hai hai, senangnya author bisa balik lagi buat nulis. Ceritanya lagi rajin. malem ini author posting dua posts yang... hm... menguras emosi. Gak ada kesamaan topik, tapi buat yang di post ini, author cuma mau posting sebuah cerpen yang author tulis waktu masih semester satu wkwkwkw xD. No offense, just for self-reminder. cerpen ini di dedikasiin buat mamaku tercinta. I love you mom, as always. dan author sadar banget kalo ini tekninya penulisannya masih jelek, but that's okay. karya ini masih original. just enjoy the story ;) *wink*
Terima Kasih Ibu
Siang
itu, di tengah hiruk-pikuk kota Bandung, adalah hari yang cerah dan cukup ramai
di sebuah persimpangan di daerah Samsat. Seorang gadis kecil berusia tujuh
tahun sedang berjalan sambil digandeng lengannya oleh ibunya.
“Bu,
bolehkah aku memiliki boneka itu ?” tanya si gadis kecil pada ibunya.
“bolehkah
ibu bertanya lebih dulu ?” ibunya balik bertanya yang kemudian dibalas anggukan
kecil oleh anaknya. “kalau kamu dewasa nanti, kamu ingin menjadi apa ?”
Gadis
kecil itu tersenyum pada ibunya sambil membalas dengan ceria, “aku ingin
menjadi cantik seperti ibu. Boleh, kan ?”
Dengan
gemas sang ibu mencubit pipi gadis kecilnya. “tentu saja, tapi ibu ingin
meminta satu hal padamu. Boleh ?”
“boleh.”
Jawab gadis kecil itu seraya mengangguk.
“ibu
ingin, kamu menjadi anak yang sukses dan rendah hati. Bagaimana ?”
“rendah
hati itu apa ?”
“rendah
hati itu artinya kamu harus menjadi anak yang baik, tidak sombong dan suka
menolong siapapun. Bagaimana ? apa permintaan ibu menyulitkanmu ?”
“tidak.
Ibu kan, bilang aku baik jadi aku pasti bisa melakukannya.”
“anak
pintar.” Puji sang ibu sambil mengelus puncak kepala anaknya.
Sepanjang
perjalanan, yang di tempuh dengan berjalan kaki, ibu dan anak itu masih bergandengan dan
bernyanyi. Perjalanan dari lapak kecil sang ibu menuju rumah mereka cukup jauh
dan melelahkan.
“ibu,
lihat ! apa aku boleh memilikinya ? aku ingin buku itu, aku ingin menulis bu.”
Tunjuk si gadis kecil sambil menarik lengan ibunya menuju sebuah toko kecil di
gang dekat rumah mereka.
Ibunya
menghembuskan nafas panjang seraya melihat wajah polos anaknya. “tentu saja
kamu boleh memilikinya.” Jawabnya sambil tersenyum. Membuat gadis kecilnya
tersenyum cerah.
Sang
ibu membuka dompet kecilnya dan menemukan receh empat puluh ribuan lusuh
didalamnya. Setelah anaknya mengambil sebuah buku dan pensil, ibu itu
membayarnya dan menyisakan uang dua puluh ribuan receh di dompetnya.
“terimakasih,
Bu.” Anaknya berkata ceria.
Keesokan harinya, di rumah petak mereka, si gadis kecil
berseru gembira pada ibunya. “Bu lihat ! apa tulisanku sudah bagus ? dan coba
dengar, aku akan membacakannya untuk Ibu.” Kata si gadis kecil dengan nada
ceria.
“coba ibu dengar.”
“aku sayang ibu, ibu sayang aku. Aku sedang membaca. Aku
pandai membaca. Aku pandai menulis. Aku cantik. Ibu cantik. Aku rindu ayah.”
Seketika raut si gadis kecil memburam. “Bu, ayah pergi kemana ?” mata anak itu
berkaca-kaca.
“ayah sedang bertemu dengan Tuhan, sayang.” ucap ibunya
lembut sambil mendekap anaknya di tengah temaram lampu rumah petak mereka.
“kapan ayah akan pulang ? apa aku akan bertemu dengan
ayah ?”
“tentu saja. Kata ayah kamu anak terhebat yang pernah
ayah miliki. suatu saat, kita akan bertemu dengan ayah.” Hibur sang ibu dengan
hati yang teriris.
Si gadis kecil seketika tersenyum cerah. “sungguh ?
asiiik !!! nah sekarang kata ibu tulisanku bagus gak ?”
“bagus. Kamu memang hebat. Kamu sudah bisa menulis dan
membaca.”
“kalau begitu, apa aku boleh sekolah ? aku ingin sekolah
bu.”
“ibu juga ingin kamu sekolah, tapi... biar ibu pikirkan
dulu.” Mata gadis kecil itu kembali berkaca-kaca, membuat ibunya luluh. “baiklah,
bagaimanapun caranya. Ibu akan menyekolahkanmu tahun ini.”
“asiiiik !!! terimakasih ibu.”
(dua minggu kemudian tepat saat tahun ajaran baru)
“bagaimana ? kau suka seragamnya, sayang ?” tanya sang
ibu.
“suka bu, sukaaaaa sekali ! terimakasih ibu.” Si gadis
kecil berhambur ke pelukan ibunya.
“bagus kalau begitu. Berarti mulai sekarang kamu harus belajar
dengan giat dan menjadi sukses. Bagaimana ?”
“ tentu bu !”
“baiklah, sekarang kamu masuk kelas. Bel sekolah sudah
berbunyi.” Pinta ibunya yang hari itu terlihat pucat.
“baik bu. Seteleh bel pulang berbunyi, aku akan menunggu
ibu di sekolah.”
“anak pintar.”
Begitu si gadis kecil pulang ke rumah, dengan bangga ia
berkata pada ibunya, “bu, lihat ! aku mandapat nilai seratus hari ini.
Pelajarannya mudah sekali bu, sekolah ternyata menyenangkan ya bu ?” seru si
gadis kecil ceria begitu dalam perjalanan menuju rumah.
“kamu memang anak yang hebat.”
“bu, bolehkah aku minta sesuatu ?”
“boleh sayang.”
“aku ingin boneka yang kita lihat lihat itu bu. Boleh ?”
Sang ibu tersenyum lalu mengangguk. Wajahnya yang pucat
terlihat begitu lemah. “boleh sayang. Asal kamu rajin belajar, ibu akan
belikan.”
Begitu si gadis kecil mendapatkan bonekanya, sebuah
pemandangan menarik perhatiannya. “bu lihat, kucing besar itu menggigit leher
kucing kecil itu. Aku harus membantu kucing kecil itu bu.”
“tidak sayang, kucing besar itu ibu kucing kecil itu.
Itulah cara ibu kucing melindungi dan menyayngi anaknya.”
“oh begitu... tapi
kenapa di gigit ? nanti kucing itu berdarah.”
“begitulah cara mereka. Seorang ibu, akan melakukan
apapun untuk melindungi dan membahagiakan anaknya.”
Sisa perjalanan menuju rumah, mereka bernyanyi bersama.
Namun, begitu tiba di rumah, sang ibu jatuh terkulai di depan rumah mereka. Si
gadis kecil panik dan ketakutan, terlebih ketika mendapati baju ibunya
bersimbah darah. Berkali-kali ia meneriakan ibunya, namun ibunya tidak bagun.
Hingga seorang tetangga melihat kejadian itu dan membawa sang ibu ke rumah
sakit terdekat.
Berjam-jam si gadis kecil menunggu di koridor ruang UGD
sambil menangis. Tetangga terdekatnya berkali-kali menenangkannya dan menenaminya.
Hingga akhirnya seorang dokter keluar ruangan tersebut.
“dimana keluarga pasien..”
“Pak dokter, bagaimana keadaan ibu ?” Si gadis kecil menyela
sambil menangis tersedu-sedu.
“apa bapak dan ibu adalah keluarganya ?” tanya sang
dokter.
“bukan Dok, kami tetangganya. Suaminya sudah meninggal
dan ia hanya tinggal dengan anaknya.” Kata sang tetangga sambil merangkul
pundak si gadis kecil.
“begini Bu, Pak, kami telah melakukan yang terbaik.
Sebelumnya, pasien pernah datang ke rumah sakit kami. Pada saat itu, seorang pasien lain membutuhkan donor ginjal.
Lalu, pasien bersedia menjual ginjalnya karena dia bilang dia ingin
menyekolahkan anaknya. Keluarga pasien yang membutuhkan donor setuju, berhubung
pendonor memiliki golongan darah dan rhesus yang sama. Awalnya pasien pulih
setelah operasi tersebut, pemulihannyapun tidak lama. Akan tetapi, sepertinya
pasien lupa untuk memeriksa kesehatan pasca operasinya, sehingga luka bekas
operasinya yang baru mengering kembali basah dan terjadi infeksi karena
penggunaan air yang tidak bersih. Selain itu, pasien mengalami pendarahan
sehingga kekurangan darah menjadi penyebab utamanya. Kami telah melakukan yang
terbaik, mohon maaf.”
“Om, pak dokter bilang apa Om ? Tente, ibuku mana ? aku
mau lihat ibu.” Rengek si gadis kecil.
Sang tetangga sangat terkejut begitu mendengar kabar itu,
di rangkulnya si gadis kecil dengan erat. “sayang, kamu sekarang tinggal sama
Om dan Tante ya ? mamamu sedang bertemu dengan Tuhan. Kamu mau kan tinggal
dengan kami ?” tawar sang tetangga. Mereka amat bersimpati dengan kejadian ini.
Terlebih karena mereka memang sudah lama bertetangga dekat dan mereka juga
belum dikaruniai anak.
“ibu... aku mau ketemu ibu, Tante, Om.” Rengek si gadis
kecil. Namun dalam hatinya, ia sudah cukup mengerti. Mamanya telah pergi
bersama ayahnya, kini ia sendiri. Seketika, ia teringat dengan ucapan ibunya.
Seorang ibu, akan melakukan apapun
untuk melindungi dan membahagiakan anaknya.
“terimaksih
ibu, aku sayang ibu.” Lirih si gadis kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar