Jumat, 13 Mei 2016

Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss

Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss
author : Sunny

            Mataku menyalang jauh ke antah berantah, tempat dimana semua rasa sakit itu berkumpul, bersatu dan melahirkan duka. Dadaku seketika sesak –amat sesak– bahkan hingga aku seringkali berpikir, apa aku punya kelainan pernapasan ? kalau ya, kenapa aku hanya merasakannya ketika mengingat duka itu saja ? duka yang sebelumnya tak pernah kukira akan menjadi duka, duka yang sebelumnya sempat aku banggakan karena dulu aku menyebutnya prinsip, duka yang akhirnya membuatku berusaha bertahan hidup tanpa terpenuhinya kebutuhan yang kini menjadi duka itu sendiri. Aku tak mengerti mengapa semua bisa menjadi serumit ini, semula aku menganggap semuanya baik-baik saja, lurus, benar dan normal –bahkan terlalu normal– hingga akhirnya aku sadari bahwa selalu menjadi normal, lurus dan benar terkadang tidak membuat seseorang menjadi baik-baik saja, aku menyadari itu sekarang.
            Suara tawa yang pecah itu menarikku kembali dari kenyataan pahit yang hanya aku saja yang tahu.  Aku melihat teman-teman disekelilingku tertawa lepas, begitu lepas hingga perasaan ingin menirunya saja membuatku takut. Takut kalau aku akan sangat bersedih nantinya, setelah itu maka aku akan kecewa karena bahagiaku hanya semu. Aku mendesah panjang, namun suara desahan itu terendap oleh suara temanku yang lain. Di satu sisi aku merasa lega karena tak ada yang menyadari keresahanku, di sisi lainnya, aku merasa tak ada yang mempedulikanku dan aku merasa amat sendiri.
            “kau pasti bingung sekali. Yang satu begitu perhatian dan baik hati, tapi dia bukan kekasihmu. Sementara yang satunya lagi baik dan tampan dia juga kekasihmu, tapi mengapa kau malah membingungkan keduanya ? bukankah sudah jelas kau seharusnya memilih kekasihmu saja dan fokus padanya. Kenapa kau bingung memikirkan keduanya ?” cerocos temanku, Vita, yang hobi meracau panjang.
            Luwi mendesah putus asa, namun aku masih melihat kilatan bahagia dimatanya meskipun memang dia terlihat sekali sedang dilemma. “ini tak semudah yang kalian bayangkan saudari-saudariku, kalian tahu, aku sangat bingung karena aku sepertinya mencintai orang lain selain kekasihku.”
            “kau terlihat tidak bingung, percayalah. Kau terlihat menikmati keduanya.” Goda temanku yang lain bernama Liza. “bagaimana rasanya dicintai banyak lelaki ?”
            “hei, apa maksudmu ? apa kau baru saja mengatakan kalau aku ini wanita murahan ? dengar ya sis, kukatakan padamu sekali lagi bahwa aku sungguh kebingungan.” Ada jeda sejenak, kemudian Luwi melanjutkan, “kau ingin tahu rasanya ? rasanya menyenangkan. Tapi kadang aku juga merasa lelah. Kini aku hanya ingin... diam.”
            Aku mendengus pelan, namun ternyata ketiga temanku mendengarnya. “apa ?” tanyaku begitu melihat mereka sedang memperhatikanku.
            “Tara, apa kau baik-baik saja ? aku lihat kau diam saja. Kau tidak menyimak cerita Luwi ? ceritanya seru sekali, bayangkan, lagi-lagi dia dikerumuni banyak cinta dari...”
            “aku mendengarnya, aku menyimak pembicaraan kalian.” Kataku memotong ucapan Vita.
            “oh ya ? lalu bagaimana menurutmu ? biasanya kalu selalu mempunyai saran bagus untuk permasalahan seperti ini.” Kata Vita lagi yang disambut dengan aggukan temanku yang lain.
            Begitulah yang selalu dilontarkan teman-temanku, sejak aku masih duduk di bangku SMP. Aku selalu dengan senang hati mendengar curahan mereka, kemudian memberi mereka saran terbaik yang bisa kupikirkan. Dan beruntungnya aku, saranku selalu berhasil dan mereka puas. Dulu aku merasa begitu, puas dan senang dengan kebahagiaan temanku apalagi bila aku yang menjadi alasannya. Tapi sekarang, tidak. Aku tidak terlalu memikirkan apa kini saranku memuaskan mereka ? apa mereka bahagia ? apa aku ada di dalam kebahagiaan mereka ? tepatnya, aku merasa sebagian besar diriku menolak menerima kebahagiaan mereka. Ya, aku tak mau peduli lagi. kenapa ? karena aku iri, karena aku sakit hati, karena aku lelah, karena aku ingin berhenti peduli. Bukankah itu manusiawi ?
            Terkadang aku merasa dunia tak adil dan kejam padaku. Kenapa di saat teman-temanku bahagia, aku tidak. Kenapa di saat teman-temanku bisa membicarakan tentang mantan, pacar dan lelaki yang mengejar mereka, aku tidak. Kenapa di saat mereka begitu merasakan banyak cinta dan kasih sayang, aku tidak. Aku selalu merasa sendiri di antara keramaian yang mencekikku, yang menekanku, yang menyiksaku. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan barang sekali. Aku ingin merasakan kebahagiaan di cintai, di kagumi dan di idamkan, meski hanya sebentar.
            Memang, awalnya aku menganggap semua itu tidak penting. Aku sering beranggapan bahwa urusan percintaan itu merepotkan dan merusak semua rencanaku akan masa depanku. Tapi sekarang, aku termakan ucapanku sendiri. Aku mulai menyadari, di usiaku yang sudah hampir menginjak kepala dua, bahwa cinta itu di perlukan. Bahwa mencintai dan dicintai itu diperlukan.
            “tidak ada. Aku sedang tidak bisa memikirkan apapun.” Aku tak ingin memikirkannya. Balasku, bertolak belakang antara bibir dan batin.
            “oh, ayolah.. kau harus membantu Luwi. Lihat dia, begitu bingung dan... bingung.” Liza menyahut iba.
            Kepala dan hatiku mulai panas. Tidakkah mereka mengerti bahwa aku jauh lebih tidak berpengalaman dibandingkan mereka ? tidakkah mereka mengerti kesedihanku ? tidakkah mereka mengerti keinginanku yang besar untuk berusaha tidak ingin peduli ?
            “kau jauhi keduanya.” Kataku datar.
            “apa ?” tanya mereka serentak.
            “kau ingin hidupmu tenang, kan, Luwi ? maka, jauhi keduanya.” Kataku lagi, berusaha terdengar lebih bersahabat. Biar bagaimanapun, mereka temanku. Aku tak tega untuk melukainya. “makan siangku sudah selsai. Kurasa aku harus pergi, sampai ketemu besok.” Kataku, setelah itu aku berlalu meninggalkan kantin.
            Setelah meninggalkan mereka, sebenarnya aku tidak tahu kemana dan apa tujuanku. Aku hanya ingin menyendiri. Menenangkan diriku sebelum aku bertindak diluar batas dan melukai sekitarku. Ya, kuakui belakangan ini – beberapa bulan setelah aku kuliah – aku selalu bersikap uring-uringan. Sebisa mungkin aku berada sejauh mungkin dari kehidupan sosial yang terlalu mencolok. Sebisa mungkin aku berusaha tak peduli pada problema masa mudaku yang dapat mengganggu prestasi akademikku. Sebisa mungkin aku menjauhi kebiasaan anak muda seusiaku yang sedang hobi merayu lawan jenisnya. Kuakui, tak sekali aku termakan rayuan murahan seperti itu karena aku sedang lengah dan saat itu aku sedang tak berlindung di balik tembok kokoh yang kubangun untuk kepentingan diriku sendiri. Dan ketika saat seperti itu terjadi, maka saat itu aku semakin benci diriku yang kurasa tak punya arti dan daya tarik. Aku memang payah.
            Tak terasa langkahku membawaku  jauh ke sudut  belakang beranda gedung kesenian. Aku tak sadar langkahku membawaku kemari dan membuatku duduk di sebuah batu besar yang sangat nyaman kududuki. Tapi aku tak menyesal, tampat ini indah, nyaman dan damai. Aku juga baru sadar bahwa aku hanya sendiri disini, hingga membuatku heran mengapa tempat seindah ini begitu sepi ? mataku menjelajah sekitar beranda itu dan mendapati kandang kelinci disitu. Dan apa yang baru saja kubilang ? tempat ini indah ? memang. Tapi aku juga menyadari tempat ini bau urine kelinci. Ah, tapi aku tak peduli. Yang penting aku bisa sendiri.
            Aku memejamkan mataku, merasakan hembusan angin yang membelai wajahku. Sesekali aku dapat mencium aroma dari kandang kelinci itu, namun aroma daun dan tanah yang basah juga mendominasi. Aku tersadar ketika mendengar suara itu, suara blitz kamera.
            “gambar ini lain daripada biasanya.” Gumam seorang lelaki sambil mengamati gambar di kamera DSLRnya.
            “apa maksudmu ? kenapa kau disini ?” tanyaku kesal. Kenapa Tuhan tak mengizinkanku tenang sebentar saja ?
            “gambar ini, biasanya bagus. Hari ini jadi lebih bagus, kau tahu, mungkin karena ada modelnya.” Guraunya sambil menunjukan gambar dikameranya dari tempatnya berdiri.
            Aku tak membalas karena merasa tak perlu. Biarlah dia melakukan apa yang ingin dilakukannya selama dia tak menggangguku. Mungkin sebentar lagi dia juga akan pergi, batinku yakin.
            “kau harus membayar,” kata lelaki itu lagi, mengusikku.
            “untuk apa ? oh ya ampun, bisakah kau meninggalkanku ?”
            “kalau begitu kau harus menyewa.”
            Aku memutarkan mataku dengan kesal, “menyewa apa ? apa yang aku sewa darimu ?”
            “tempat ini dan batu yang kau duduki.” Balasnya santai sambil terus membidikan kameranya, termasuk ke arahku.
            Aku mendengus dan berdiri menatapnya. “kau pikir tempat ini milikmu ? tempat ini berada di wilayah kampus, berarti ini milik kampus.”
            Kali ini dia yang mendengus sambil balas menatapku. “dengar nona, tempat ini memang berada di wilayah kampus. Namun perlu kau ketahui bahwa tempat ini sangat jauh di jangkau kampus sehingga tidak terawat. Dan perkenalkan, aku adalah orang yang selama ini merapikan tempat ini. Dan perkenalkan juga, itu Miko dan Mili, penghuni tempat ini.” Katanya sambil menunjuk sepasang kelinci di dalam kandang kayu itu.
            Aku terpana sesaat. Apa aku salah dengar ? apa ia baru saja menganggapku seperti tamu tak di undang ? lagi-lagi aku hanya mendengus.
            “baik, begini saja. Karena suasana hatiku sedang baik, aku mengizinkanmu duduk disini asal dengan satu syarat.” Katanya seolah aku ingin bernego.
            “apa ?” tanyaku yang ternyata berani ambil pusing.
            “kau harus menjadi modelku, setidaknya sampai aku puas.” Katanya santai, membuat terbelalak. Lebih baik aku segera pergi, batinku. “kalau kau meninggalkan tempat ini sebelum aku puas memotretmu, maka kau harus membayar.” Katanya seolah membaca pikiranku dan mengurungkan niatku untuk pergi.
Aku tak sudi mengeluarkan sepeserpun untuknya, batinku berkeras. Aku menarik nafas dengan kesal dan mengembuskannya dengan kasar, kemudian kembali duduk.
“gadis pintar. Tenang saja, aku tak akan menyulitkanmu. Aku fotografer lanskap, jadi aku lebih menyukai gambar yang natural. Bersantailah seakan tak ada aku disini.”
Pikirmu mudah ? aku terlalu peka dan mudah sekali terusik. Batinku lagi menahan kesal. Baiklah, aku akan berusaha santai meski aku tidak yakin. Meski aku merasa aku tidak yakin tapi ketenangan selanjutnya yang ditimbulkan lelaki itu membuatku yakin.
“tampat ini, kenapa aku baru tahu sekarang ? kenapa tidak dari dulu saja ? kenapa aku tetap diam sementara aku merasa tak nyaman ?” lirihku.
“sudah kukatakan tadi, tempat ini memang tak terjangkau. Tapi tempat ini cukup indah bukan ?” tanya seseorang di belakangku.
“kau benar, tempat ini cukup indah untuk merenung.” Kataku dengan suara bergetar. Ah, lagi-lagi pikiran seperti itu meruntuhkanku. Kenapa aku jadi melankolis sekali ? kenapa aku tidak mampu berusaha lebih sabar dan menerima kenyataan ? “kenapa ? kenapa begini ? apa yang salah denganku, Tuhan ? mengapa aku merasa tak ada yang istimewa dari diriku ? mengapa aku merasa aku begitu malang dan menyedihkan ? mengapa aku merasa aku hanya di permainkan ? mengapa tak ada yang menarik dari diriku ?” pekikku sambil memukul dadaku yang terasa sakit. Tanpa sadar ternyata aku sudah menangis.
“aku tahu manusia tidak ada yang sempurna, tapi bisakah Kau memberiku satu kelebihan saja ? satu daya tarik saja ? satu orang saja yang bisa mengerti aku, menyayangiku, mengisi kekosonganku, mengatakan padaku bahwa semuanya baik-baik saja.” Kataku masih sambil terisak. Aku menangis banyak siang itu, di tempat itu. Menumpahkan semua yang menghimpit dadaku. Menumpahkan semua yang selama ini selalu kutata rapi dan kusimpan sendiri.
Setelah aku merasa lebih baik dan tenang, aku beranjak meninggalkan tempat itu, dan berhenti melangkah ketika melihat sebotol minuman teh dan secarik kertas bertuliskan,
            Aku tak tahu suasana hatimu sedang buruk, maafkan bila aku mengganggumu. Tapi terpaksa kukatakan, aku belum puas dengan bayaranmu. Semoga kita bertemu lagi.
            *note    : kau pasti tahu teh mengandung kaffein yang menenangkan. Aku hanya punya ini, semoga kau suka.
            Aku tercenung sesaat setelah membaca surat itu, menyadari bahwa aku lupa aku tak sendiri tadi. Dia, lelaki tadi, pasti mendengar semua racauanku. Ah, bayangkan betapa menyedihkannya aku sekarang dimata orang yang bahkan aku tidak tahu namanya.
            Keesokan harinya, setelah kuliah selesai, aku pamit pada teman-temanku untuk segera pulang ke rumah. Aku masih merasa belum bisa berbaur dengan mereka dengan suasana hati yang buruk. Tapi apa yang terjadi, aku malah kembali ke tempat kemarin, ke beranda di belakang gedung kesenian. Aku tidak mengerti kenapa, lagi-lagi kakiku melangkah dengan sendirinya hingga aku bisa selamat sampai di tempat ini.
            Tempat itu sepi seperti kemarin, dengan sepasang kelinci yang baru aku sadari terlihat menggemaskan. Aku menghampiri kandang kelinci itu dan memberinya seikat kangkung segar yang tergeletak di dekat kandang.
            “kau akan membuat mereka obesitas.” Kata suara itu mengejutkanku. Aku segera berbalik dan berhadapan dengan lelaki tampan dengan tinggi menjulang dan tatapan teduh.
            “a-apa ?” kataku tergagap dan dengan segera melepaskan beberapa batang kangkung yang ku pegang. “oh, maafkan aku. Aku tidak tahu.”
            Dia mengalihkan matanya dariku ke kelincinya. Lalu mengambil batang kangkung yang kujatuhkan dan memberikannya padaku. “aku bercanda. Kau boleh memberi mereka makan, kau mendahauluiku melakukannya. Sekarang kau harus bertanggung jawab memberi mereka makan karena sepertinya mereka menyukaimu.”
            Aku masih tergagap, namun akhirnya aku mengangguk.
            “aku Leo. Kau ?” tanyanya sambil mengarahkan kameranya dan mulai membidikku. Awalnya aku hendak protes, tapi tidak jadi karena aku mengingat kesepakatan kemarin. Dia belum puas memotretku. Aku sedikit meyesal kenapa tidak lebih memilih membayar saja, tapi aku juga tak ingin kehilangan tempat rahasiaku, kalau aku boleh menyebutnya begitu.
            “Tara.” Jawabku berusaha terlihat santai.
            “kau dari jurusan apa ?”
            “Sastra Inggris.”
            “aku Geologi.” Katanya tanpa kutanya. Dan aku juga tidak berniat untuk berbicara lagi, tapi lagi-lagi dia membuatku berbicara. “kenapa kau kemari lagi ?”
            “aku tidak tahu.”
            “kau pasti merasa berhutang.” Katanya dengan percaya diri.
            “aku bisa membayarmu,”
            “aku tak butuh uangmu. Aku hanya ingin modelku tetap datang sesuai kesepakatan.”
            Aku tak membantah, juga tak membalas.
            “Mili terlahir cacat – setidaknya itulah yang aku lihat saat menemukannya sepulang mendaki gunung – kaki kirinya lumpuh. Tapi aku senang dia mau bertahan apalagi sejak ada Miko.” Ceritanya padaku sambil tersenyum menatap sepasang kelincinya, setelah itu dia mengeluarkan kedua kelinci itu yang patuh ditangannya. “kau mau menggendongnya ?” tanyanya sambil mengangsurkan Mili padaku, membuat alisku berkerut ragu. “tenang saja, aku sudah memberishkan mereka dan kandang mereka.”
            Akhinya aku menggendong Mili. Aku setuju dengan Leo. Pertama, aku tidak mencium bau pekat urin. Kedua, sepertinya Mili benar-benar lumpuh karena yang kutahu kaki kelinci pasti akan menendang-nendang bila tangan asing menyentuhnya. Tapi Mili tidak, dia tidak meronta.
            “dia menyukaimu.” Katanya sambil tersenyum senang. kemudian kembali membidik kameranya padaku. Tanpa sadar aku tersenyum merasakan situasi yang menyenangkan seperti ini.
            “kenapa kau tidak merawat mereka dirumah ?” tanpa sadar aku bertanya. Ah, lagi-lagi aku tanpa sadar mencemplungkan diri pada sebuah interaksi sosial. Padahal aku ingin membatasi pergaulan, terutama dengan laki-laki. Yah, lebih untuk self defense, supaya aku tidak terlalu sakit.
            “aku tidak tinggal di rumah. Aku kost, dan di kostanku tidak boleh ada binatang peliharaan. Lagipula, tidak ada halaman dan itu pasti akan menyiksa mereka.” Aku bergumam ‘oh’ dalam benakku. “bagaimana dengamu ? kau tinggal dirumah ?”
            Aku berpikir sejenak, mempertimbangkan kemungkinan terburuk dengan cara membuka diri lagi. Sejujurnya aku masih enggan mengenal orang baru, tapi ada suatu dorongan yang membuatku merasa aku akan baik-baik saja meski menambah satu teman lagi. “ya, aku tinggal dengan Kakakku.”
            “kau beruntung,” katanya tanpa menatapku.
            “kau salah, aku tidak beruntung.”
            “tidak, kau beruntung. Kau hanya tidak bersykur.”
            Aku menoleh cepat. Ucapanya, begitu menamparku hingga sadar. Aku sadar itu, aku tahu aku kurang bersyukur. Tapi aku, aku memang kurang beruntung di banding yang lain.
            “aku sendiri di kota ini. Aku memilih berpisah sejak SMA dengan kedua orang tuaku yang juga saling terpisah. Aku menghidupi diriku sendiri dari hobiku. Bukan karena mereka orang tua yang jahat, hanya saja kami memiliki cara pandang hidup yang berbeda. Jadi disinilah aku sekarang. Terkadang kami bertemu untuk saling memastikan bahwa kami masih hidup. Setelah itu, kami berpisah lagi dan menjalani hidup dengan impian kami masing-masing.” Jelasnya membuatku terpana menatapnya. Aku tidak menyangka ada orang yang hidup seperti dirinya.
            “maafkan aku,” kataku lirih. Aku sendiri tak mengertimengapa aku berkata begitu.
            “bukan salahmu.” Katanya sambil terkekeh. “aku bahagia dengan hidupku.” Katanya lalu menatapku. “maka seharusnya kau lebih bahagia dariku.”
            Aku begitu tenang mendengar ucapannya. Aku seolah merasa dia baru saja mengucapkan, semuanya baik-baik saja.
            Setelah pertemuan hari itu, aku sering kembali ke tempat rahasia itu dan berbicara banyak hal dengannya. Tanpa sadar sudah hampir empat bulan aku menghabiskan sore dan meikmati senja bersama Leo. Dan semakin mengenalnya, aku semakin kagum. Leo adalah lelaki yang baik, mandiri, tegar, kuat dan cerdas di balik kesempurnaan fisiknya yang pasti banyak memikat wanita. Oh ya, dia juga setahun lebih tua dariku, dan hal itu membuat aku semakin segan padanya.
            Aku merasa hari-hariku lebih lengkap semenjak aku menginjakan kaki di beranda gedung kesenian, semenjak aku mengenal Leo, semenjak betapa aku tersanjung akan sikap lembut dan menyenangkannya. Ah, menyadari hal itu aku pasti sudah termakan oleh cinta lagi, dan tak lama setelah ini aku pasti akan kecewa lagi karena sepertinya Leo tak merasakan hal yang sama denganku. Baiklah, aku terima dan aku akan bersiap.
            Hingga suatu hari, ketika aku sedang menikmati senja dengan Leo, dia berbicara dengan nada yang serius sekali hingga membuatku memberi seluruh perhatianku untuk mendengarnya. Karena ini kali kali pertama aku mendengar cerita yang membuatku penasaran dan belum pernah disinggungnya.
            “aku belum pernah bertemu dengan perempuan sepertimu. Begitu takut di dekati, begitu menjaga jarak, begitu membuatku bingung bagaimana cara menghadapi perempuan sepertimu. Kau membuatku, penasaran.” Katanya membuatku tak mengerti apa yang sebenarnya ingin diutarakannya padaku. Perlahan tapi pasti, aku merasa takut dan cemas. Pikiran negatif berkelebat dalam kepalaku dan menyuarakan, dia pasti hanya penasaran denganmu dan sekarang dia sudah menuntaskan rasa penasarannya. Hatiku mencelos ketika mengakui kebenaran pikiranku itu.
            “mengenalmu sungguh menyenangkan, aku tak menyesalinya dan bahkan mensyukurinya. Terimakasih sudah hadir dalam hidupku.” Katanya lagi seolah itu adalah ucapan perpisahan bahwa dia akan segera hengkang dari hidupku. Hatiku terasa sakit ketika aku memikirkannya. “tapi, bolehkan aku meminta satu hal padamu ?”
            Kau ingin meninggalkanku setelah kau menuntaskan rasa penasaranmu ? ya, kau boleh. Begitu lebih baik. “apa ?” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.
            “tunggu aku,” katanya dengan nada yang begitu serius dan tenang.
            “tunggu ? memangnya kau ingin aku menunggumu untuk apa ?” tanyaku tak mengerti. Aku jadi meragukan pikiran negatifku.
            “kau tidak keberatan, kan ? aku tidak lama dan akan segera kembali. Setelah itu, mungkin giliran aku yang menunggu. Oh ya, aku titip Miko dan Mili padamu untuk sementara, rawat mereka.”
            Setelah mengatakan itu, dia pergi dan aku tak pernah melihatnya lagi. Demi Tuhan dia bersungguh saat mengatakan aku harus menunggunya, dan sekarang itulah yang aku lakukan. Seminggu, aku masih belum bertemu dengannya. Dua minggu, hasilnya tetap sama. Hingga sebulan kemudian, akhirnya aku melihat hal lain di belakang beranda. Seikat bunga edelweiss tergeletak di batu tempat aku biasa duduk berdua dengan Leo. Aku menghampiri bunga itu dan mengambil catatan yang tertindih di bawahnya. Tapi sayang, kertas itu kosong. Setitik harapan muncul di hatiku, hatiku mengatakan Leo telah kemabali. Aku mencari sosoknya, tapi aku tak melihatnya. Ya Tuhan, tidakkan dia mengerti bahwa aku merindukannya.
            Aku terpekur menatap kertas kosong itu dan bunga yang kugenggam erat, air mataku menetes mengahadapi ketidakberdayaan ini. “aku merindukanmu Leo. Kapan kau kembali ?”
            “aku memetik bunga itu dua minggu yang lalu, saat aku menemukannya di dekat puncak gunung yang sedang kudaki. Bunga itu memiliki dua kesamaan dengan dirimu. Pertama, untuk mendapatkannya sangat sulit dan aku harus berlelah dulu. Kedua –mungkin ini hanya kesamaan yang kubuat-buat– tapi aku pernah berharap meskipun edelweiss bunga yang abadi, aku berharap bunga itu tetap segar sebelum sampai ke tangamu, sepertinya harapanku terkabul. Bunga itu masih terlihat segar meski tanpa akar selama dua minggu lamanya.”
            Aku berbalik dan saat itu juga aku melihat Leo disana. Berdiri dengan senyum hangat dan tatapan teduhnya. Aku masih terisak menatapnya, aku tak percaya aku mengalami hal seindah ini dihidupku.
            “itu isi suratnya. Aku ingin berinovasi dengan membuat surat kertas yang bicara.” Kemudian dia terkekeh.
            “apa maksud kemiripan poin nomer dua ?” tanyaku bingung.
            “maksudku,” dia berjalan mendekatiku dan berdiri menjulang di depanku. “aku menganalogikan bunga itu adalah dirimu. Dan kesegaran bunga itu adalah penantianmu untukku. Bunga itu masih segar, berarti kau masih menungguku. Bukankah begitu ?”
            Aku hanya terpana menatapnya. Sungguh, aku merindukan lelaki yang selalu merasa percaya diri ini. Aku tak mampu berkata apapun dan aku juga tak mampu menahan air mataku yang terus berlinang.
            “Tara, aku menunggumu. Aku menunggu kau membuka hati dan diri untukku, aku sudah berusaha membuatmu melakukannya. Tapi aku tak yakin meski aku sudah berusaha sekuatku.” Dia mengucapakannya sambil menangkupkan kedua tangannya yang besar di kedua pipiku. “dan aku masih bersedia menunggu bila kau belum percaya padaku.”
            Aku percaya padanya. Ya, aku mempercayainya karena itu yang bisa aku rasakan ketika aku berani mempertaruhkan hatiku saat bersamanya. “aku mempercayaimu, Leo. Terimakasih sudah menungguku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar