lumpuh karena yang kutahu kaki kelinci pasti akan menendang-nendang bila tangan asing menyentuhnya. Tapi Mili tidak, dia tidak meronta.
            “dia menyukaimu.” Katanya sambil tersenyum senang. kemudian kembali membidik kameranya padaku. Tanpa sadar aku tersenyum merasakan situasi yang menyenangkan seperti ini.
            “kenapa kau tidak merawat mereka dirumah ?” tanpa sadar aku bertanya. Ah, lagi-lagi aku tanpa sadar mencemplungkan diri pada sebuah interaksi sosial. Padahal aku ingin membatasi pergaulan, terutama dengan laki-laki. Yah, lebih untuk self defense, supaya aku tidak terlalu sakit.
            “aku tidak tinggal di rumah. Aku kost, dan di kostanku tidak boleh ada binatang peliharaan. Lagipula, tidak ada halaman dan itu pasti akan menyiksa mereka.” Aku bergumam ‘oh’ dalam benakku. “bagaimana dengamu ? kau tinggal dirumah ?”
            Aku berpikir sejenak, mempertimbangkan kemungkinan terburuk dengan cara membuka diri lagi. Sejujurnya aku masih enggan mengenal orang baru, tapi ada suatu dorongan yang membuatku merasa aku akan baik-baik saja meski menambah satu teman lagi. “ya, aku tinggal dengan Kakakku.”
            “kau beruntung,” katanya tanpa menatapku.
            “kau salah, aku tidak beruntung.”
            “tidak, kau beruntung. Kau hanya tidak bersykur.”
            Aku menoleh cepat. Ucapanya, begitu menamparku hingga sadar. Aku sadar itu, aku tahu aku kurang bersyukur. Tapi aku, aku memang kurang beruntung di banding yang lain.
            “aku sendiri di kota ini. Aku memilih berpisah sejak SMA dengan kedua orang tuaku yang juga saling terpisah. Aku menghidupi diriku sendiri dari hobiku. Bukan karena mereka orang tua yang jahat, hanya saja kami memiliki cara pandang hidup yang berbeda. Jadi disinilah aku sekarang. Terkadang kami bertemu untuk saling memastikan bahwa kami masih hidup. Setelah itu, kami berpisah lagi dan menjalani hidup dengan impian kami masing-masing.” Jelasnya membuatku terpana menatapnya. Aku tidak menyangka ada orang yang hidup seperti dirinya.
            “maafkan aku,” kataku lirih. Aku sendiri tak mengertimengapa aku berkata begitu.
            “bukan salahmu.” Katanya sambil terkekeh. “aku bahagia dengan hidupku.” Katanya lalu menatapku. “maka seharusnya kau lebih bahagia dariku.”
            Aku begitu tenang mendengar ucapannya. Aku seolah merasa dia baru saja mengucapkan, semuanya baik-baik saja.
            Setelah pertemuan hari itu, aku sering kembali ke tempat rahasia itu dan berbicara banyak hal dengannya. Tanpa sadar sudah hampir empat bulan aku menghabiskan sore dan meikmati senja bersama Leo. Dan semakin mengenalnya, aku semakin kagum. Leo adalah lelaki yang baik, mandiri, tegar, kuat dan cerdas di balik kesempurnaan fisiknya yang pasti banyak memikat wanita. Oh ya, dia juga setahun lebih tua dariku, dan hal itu membuat aku semakin segan padanya.
            Aku merasa hari-hariku lebih lengkap semenjak aku menginjakan kaki di beranda gedung kesenian, semenjak aku mengenal Leo, semenjak betapa aku tersanjung akan sikap lembut dan menyenangkannya. Ah, menyadari hal itu aku pasti sudah termakan oleh cinta lagi, dan tak lama setelah ini aku pasti akan kecewa lagi karena sepertinya Leo tak merasakan hal yang sama denganku. Baiklah, aku terima dan aku akan bersiap.
            Hingga suatu hari, ketika aku sedang menikmati senja dengan Leo, dia berbicara dengan nada yang serius sekali hingga membuatku memberi seluruh perhatianku untuk mendengarnya. Karena ini kali kali pertama aku mendengar cerita yang membuatku penasaran dan belum pernah disinggungnya.
            “aku belum pernah bertemu dengan perempuan sepertimu. Begitu takut di dekati, begitu menjaga jarak, begitu membuatku bingung bagaimana cara menghadapi perempuan sepertimu. Kau membuatku, penasaran.” Katanya membuatku tak mengerti apa yang sebenarnya ingin diutarakannya padaku. Perlahan tapi pasti, aku merasa takut dan cemas. Pikiran negatif berkelebat dalam kepalaku dan menyuarakan, dia pasti hanya penasaran denganmu dan sekarang dia sudah menuntaskan rasa penasarannya. Hatiku mencelos ketika mengakui kebenaran pikiranku itu.
            “mengenalmu sungguh menyenangkan, aku tak menyesalinya dan bahkan mensyukurinya. Terimakasih sudah hadir dalam hidupku.” Katanya lagi seolah itu adalah ucapan perpisahan bahwa dia akan segera hengkang dari hidupku. Hatiku terasa sakit ketika aku memikirkannya. “tapi, bolehkan aku meminta satu hal padamu ?”
            Kau ingin meninggalkanku setelah kau menuntaskan rasa penasaranmu ? ya, kau boleh. Begitu lebih baik. “apa ?” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.
            “tunggu aku,” katanya dengan nada yang begitu serius dan tenang.
            “tunggu ? memangnya kau ingin aku menunggumu untuk apa ?” tanyaku tak mengerti. Aku jadi meragukan pikiran negatifku.
            “kau tidak keberatan, kan ? aku tidak lama dan akan segera kembali. Setelah itu, mungkin giliran aku yang menunggu. Oh ya, aku titip Miko dan Mili padamu untuk sementara, rawat mereka.”
            Setelah mengatakan itu, dia pergi dan aku tak pernah melihatnya lagi. Demi Tuhan dia bersungguh saat mengatakan aku harus menunggunya, dan sekarang itulah yang aku lakukan. Seminggu, aku masih belum bertemu dengannya. Dua minggu, hasilnya tetap sama. Hingga sebulan kemudian, akhirnya aku melihat hal lain di belakang beranda. Seikat bunga edelweiss tergeletak di batu tempat aku biasa duduk berdua dengan Leo. Aku menghampiri bunga itu dan mengambil catatan yang tertindih di bawahnya. Tapi sayang, kertas itu kosong. Setitik harapan muncul di hatiku, hatiku mengatakan Leo telah kemabali. Aku mencari sosoknya, tapi aku tak melihatnya. Ya Tuhan, tidakkan dia mengerti bahwa aku merindukannya.
            Aku terpekur menatap kertas kosong itu dan bunga yang kugenggam erat, air mataku menetes mengahadapi ketidakberdayaan ini. “aku merindukanmu Leo. Kapan kau kembali ?”
            “aku memetik bunga itu dua minggu yang lalu, saat aku menemukannya di dekat puncak gunung yang sedang kudaki. Bunga itu memiliki dua kesamaan dengan dirimu. Pertama, untuk mendapatkannya sangat sulit dan aku harus berlelah dulu. Kedua –mungkin ini hanya kesamaan yang kubuat-buat– tapi aku pernah berharap meskipun edelweiss bunga yang abadi, aku berharap bunga itu tetap segar sebelum sampai ke tangamu, sepertinya harapanku terkabul. Bunga itu masih terlihat segar meski tanpa akar selama dua minggu lamanya.”
            Aku berbalik dan saat itu juga aku melihat Leo disana. Berdiri dengan senyum hangat dan tatapan teduhnya. Aku masih terisak menatapnya, aku tak percaya aku mengalami hal seindah ini dihidupku.
            “itu isi suratnya. Aku ingin berinovasi dengan membuat surat kertas yang bicara.” Kemudian dia terkekeh.
            “apa maksud kemiripan poin nomer dua ?” tanyaku bingung.
            “maksudku,” dia berjalan mendekatiku dan berdiri menjulang di depanku. “aku menganalogikan bunga itu adalah dirimu. Dan kesegaran bunga itu adalah penantianmu untukku. Bunga itu masih segar, berarti kau masih menungguku. Bukankah begitu ?”
            Aku hanya terpana menatapnya. Sungguh, aku merindukan lelaki yang selalu merasa percaya diri ini. Aku tak mampu berkata apapun dan aku juga tak mampu menahan air mataku yang terus berlinang.
            “Tara, aku menunggumu. Aku menunggu kau membuka hati dan diri untukku, aku sudah berusaha membuatmu melakukannya. Tapi aku tak yakin meski aku sudah berusaha sekuatku.” Dia mengucapakannya sambil menangkupkan kedua tangannya yang besar di kedua pipiku. “dan aku masih bersedia menunggu bila kau belum percaya padaku.”
            Aku percaya padanya. Ya, aku mempercayainya karena itu yang bisa aku rasakan ketika aku berani mempertaruhkan hatiku saat bersamanya. “aku mempercayaimu, Leo. Terimakasih sudah menungguku.”

Ah,Mandi Sore !

hujan cerpen !!! semoga kalian suka. if you've read these short stories, please leave some comment here. Your appriciatement means so much for me.


Ah, Mandi Sore !

Author : Sunny

Ah, Mandi Sore !
            Pancuran air hangat berhenti membasahi tubuhku. Rasa pegal dan lengket akibat beraktivitas seharian di kampus kini hilang terbilas sabun dan air. Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dan bergegas memakai pakaian bersih. Kebiasaan mandi sore ini sebenarnya baru kembali aku rasakan, setelah sebelumnya ya... iya, aku jarang mandi sore. Kegiatanku yang sangat padat membuatku sering pulang malam dan langsung tertidur karena lelah. Aku bahkan sering melewatkan makan malamku. Sungguh kebiasaan yang buruk. Aku dulu bahkan tak pernah berpikir dua kali untuk tidak mandi sore dan tidak makan. Namun semuanya kini hanya tinggal kebiasaan buruk lama yang sudah kutanggalkan.
            Kalau kau berpikir aku jorok, maka coba kau pertimbangkan lagi pemikiranmu itu. Setidaknya, aku tidak pernah terkena penyakit kulit serius selain pernah beberapa kali berjerawat karena siklus mensturasi yang tidak wajar dan beban pikiran yang membuatku stress. Aku tetap menerapkan hidup bersih dan berusaha hidup sehat.
            “putri ibu tambah cantik aja, jadi rajin mandi, lagi. udah punya pacar ya ?”
            “aku rajin mandi salah, aku males mandi salah. Lalu aku harus bagaimana, bu ?”
            “jangan tersinggung, ibu hanya bertanya. Ya baguslah kalau kamu jadi rajin mandi. Anak gadis kan memang seharusnya begitu.” Ibu memberi jeda sejenak, sebelum melanjutkan, “jadi, udah punya pacar ? masa kamu belum pernah pacaran juga ?”
            “belum bu.” Aku merasa berbohong.
            Iya, setelah aku pikirkan, aku sekarang baru mengerti maksud istilah “punya pacar maka boros sabun”, karena itulah yang mungkin dulu aku alami. Paling tidak begitulah pemikiranku tentang “boros sabun” itu. Kalau aku tetap mandi sehari sekali, mungkin persediaan sabun di rumah bisa lebih awet untuk kira-kira seminggu lamanya. Aku tertawa memikirkan hal itu.
            “lah, kamu kan sudah dibolehkan pacaran. Carilah pacar.”
            “apa ibu gak salah ? seharusnya aku yang dicari, bukan mencari.” Balasku dengan intonasi yang naik sedikit. Aku menggeram dalam hati, malah curhat.
            “nah nah, kamu emosi itu.” Goda ibu sambil tersenyum penuh arti. Aku merengut. “ya sudah, ibu mau buat teh dulu. Kamu mau ?”
            Aku mengangguk sebelum ibu beranjak ke dapur.
            Aku bertopang dagu di atas pahaku yang menyilang. Sial, beraninya sekali dia membuatku mengikuti kemaunnya. Cowok brengsek ! Tapi, saat itu aku juga yang salah. Aku terlalu menyayanginya, maka dari itu aku turuti kemauannya. Cinta sungguh membutakan. Aku muak !
            “walaupun cantik, tapi kalau jarang mandi kan bau asem.” Godanya dengan gaya yang jenaka, membuatku dulu antara ingin tertawa dan meringis. Sekarang, aku bergidik.
            Seharusnya, kebiasaan mandi ini ikut putus juga setelah kami putus. Nyatanya tidak ! aku malah semakin rajin mandi, semakin lama di kamar mandi, semakin wangi dan semakin tak mengerti dengan perubahan ini. Oh ayolah, aku ini ingin terlihat cantik di depan siapa ? ingin di puji siapa ? bukankah dia juga tak akan melirikku lagi, apalagi memujiku !
            “Laura, bisa tolong siramkan air takjin ini ke pohon mangga ? ibu lupa menyiramnya setelah masak nasi tadi.”
            Aku mengangguk patuh.
            “sementara itu, ibu mau siapin teh dan bolu. Kita minum teh bareng ya ? kan sudah lama kamu tidak pulang sore.”
            Aku mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum. Lantas aku berjalan menuju beranda rumah, menyiram pohon manggaku yang usianya mungkin sudah empat belas tahun. selepas menyiram pohon dan tanaman lainnya dengan sisa air, aku melihat-lihat sekitarku. Rasanya sudah lama aku tidak merasakan nuansa sore hari. Melihat senja.
            Sekelompok anak kecil berlarian, anak tetanggaku, mereka sedang bermain Domikado. Aku tersenyum pada mereka, beberapa yang mengenaliku memanggilku, mengajak ikut bermain. Setelah puas bermanja dengan senja, aku masuk lagi ke dalam rumah. Di meja tamu sudah ada sepiring bolu, poci dan dua cangkir. Aku merasa seperti putri raja.
            “ini, ayo diminum. Sudah lama kan, tidak ngeteh bareng ibu ?”
            Aku terkekeh, ibu benar.
            Momen minum teh itu berlangsung khikmad. Aku dan ibu saling bergurau dengan santai, layaknya teman sebaya. Saling menceritakan masa-masa yang menyenangkan. Saling mendengarkan.
            “Mama Laura,” panggil seseorang dari beranda rumah. Aku dan ibu berhenti bicara, lantas ibu segera keluar setelah memberi isyarat dengan matanya. Siapa ?
            Aku menunggu ibu kembali sambil mengambil potongan ketiga bolu coklat kesukaanku. Tak lama ibu kembali dengan senyum lebar, menatapku penuh arti.
            “tadi Mamanya Dicky ngasihin undangan, syukuran rumah baru.”
            Aku mengangguk, “ohh...”
            Ibu masih tersenyum penuh arti padaku, belum selesai bicara.
            “kamu pacaran sama Dicky ya ?”
            Aku tersedak, lalu menggeleng cepat.
            “tadi mama Dicky bilang, Dicky titip salam buat Laura. Kata Dicky, Laura makin cantik.”
            Aku membatu. Darahku berdesir cepat. Dicky, laki-laki itu kan yang tadi sore... astaga !

            Aku akan semakin rajin mandi sore, aku berjanji !

Sabtu, 07 Mei 2016

Terima Kasih Ibu

hai hai, senangnya author bisa balik lagi buat nulis. Ceritanya lagi rajin. malem ini author posting dua posts yang... hm... menguras emosi. Gak ada kesamaan topik, tapi buat yang di post ini, author cuma mau posting sebuah cerpen yang author tulis waktu masih semester satu wkwkwkw xD. No offense, just for self-reminder. cerpen ini di dedikasiin buat mamaku tercinta. I love you mom, as always. dan author sadar banget kalo ini tekninya penulisannya masih jelek, but that's okay. karya ini masih original. just enjoy the story ;) *wink*



Terima Kasih Ibu

Siang itu, di tengah hiruk-pikuk kota Bandung, adalah hari yang cerah dan cukup ramai di sebuah persimpangan di daerah Samsat. Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun sedang berjalan sambil digandeng lengannya oleh ibunya.
“Bu, bolehkah aku memiliki boneka itu ?” tanya si gadis kecil pada ibunya.
“bolehkah ibu bertanya lebih dulu ?” ibunya balik bertanya yang kemudian dibalas anggukan kecil oleh anaknya. “kalau kamu dewasa nanti, kamu ingin menjadi apa ?”
Gadis kecil itu tersenyum pada ibunya sambil membalas dengan ceria, “aku ingin menjadi cantik seperti ibu. Boleh, kan ?”
Dengan gemas sang ibu mencubit pipi gadis kecilnya. “tentu saja, tapi ibu ingin meminta satu hal padamu. Boleh ?”
“boleh.” Jawab gadis kecil itu seraya mengangguk.
“ibu ingin, kamu menjadi anak yang sukses dan rendah hati. Bagaimana ?”
“rendah hati itu apa ?”
“rendah hati itu artinya kamu harus menjadi anak yang baik, tidak sombong dan suka menolong siapapun. Bagaimana ? apa permintaan ibu menyulitkanmu ?”
“tidak. Ibu kan, bilang aku baik jadi aku pasti bisa melakukannya.”
“anak pintar.” Puji sang ibu sambil mengelus puncak kepala anaknya.
Sepanjang perjalanan, yang di tempuh dengan berjalan kaki,  ibu dan anak itu masih bergandengan dan bernyanyi. Perjalanan dari lapak kecil sang ibu menuju rumah mereka cukup jauh dan melelahkan.
“ibu, lihat ! apa aku boleh memilikinya ? aku ingin buku itu, aku ingin menulis bu.” Tunjuk si gadis kecil sambil menarik lengan ibunya menuju sebuah toko kecil di gang dekat rumah mereka.
Ibunya menghembuskan nafas panjang seraya melihat wajah polos anaknya. “tentu saja kamu boleh memilikinya.” Jawabnya sambil tersenyum. Membuat gadis kecilnya tersenyum cerah.
Sang ibu membuka dompet kecilnya dan menemukan receh empat puluh ribuan lusuh didalamnya. Setelah anaknya mengambil sebuah buku dan pensil, ibu itu membayarnya dan menyisakan uang dua puluh ribuan receh di dompetnya.
“terimakasih, Bu.” Anaknya berkata ceria.
            Keesokan harinya, di rumah petak mereka, si gadis kecil berseru gembira pada ibunya. “Bu lihat ! apa tulisanku sudah bagus ? dan coba dengar, aku akan membacakannya untuk Ibu.” Kata si gadis kecil dengan nada ceria.
            “coba ibu dengar.”
            “aku sayang ibu, ibu sayang aku. Aku sedang membaca. Aku pandai membaca. Aku pandai menulis. Aku cantik. Ibu cantik. Aku rindu ayah.” Seketika raut si gadis kecil memburam. “Bu, ayah pergi kemana ?” mata anak itu berkaca-kaca.
            “ayah sedang bertemu dengan Tuhan, sayang.” ucap ibunya lembut sambil mendekap anaknya di tengah temaram lampu rumah petak mereka.
            “kapan ayah akan pulang ? apa aku akan bertemu dengan ayah ?”
            “tentu saja. Kata ayah kamu anak terhebat yang pernah ayah miliki. suatu saat, kita akan bertemu dengan ayah.” Hibur sang ibu dengan hati yang teriris.
            Si gadis kecil seketika tersenyum cerah. “sungguh ? asiiik !!! nah sekarang kata ibu tulisanku bagus gak ?”
            “bagus. Kamu memang hebat. Kamu sudah bisa menulis dan membaca.”
            “kalau begitu, apa aku boleh sekolah ? aku ingin sekolah bu.”
            “ibu juga ingin kamu sekolah, tapi... biar ibu pikirkan dulu.” Mata gadis kecil itu kembali berkaca-kaca, membuat ibunya luluh. “baiklah, bagaimanapun caranya. Ibu akan menyekolahkanmu tahun ini.”
            “asiiiik !!! terimakasih ibu.”
            (dua minggu kemudian tepat saat tahun ajaran baru)
            “bagaimana ? kau suka seragamnya, sayang ?” tanya sang ibu.
            “suka bu, sukaaaaa sekali ! terimakasih ibu.” Si gadis kecil berhambur ke pelukan ibunya.
            “bagus kalau begitu. Berarti mulai sekarang kamu harus belajar dengan giat dan menjadi sukses. Bagaimana ?”
            “ tentu bu !”
            “baiklah, sekarang kamu masuk kelas. Bel sekolah sudah berbunyi.” Pinta ibunya yang hari itu terlihat pucat.
            “baik bu. Seteleh bel pulang berbunyi, aku akan menunggu ibu di sekolah.”
            “anak pintar.”
            Begitu si gadis kecil pulang ke rumah, dengan bangga ia berkata pada ibunya, “bu, lihat ! aku mandapat nilai seratus hari ini. Pelajarannya mudah sekali bu, sekolah ternyata menyenangkan ya bu ?” seru si gadis kecil ceria begitu dalam perjalanan menuju rumah.
            “kamu memang anak yang hebat.”
            “bu, bolehkah aku minta sesuatu ?”
            “boleh sayang.”
            “aku ingin boneka yang kita lihat lihat itu bu. Boleh ?”
            Sang ibu tersenyum lalu mengangguk. Wajahnya yang pucat terlihat begitu lemah. “boleh sayang. Asal kamu rajin belajar, ibu akan belikan.”
            Begitu si gadis kecil mendapatkan bonekanya, sebuah pemandangan menarik perhatiannya. “bu lihat, kucing besar itu menggigit leher kucing kecil itu. Aku harus membantu kucing kecil itu bu.”
            “tidak sayang, kucing besar itu ibu kucing kecil itu. Itulah cara ibu kucing melindungi dan menyayngi anaknya.”
            “oh begitu...  tapi kenapa di gigit ? nanti kucing itu berdarah.”
            “begitulah cara mereka. Seorang ibu, akan melakukan apapun untuk melindungi dan membahagiakan anaknya.”
            Sisa perjalanan menuju rumah, mereka bernyanyi bersama. Namun, begitu tiba di rumah, sang ibu jatuh terkulai di depan rumah mereka. Si gadis kecil panik dan ketakutan, terlebih ketika mendapati baju ibunya bersimbah darah. Berkali-kali ia meneriakan ibunya, namun ibunya tidak bagun. Hingga seorang tetangga melihat kejadian itu dan membawa sang ibu ke rumah sakit terdekat.
            Berjam-jam si gadis kecil menunggu di koridor ruang UGD sambil menangis. Tetangga terdekatnya berkali-kali menenangkannya dan menenaminya. Hingga akhirnya seorang dokter keluar ruangan tersebut.
            “dimana keluarga pasien..”
            “Pak dokter, bagaimana keadaan ibu ?” Si gadis kecil menyela sambil menangis tersedu-sedu.
            “apa bapak dan ibu adalah keluarganya ?” tanya sang dokter.
            “bukan Dok, kami tetangganya. Suaminya sudah meninggal dan ia hanya tinggal dengan anaknya.” Kata sang tetangga sambil merangkul pundak si gadis kecil.
            “begini Bu, Pak, kami telah melakukan yang terbaik. Sebelumnya, pasien pernah datang ke rumah sakit kami. Pada saat itu,  seorang pasien lain membutuhkan donor ginjal. Lalu, pasien bersedia menjual ginjalnya karena dia bilang dia ingin menyekolahkan anaknya. Keluarga pasien yang membutuhkan donor setuju, berhubung pendonor memiliki golongan darah dan rhesus yang sama. Awalnya pasien pulih setelah operasi tersebut, pemulihannyapun tidak lama. Akan tetapi, sepertinya pasien lupa untuk memeriksa kesehatan pasca operasinya, sehingga luka bekas operasinya yang baru mengering kembali basah dan terjadi infeksi karena penggunaan air yang tidak bersih. Selain itu, pasien mengalami pendarahan sehingga kekurangan darah menjadi penyebab utamanya. Kami telah melakukan yang terbaik, mohon maaf.”
            “Om, pak dokter bilang apa Om ? Tente, ibuku mana ? aku mau lihat ibu.” Rengek si gadis kecil.
            Sang tetangga sangat terkejut begitu mendengar kabar itu, di rangkulnya si gadis kecil dengan erat. “sayang, kamu sekarang tinggal sama Om dan Tante ya ? mamamu sedang bertemu dengan Tuhan. Kamu mau kan tinggal dengan kami ?” tawar sang tetangga. Mereka amat bersimpati dengan kejadian ini. Terlebih karena mereka memang sudah lama bertetangga dekat dan mereka juga belum dikaruniai anak.
            “ibu... aku mau ketemu ibu, Tante, Om.” Rengek si gadis kecil. Namun dalam hatinya, ia sudah cukup mengerti. Mamanya telah pergi bersama ayahnya, kini ia sendiri. Seketika, ia teringat dengan ucapan ibunya.
Seorang ibu, akan melakukan apapun untuk melindungi dan membahagiakan anaknya.

“terimaksih ibu, aku sayang ibu.” Lirih si gadis kecil.

Dihelai Jurnal Penuh Kerinduan


                Berhenti menjadi peduli itu sulit. Sesulit berhenti menenggak air ketika kau merasa kerongkonganmu terbakar karena kau haus. Aku, terkadang aku membenci diriku sendiri yang terlalu mudah peduli pada orang lain. Orang seperti aku ini, pastilah bukan hanya pernah dikecewakan, tapi sering. Apa itu tandanya aku mudah menaruh kepercayaan pada orang lain ? tentu saja tidak. Namun aku terbilang mudah untuk peduli pada orang lain, dari perasaan peduli itu kemudian tumbuh menjadi rasa sayang. ah, bicara apa aku ini ? aku ini anak sastra, seharusnya aku bisa menulis lebih indah dan lebih baik dari ini. Seharusnya aku bisa menuliskan perasaanku seromantis Anne Bradstreet pada suaminya, atau segamblang Jhon Steinback yang menggambarkan perasaan seorang wanita padahal ia sendiri adalah laki-laki, atau sekeren Ernest Hemmingway yang dengan mudahnya melaporkan kisah hidupnya dalam tulisan-tulisan fiksi namun sebenarnya itulah yang terjadi dalam hidupnya. Tapi.. baiklah, menjadi diri sendiri selalu lebih baik bukan ? J Dalam jurnal ini, aku hanya ingin menyampaikan perasaanku. Sebagaimana Victor Frankenstein saat menuliskan surat untuk Elizabeth mengenai kabar dan perasaannya.
                Jadi begini, sebelumnya aku sudah pernah menulis tentang kebahagiaanku bersama Alvin, sekitar tiga bulan yang lalu. Bayangkan, tiga bulan yang lalu aku begitu bergairah menuliskan perasaan bahagiaku saat akhirnya aku memilih Alvin sebagai kekasihku. Bahkan aku sempat merasa gusar karena aku dilemma, antara melanjutkan tulisan itu hingga chapter ke seribu namun mendapat kesulitan karena kebahagiaan yang sangat memang sukar dituliskan dengan kata-kata, atau berhenti dan merasakan euforia kebahagiaan itu seorang diri. Akhinya, aku memutuskan untuk menulisnya dalam tiga chapter saja.
                Roda berputar. Waktu terus berjalan. Manusia pun pasti akan berubah seiring berjalannya waktu, termasuk Alvin. Alvin menjelma menjadi laki-laki yang tidak lagi aku kenali. Aku tak tau darimana awal mulanya, namun, kita tahu pasti bahwa hati kecil selalu bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Hati kecilku berkata, Alvin berubah sejak aku pulang mendaki. Saat itu, aku mengerjainya, iya, aku melakukan itu. Seharusnya, kepulangan yang bernuansa hangat dan penuh rindu itu, pada kenyataannya hanya mitos ! tidak ada ungkapan penuh kerinduan, apalagi kehangatan dalam setiap kata yang kami lontarkan. Yang ada hanya keributan. Dia, Alvin, marah padaku. Astaga, lagi-lagi aku berulah padanya. Tuhan, apa kesalahanku begitu fatal hari itu ? kurasa tidak. Lantas, mengapa Alvin begitu mengabaikanku hingga aku merasa tak sanggup menghadapinya lagi ? hingga aku merasa aku perlu mengakhiri hubungan ini namun aku tak sanggup. Aku tak sanggup karena selain aku masih menyayanginya, aku juga tidak tahu letak kesalahanku dimana. Baiklah, baiklah, aku tau, aku salah karena telah menjahilinya. Tapi, dia juga pernah melakukan itu padaku. Bahkan dua kali ! tapi apa yang terjadi ? aku memaafkannya. Mengapa ? karena aku sadar bahwa dia hanya bercanda. Bahwa dia hanya menggodaku. Dan karena pada akhirnya aku sadar bahwa dia baik-baik saja, tidak seperti kalimat candaan yang dikatakannya padaku. Dia sama sekali tidak menjadi korban bom Sarinah.
                Alvin yang aku kenal adalah Alvin yang menyenangkan dan menggemaskan. Penuh canda dan kehangatan. Tidak penuh rayuan, namun mampu memabukan. Tidak bersikap seolah puitis, namun tetap terkesan romantis. Ya, dia adalah Alvinku. Milikku. Namun yang ku lihat kini adalah sesosok laki-laki yang dingin, acuh, menyebalkan dan sulit aku raih. Dia bergeser menjauh, perlahan namun pasti. Seolah memintaku mengerti maksudnya padahal aku sama sekali tak mengerti apa maunya. Di atas segalanya, aku tak mengenal sosoknya lagi, selain nama Alvin yang sejak lahir memang menjadi identitasnya.
                Aku sungguh merindukan Alvinku yang dulu, Tuhan. Alvin yang mampu membuatku rela bersikap acuh terhadap hal yang aku prioritaskan sejak aku ada di bangku menengah pertama. Memang, aku tidak cuek sepenuhnya terhadap pendidikanku. Apabila aku seperti itu, maka aku tidak ada bedanya dengan Malin Kundang. Hanya saja, aku mau bertaruh karena menjadikannya salah satu prioritasku. Memberikannya perhatian, meluangkan waktuku yang padat untuk sekadar berbicara dengannya, bahkan menyebut namanya dalam setiap doaku pada Tuhan. Aku juga pernah rela menangis untuknya. Bukankah itu menjadi sesuatu yang mahal bagi seseorang ? ditangisi berarti kau mempunyai arti penting bagi orang yang menangisimu. Bahkan, Shin Ji Hyung harus rela menjadi arwah, meminjam tubuh orang lain dan berkelana selama 49 hari untuk mencari tiga air mata orang yang tulus mencintainya supaya ia bisa hidup lagi. hai Alvin, bahkan aku pernah menangisimu lebih dari tiga kali ! seharusnya kau bisa menjadi malaikat, bukan manusia lagi ! kalau kau marah dengan kalimatku barusan, maka kau kurang bertanya dan bicara padaku. Itulah kekurangannya kita, sayang. Kau tidak perlu mati untuk menjadi malaikat, kau paham ? maksudku, setelah aku menangisimu sebanyak sekian kali, tandanya kau harus bisa mengerti apa arti dirimu buatku dan setelah itu kau menghargai hal itu dengan cara menjadi malaikat untukku. Kau tau ? sama seperti yang dikatakan Dewi Lestari, Malaikat Tak Bersayap. Atau seperti kata Cinta Laura, Guardian Angel. Kau pilih menjadi yang mana ? kalau kau tanya aku, aku suka kau menjadi keduanya. Malaikat Pelindung yang Tidak Bersayap, bukankah itu keren ? kau seperti pahlawan. Sama seperti Peter Parker terhadap Marry Jane, atau seperti Tobias terhadap Tris.
                Kau tau, kesedihanku ini seakan tak ada ujungnya. Mengapa ? karena banyak sekali hal yang membuatku ingat padamu. Termasuk hal kecil sekalipun. Apa kau merasa seperti itu juga ? merasakan hidupmu hampa, sepi, muram, dan kehilangan, tanpa aku. Aku selalu tertawa getir saat terpikirkan pertanyaan itu, mengapa ? karena aku tau jawabannya. Tidak, jawabannya adalah tidak. Kau tidak merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Astaga, apa berarti selama... beberapa waktu ini aku jatuh cinta sendirian ? kau tega sekali, Alvin. Apabila kau membaca tulisanku ini, aku hanya mampu berkata maaf, karena seperti itulah jawaban yang terpikirkan olehku. Pasalnya, kau pernah berkata padaku supaya aku tidak mempertanyakan pertanyaan yang aku sendiri sudah tau jawabannya. Dan yap, seperti itulah jawabanku. Tapi lagi-lagi maafkan aku, aku tidak mengikuti perkataanmu. Kau bilang, aku jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau boleh bilang aku bodoh, karena aku tak mengerti kalimat itu. Aku tak mengerti, hal apa yang tidak boleh aku pikirkan dengan aneh ? apakah hal tentangmu ? aku ? atau kita ? Alvin, aku manusia biasa. Aku tidak bisa malarang diriku dari sifat manusiawiku yang bisa berpikiran aneh saat menghadapi kejanggalan di kehidupanku sendiri. Jadi, maafkan aku atas pikiran aneh atau bahkan buruk tentangmu dan tentang kita yang ku tuliskan dalam paragraf-paragraf aneh di jurnal ini.
                Aku hanya ingin satu hal darimu, Alvin. Aku ingin penjelasan. Apabila banyak orang diluar sana yang merasa tidak membutuhkan penjelasan, maka aku berbeda, aku membutuhkannya. Karena, disaat orang lain bisa melihat dan mendengar kenyataan itu dengan indra mereka sendiri, apalah dayaku yang hanya bisa menanti kabarmu melalu sinyal telepon yang terkadang bisa melambat seiring terpencilnya tempat dan menipisnya saldo kuota. Maka, sekianlah jurnalku ini. semoga pembaca tidak membenciku, tapi baiklah.. lagi-lagi itu terserah padamu. Itu hak kalian bila merasa benci padaku. Padahal aku hanya menulis HHHH xD
With love,

Lily