Sabtu, 07 Mei 2016

Dihelai Jurnal Penuh Kerinduan


                Berhenti menjadi peduli itu sulit. Sesulit berhenti menenggak air ketika kau merasa kerongkonganmu terbakar karena kau haus. Aku, terkadang aku membenci diriku sendiri yang terlalu mudah peduli pada orang lain. Orang seperti aku ini, pastilah bukan hanya pernah dikecewakan, tapi sering. Apa itu tandanya aku mudah menaruh kepercayaan pada orang lain ? tentu saja tidak. Namun aku terbilang mudah untuk peduli pada orang lain, dari perasaan peduli itu kemudian tumbuh menjadi rasa sayang. ah, bicara apa aku ini ? aku ini anak sastra, seharusnya aku bisa menulis lebih indah dan lebih baik dari ini. Seharusnya aku bisa menuliskan perasaanku seromantis Anne Bradstreet pada suaminya, atau segamblang Jhon Steinback yang menggambarkan perasaan seorang wanita padahal ia sendiri adalah laki-laki, atau sekeren Ernest Hemmingway yang dengan mudahnya melaporkan kisah hidupnya dalam tulisan-tulisan fiksi namun sebenarnya itulah yang terjadi dalam hidupnya. Tapi.. baiklah, menjadi diri sendiri selalu lebih baik bukan ? J Dalam jurnal ini, aku hanya ingin menyampaikan perasaanku. Sebagaimana Victor Frankenstein saat menuliskan surat untuk Elizabeth mengenai kabar dan perasaannya.
                Jadi begini, sebelumnya aku sudah pernah menulis tentang kebahagiaanku bersama Alvin, sekitar tiga bulan yang lalu. Bayangkan, tiga bulan yang lalu aku begitu bergairah menuliskan perasaan bahagiaku saat akhirnya aku memilih Alvin sebagai kekasihku. Bahkan aku sempat merasa gusar karena aku dilemma, antara melanjutkan tulisan itu hingga chapter ke seribu namun mendapat kesulitan karena kebahagiaan yang sangat memang sukar dituliskan dengan kata-kata, atau berhenti dan merasakan euforia kebahagiaan itu seorang diri. Akhinya, aku memutuskan untuk menulisnya dalam tiga chapter saja.
                Roda berputar. Waktu terus berjalan. Manusia pun pasti akan berubah seiring berjalannya waktu, termasuk Alvin. Alvin menjelma menjadi laki-laki yang tidak lagi aku kenali. Aku tak tau darimana awal mulanya, namun, kita tahu pasti bahwa hati kecil selalu bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Hati kecilku berkata, Alvin berubah sejak aku pulang mendaki. Saat itu, aku mengerjainya, iya, aku melakukan itu. Seharusnya, kepulangan yang bernuansa hangat dan penuh rindu itu, pada kenyataannya hanya mitos ! tidak ada ungkapan penuh kerinduan, apalagi kehangatan dalam setiap kata yang kami lontarkan. Yang ada hanya keributan. Dia, Alvin, marah padaku. Astaga, lagi-lagi aku berulah padanya. Tuhan, apa kesalahanku begitu fatal hari itu ? kurasa tidak. Lantas, mengapa Alvin begitu mengabaikanku hingga aku merasa tak sanggup menghadapinya lagi ? hingga aku merasa aku perlu mengakhiri hubungan ini namun aku tak sanggup. Aku tak sanggup karena selain aku masih menyayanginya, aku juga tidak tahu letak kesalahanku dimana. Baiklah, baiklah, aku tau, aku salah karena telah menjahilinya. Tapi, dia juga pernah melakukan itu padaku. Bahkan dua kali ! tapi apa yang terjadi ? aku memaafkannya. Mengapa ? karena aku sadar bahwa dia hanya bercanda. Bahwa dia hanya menggodaku. Dan karena pada akhirnya aku sadar bahwa dia baik-baik saja, tidak seperti kalimat candaan yang dikatakannya padaku. Dia sama sekali tidak menjadi korban bom Sarinah.
                Alvin yang aku kenal adalah Alvin yang menyenangkan dan menggemaskan. Penuh canda dan kehangatan. Tidak penuh rayuan, namun mampu memabukan. Tidak bersikap seolah puitis, namun tetap terkesan romantis. Ya, dia adalah Alvinku. Milikku. Namun yang ku lihat kini adalah sesosok laki-laki yang dingin, acuh, menyebalkan dan sulit aku raih. Dia bergeser menjauh, perlahan namun pasti. Seolah memintaku mengerti maksudnya padahal aku sama sekali tak mengerti apa maunya. Di atas segalanya, aku tak mengenal sosoknya lagi, selain nama Alvin yang sejak lahir memang menjadi identitasnya.
                Aku sungguh merindukan Alvinku yang dulu, Tuhan. Alvin yang mampu membuatku rela bersikap acuh terhadap hal yang aku prioritaskan sejak aku ada di bangku menengah pertama. Memang, aku tidak cuek sepenuhnya terhadap pendidikanku. Apabila aku seperti itu, maka aku tidak ada bedanya dengan Malin Kundang. Hanya saja, aku mau bertaruh karena menjadikannya salah satu prioritasku. Memberikannya perhatian, meluangkan waktuku yang padat untuk sekadar berbicara dengannya, bahkan menyebut namanya dalam setiap doaku pada Tuhan. Aku juga pernah rela menangis untuknya. Bukankah itu menjadi sesuatu yang mahal bagi seseorang ? ditangisi berarti kau mempunyai arti penting bagi orang yang menangisimu. Bahkan, Shin Ji Hyung harus rela menjadi arwah, meminjam tubuh orang lain dan berkelana selama 49 hari untuk mencari tiga air mata orang yang tulus mencintainya supaya ia bisa hidup lagi. hai Alvin, bahkan aku pernah menangisimu lebih dari tiga kali ! seharusnya kau bisa menjadi malaikat, bukan manusia lagi ! kalau kau marah dengan kalimatku barusan, maka kau kurang bertanya dan bicara padaku. Itulah kekurangannya kita, sayang. Kau tidak perlu mati untuk menjadi malaikat, kau paham ? maksudku, setelah aku menangisimu sebanyak sekian kali, tandanya kau harus bisa mengerti apa arti dirimu buatku dan setelah itu kau menghargai hal itu dengan cara menjadi malaikat untukku. Kau tau ? sama seperti yang dikatakan Dewi Lestari, Malaikat Tak Bersayap. Atau seperti kata Cinta Laura, Guardian Angel. Kau pilih menjadi yang mana ? kalau kau tanya aku, aku suka kau menjadi keduanya. Malaikat Pelindung yang Tidak Bersayap, bukankah itu keren ? kau seperti pahlawan. Sama seperti Peter Parker terhadap Marry Jane, atau seperti Tobias terhadap Tris.
                Kau tau, kesedihanku ini seakan tak ada ujungnya. Mengapa ? karena banyak sekali hal yang membuatku ingat padamu. Termasuk hal kecil sekalipun. Apa kau merasa seperti itu juga ? merasakan hidupmu hampa, sepi, muram, dan kehilangan, tanpa aku. Aku selalu tertawa getir saat terpikirkan pertanyaan itu, mengapa ? karena aku tau jawabannya. Tidak, jawabannya adalah tidak. Kau tidak merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Astaga, apa berarti selama... beberapa waktu ini aku jatuh cinta sendirian ? kau tega sekali, Alvin. Apabila kau membaca tulisanku ini, aku hanya mampu berkata maaf, karena seperti itulah jawaban yang terpikirkan olehku. Pasalnya, kau pernah berkata padaku supaya aku tidak mempertanyakan pertanyaan yang aku sendiri sudah tau jawabannya. Dan yap, seperti itulah jawabanku. Tapi lagi-lagi maafkan aku, aku tidak mengikuti perkataanmu. Kau bilang, aku jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau boleh bilang aku bodoh, karena aku tak mengerti kalimat itu. Aku tak mengerti, hal apa yang tidak boleh aku pikirkan dengan aneh ? apakah hal tentangmu ? aku ? atau kita ? Alvin, aku manusia biasa. Aku tidak bisa malarang diriku dari sifat manusiawiku yang bisa berpikiran aneh saat menghadapi kejanggalan di kehidupanku sendiri. Jadi, maafkan aku atas pikiran aneh atau bahkan buruk tentangmu dan tentang kita yang ku tuliskan dalam paragraf-paragraf aneh di jurnal ini.
                Aku hanya ingin satu hal darimu, Alvin. Aku ingin penjelasan. Apabila banyak orang diluar sana yang merasa tidak membutuhkan penjelasan, maka aku berbeda, aku membutuhkannya. Karena, disaat orang lain bisa melihat dan mendengar kenyataan itu dengan indra mereka sendiri, apalah dayaku yang hanya bisa menanti kabarmu melalu sinyal telepon yang terkadang bisa melambat seiring terpencilnya tempat dan menipisnya saldo kuota. Maka, sekianlah jurnalku ini. semoga pembaca tidak membenciku, tapi baiklah.. lagi-lagi itu terserah padamu. Itu hak kalian bila merasa benci padaku. Padahal aku hanya menulis HHHH xD
With love,

Lily

Tidak ada komentar:

Posting Komentar