Jumat, 10 Juni 2016

Hidup Sekali Lagi



Halo, nama asliku Anisa Aulia, si empunya dari blog oranye kesayanganku ini. Yang mengaku-ngaku Sunny, padahal memang benar nama penanya Sunny. Kali ini aku mau share pengalaman terbaru, pengalaman duka di awal Ramadhan 2016 ini. Hm.. aku akan mengawalinya dengan mengucapkan Alhamdulillah. Aku berterimakasih pada Allah SWT yang masih memberikanku kesempatan untuk hidup hingga hari ini, dan bisa menuliskan pengalaman ini saat ini. Percayalah, ketika aku menulis pengalaman ini, keadaanku sudah jauh lebih baik dari awal kejadian yang ku alami.
Hari pertama di bulan Ramadhan, semuanya di awali dengan sesuatu yang berbau awal. Pertama, hari senin. Kedua, hari pertama aku kembali bekerja di kantor tante. Ketiga, hari pertama puasa. Semuanya serba pertama. Entah apa maksudnya, aku tak ada firasat apapun tentang semua kebetulan itu. Aku menjalani hari sebagaimana mestinya. Ya... paling tidak begitulah yang aku pikir sampai kejadian itu terjadi dan membuatku tak habis pikir sampai sekarang, kurasa aku tidak serela yang aku pikir.
Mama antusias sekali terhadap hari pertama aku kembali bekerja. Berbanding terbalik dengan ayah yang nampak setengah hati melihat anaknya mencari uang jajan sendiri.
“emangnya mau kamu apain uangnya ?”
“tabunglah.. masa aku gak punya rekening sendiri, mam.”
Alhasil mama mendukung aku dengan sepenuh hati, tahu sendiri anaknya banyak mau tapi  punya sedikit dukungan.
Hari pertama berkerja, hm... kalau kamu tanya gimana rasanya, rasanya deg-degan. Meski berurusan dengantante sendiri, bukan berarti aku bebas dari omelan. Sebelumnya aku udah pernah cerita tentang pengalaman kerjaku di blog ini, kan ? jadi ya gitu deh, gak akan beda jauh rasanya sama aja. Tanteku tetep jadi orang yang idealis, tegas, perfeksionis dan royal. Tapi dibalik semua sikapnya yang kadang bikin aku tahan nafas, tanteku itu tetep orang yang baik.
Hari pertama bekerja, hari pertama puasa pula. Sebenarnya hari ini diawali dengan sedikit masalah yang membuatku agak kehilangan mood. Dimulai dari mama yang mengomentari gaya pakaianku (yang menurutku pantas dan nyaman), hingga tukang parkir rese yang mengancam tarif parkir mahal bila aku tidak menuruti kemaunnya untuk tidak mengkunci ganda motorku. Tapi setelah itu semua, aku disambut dengan antusias oleh para pekerja di kantor tante yang semuanya sudah ku kenal dengan baik karena meski hampir semua laki-laki (kecuali sepupuku Lidya dan tanteku), meski kami berbeda umur dan jaman, tapi mereka bisa menjadi teman yang asik.
“wah, asisten si ibu nambah satu, makin sering aja di suruh masang sama ngukur.” Celoteh salah seorang karyawan tanteku.
“oh jelas dong, kan biar cepet beres, Pak Jum,” balasku jenaka.
“Ca, kamu puasa ?” tanya sepupuku Lidya.
“lagi nggak Ya, hehe. Kamu puasa ?”
“puasa sih, tapi gak tau. Kayanya batal deh, soalnya kaya yang belum bersih.”
“hm... cek dulu lah. Lumayan, kita bisa godin bareng lagi nanti.” Celetukku.
“ya udah, kamu makan gih. Jajan aja sana, ca.”
“nggak ah Ya, aku males. Lagian bingung mau jajan apa. Gak enak juga.”
Dari percakapan singkatku dengan Lidya itu, entah kenapa aku langsung merasakan ada sekelebat firasat aneh, tapi aku biarkan. Mungkin Cuma perasaan. Aku menghela nafas berat. Padahal, kalau boleh jujur, aku sebenarnya cukup lapar dan sangat haus. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan, meskipun lalu-lalang aku melihat orang makan dan minum di sekitar IBCC.
                Jam-jam yang merepotkan berlalu dengan lambat. Yap, lambat. Kadang aku merasa ingin cepat pulang setiap kali bekerja di kantor tante. Tanteku sungguh menuntut kecepatan dan ketelatenan. Kadang aku suka berbisik kalau sedang melayani pelanggan tanteku, takut salah bicara. Tapi, kadang aku juga merasa waktu berlalu dengan cepat ketika banyak sekali kerjaan yang harus kuselesaikan dengan sepupuku. Menulis penawaran, mengirim penawaran, mengirim pesanan barang, mengkonfirmasi pelanggan, membujuk para pekerja lapang untuk cepat melakukan pengukuran atau pemasangan barang yang jumlahnya bisa membuat toko tanteku terlihat bagai gudang yang sempit sekali.
                Hingga akhirnya, jam menunjukkan pukul lima. Waktunya pulang. Saat itu, di kantor tante, aku malah seperti sedang kumpul keluarga. Omku datang dengan anaknya yang tak lain adalah sepupuku, Shania. Selain itu, A dika dan Reza juga datang, rencananya mereka ingin pergi gym dan mereka sudah janjian untuk kumpul di kantor tante dan akan pergi bersama. Aku sangat antusias dengan ide itu melihat perut buncit mereka yang... Ya Tuhan, bukankah bagus kalau satu lingkaran besar di perut kalian berubah menjadi enam bentuk persegi yang keras ?
                Rencana, tetaplah rencana. Kami semua sudah bersiap untuk pulang, padahal sore itu hujan. Tidak deras, tapi cukup membuatku waspada. Aku tak suka hujan. Tapi mau bagaimana lagi ? semuanya sudah mulai bersiap dan akan beranjak pergi. Dan akupun sebenarnya tak masalah di tinggal sendiri, tapi aku ingin cepat pulang. Alhasil aku memakai jas hujanku dan berkendara pulang.
                Di perjalanan, hujan mulai turun kembali. Aku sudah terima dengan resiko bajuku yang akan basah karena jas hujanku layaknya bocor atau memang tidak tahan air. Selain resiko itu, aku tidak memikirkan resiko lain. Perjalanan macet pun terasa wajar mengingat jam lima sore adalah jam pulang kerja ditambah orang-orang sibuk menambah kecepatan supaya bisa kumpul di rumah dan buka puasa hari pertama bersama keluarga. Begitu juga dengan aku, meskipun aku sedang tidak puasa.
                Aku tidak pernah menyangka bahwa hari itu aku nyaris menjemput maut. Aku kecelakaan. tetaptnya di dekat jalan Kawaluyaan. Seseorang menabrak motorku dari belakang dan aku kehilangan keseimbangan hingga aku terjatuh dan tertindih motorku sendiri. Orang-orang mulai berdatangan menolongku yang hanya berteriak kesakitan karena tubuhku bagai ditindih batu besar. Aku marah sekali, sedih dan juga sakit hati. Bagaimana bisa musibah ini datang di awal perjalanan liburan panjangku ? jahat sekali si penabrak itu. Orang yang menolongku bertanya, apa aku tahu siapa penabrak itu ? bukan hanya orang yang menolongku, tapi hampir semua orang yang tau musibah ini, bertanya apa aku tahu orangnya ? tentu saja tidak ! aku ini korban tabrak lari, si penabrak kabur entah kemana, bagaimana, sendiri atau tidak, laki atau perempuan, muda atau tua, aku sama sekali tidak tahu identitasnya. Seandainya saja aku tahu, akupun pasti akan melaporkannya dan meminta ganti rugi. Pasalnya, orang gila mana yang mengendarai kendaraan dengan tidak hati-hati di tengah hujan dan macet ?! sungguh gila orang itu.
                Aku menangis, tentu saja. Sakit semuanya. Hatiku sakit, tubuhku sakit. Aku tak habis pikir semuanya akan menjadi seperti ini. Ini semua terasa sungguh keterlaluan. Aku yang saat itu sangat terkejut dan kesakitan hanya bisa menangis dan berteriak marah, meluapkan emosiku yang kubiarkan keluar begitu saja. Aku tak peduli, toh aku tak akan bertemu mereka dua kali. Aku bakan sudah tak mengingat wajah orang yang menolongku, tapi aku tak melupakan mereka. Kurasa aku tetap ingat dimana aku diamankan pasca kecelakaan.
Seorang lelaki menolongku, kukira dia polisi, tapi ternyata bukan. Dan aku tak ambil pusing. Dia bertanya namaku, usia dan orang terdekat yang bisa aku hubungi. Aku mengeluarkan ponselku yang untungnya aman di dalam tas yang kusimpan di bagasi motor. Tanganku gemetar, tubuhku kesakitam, aku bagai tak memiliki tenaga barang untuk menelepon orang di rumah. Dan sangat disayangkan aku tidak bisa pingsan, padahal aku sangat ingin kehilangan kesadaran saat itu.
Aku menelepon mama, meski aku tahu itu bukan ide yang bagus. Tapi dalam beberapa nada sambung, panggilanku terjawab. Aku.. yang sebenarnya memiliki luka paling parah di mulut, berusaha bisa. Sedih sekali mengingat gigiku yang patah karena kejadian ini. Bicara saja susah. Suaraku gemetar dan belum terkendali. Bicaraku kacau. Mulutku penuh darah dan liur, juga mulai membengkak. Sambil menangis aku melaporkan keadaanku pada mama. Aku tak begitu jelas mendengar ucapan mama di telepon, tapi yang aku tahu pasti, mama pasti panik dan cemas.
Mengetahui kondisiku yang mulai lemah, sangat tidak berdaya dan terus menangis, lelaki yang menelongku itu menjelaskan kondisiku pada mama. Kurasa mama mengerti dan percakapan via telepon itu terhenti.
“kamu tunggu ya, nanti habis ini ke rumah sakit. Tadi mama kamu kan ? dia lagi di perjalanan kesini.” Hiburnya berusaha menenangkanku. “sudah, jangan menangis terus. Adek tetap cantik kok.”
Aku semakin keras menangis. Bagaimana bisa kondisi seperti ini tetap disebut cantik ? gigiku patah dan bibirku bengkak. Belum lagi kepalaku yang sakit dan tubuhku yang bagai remuk akibat tertindih motor kesayangan sendiri. Setelah tangisku reda, dan aku mulai tenang, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Toh aku masih bisa jalan meski kepayahan, motorku juga sepertinya masih bisa dikendarai. Tapi lelaki itu bagai bisa membaca pikiranku.
“motor kamu aman. Spionnya yang copot juga sudah disimpan. Habis ini kamu ke Al-Islam ya, Dek.”
Aku menggeleng. Aku gak mau ke rumah sakit.
Orang itu terperanjat. Mulai kesal. “kalau adek gak ke rumah sakit, lantas adek mau kemana ? ini harus segera di obati.” Cerocosnya yang membuatku menangguk-angguk saja, patuh.
Tak lama kemudian, ayah dan mama datang menjemput, menggunakan motor. Mama mengambil motorku, sementara ayah mengantarku ke rumah sakit. Aku langsung dilarikan ke IGD. Meskipun berlabel Gawat Darurat, tetap saja pelayanannya tidak “segawat” yang tertulis di pintu masuknya. Begitu lama aku menunggu untuk mendapatkan penanganan. Padahal aku sudah ingin sekali merobek celana jeansku dengan gunting operasi dan melihat luka yang sedari tadi sudah berdenyut minta di atasi.
Setelah dokter memerika keadaanku, aku bersyukur keadaannya tidak parah. Tidak ada luka sobek, hanya memar dan lecet. Tapi ya, menurut perawat lemah lembut yang mengobatiku, gigiku harus disambung supaya terlihat seperti normal lagi. Meskipun aku tidak bisa segera mendapatkannya karena bibirku masih bengkak. Makan dan bicarapun sulit sekali !
Bicara soal makan, aku merasa sangat menyesal karena tidak mengikuti saran Lidya yang menyuruhku makan saat di kantor tadi. Sekarang aku sangat kepayahan barang untuk mengenyangkan perut kecilku. Alhasil aku hanya bisa makan bubur bayi begitu sampai di rumah. Rasanyapun jadi tak enak, dan tidak kenyang. Aku merana sekali begitu sampai di rumah. Aku masih terus menangisi keadaan yang terasa sangat tidak menguntungkan. Gigiku patah, hilang, aku langsung merasa keberuntungan sangat tidak berpihak padaku. Bagaimana bisa aku kehilangan gigi di usiaku yang baru sembilan belas tahun ? menunggu tumbuh lagi pun rasanya mustahil, jadi tak ada jalan lain selain disambung. Sungguh ironis !

Namun yang paling penting, aku selamat. Aku masih di beri umur panjang, masih di beri kesempatan untuk belajar lebih baik, memahami tentang hidup yang sebenarnya dari setiap pengalaman yang aku dapatkan. Karena itulah proses belajar yang sesungguhnya. Aku terus berusaha merelakan semua kejadian ini, semuanya sudah terlanjur terjadi dan sudah berlalu. Tidak perlu menyesal. Toh semua ini bukan akhir. Allah SWT sungguh menyayangiku. Ia membiarkanku menerima semua cobaan ini karena Ia tahu aku adalah perempuan yang kuat dan mampu menanggung ujian ini. Dan ya, kurasa sejauh ini aku berhasil menjalaninya. Hal ini tidak terlepas dari dukungan keluargaku yang sangat mencintaiku tanpa syarat, yang menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Aku sangat beruntung memiliki mereka. Terimakasih semua, terimakasih Mama dan Ayah, aku sayang kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar