haiiiiiii, hari ini author bakal ngepost cerpen yang sebenernya udah author tulis dari lama. Ini salah satu karya author yang author suka. Buat yang mau nyalin boleh kok, tapi sumber dan pengarang dicantumkan ya ! ^^ salam pena oranye *winkwink*
Detak
jam yang berirama mengisi kekosongan kamarku, bunyinya semakin meresahkanku
dari detik ke detik selanjutnya. Debar jantungku yang cepat juga ikut
berkontribusi dalam menambah keresahanku. Atur
nafasmu, tarik dan hembuskan, pikirku sambil mempraktikannya. Tanganku
merambat menyentuh dada, sudah tak
secepat tadi, pikirku lega.
“baiklah,”
kataku sambil menggenggam ponselku dan mengetik beberapa angka yang sudah
kuhapal selama dua tahun belakang. Namun, lagi-lagi jariku berhenti menari
ketika hendak menekan gambar telepon. Aku melemparkan ponselku yang langsung
menyusup kedalam selimut.
Lima
menit kekosongan mengisi kamarku. Mendadak aku terlonjak kaget dan seketika aku
tersadar bahwa aku melamun, ponselku berbunyi nyaring, ada sebuah panggilan.
Aku segera menyambar ponselku, berharap itu panggilan dari seseorang yang
hendak ku telepon, namun ternyata aku salah dan aku sadar kemungkinan itu
mustahil.
“hai,”
seru sahabatku, Letta, ketika aku menjawab panggilannya. “bagaimana ? apa kau
sudah meneleponnya ?” tanya Letta di sebrang sana.
“belum.”
“belum
? kau ini bagaimana ? katanya kau akan jujur, apa kau sudah melupakan janjimu untuk
mengakuinya?”
“belum.”
“belum
? lantas mengapa kau belum meneleponnya ? ayo cepat, keburu malam. Aku tahu
pria suka bergadang tapi kurasa dia tidak seperti itu.” Omelnya seakan aku ini
korban ketinggalan kereta.
“baiklah,”
“baiklah,”
cibirnya menirukan suaraku. “pokoknya kau harus meneleponnya malam ini. Setelah
itu, kau kabari aku. Aku tak ingin melihatmu begitu terus. Aku akan menutup
telepon, semoga berhasil.” Setelah itu terdengar nada bip yang membuatku kembali merenung.
Aku
merebahkan diri dikasurku, aku memejamkan mata dan kembali merasakan debar
jantungku yang sudah seperti seribu pasukan kuda sedang berlari. Aku melirik
dua lembar kertas dengan gambar piano klasik yang merupakan tiket konser piano
di salah satu universitas di kotaku. Aku menemukannya di dekat meja
pengembalian buku ketika Badai mengeluarkan kartu anggota perpustakaan dan
tanpa sengaja menjatuhkan tiket itu dari saku calananya. Aku baru akan
berteriak mengingatkannya, tapi dia pergi dengan cepat bahkan sebelum otakku
benar-benar berpikir untuk mengejarnya. Tiket itu ada dua yang berarti untuk
dua orang, mungkin satunya lagi untuk kekasihnya, pikirku pahit. Setetes air
mata mengalir dimataku begitu mengingat sosoknya, Badai, orang yang telah
memporak-pondakan hatiku. Membuatku sulit berpikir tentang hal lain selain
Badai dan semua yang telah disebabkannya padaku. Aku mengenalnya dengan baik,
tapi dia tidak mengenalku, bahkan jauh dari kata cukup kenal. Aku tahu hampir
semua tentangnya, karena aku selalu memperhatikannya. Sedangkan dia, kurasa dia
hanya tahu namaku dan tampangku. Hampir setiap hari –kecuali hari minggu— kami
bertemu di kafetaria di perpustakaan daerah. Aku selalu memperhatikannya,
apapun yang dia lakukan hingga aku bisa mengenalinya dengan mudah. Dia seperti
buku yang terbuka, hal-hal tentangnya dan kepribadiannya mudah kubaca, tapi
tidak dengan pandangannya ketika tak sengaja kami saling bertatapan. Mungkin
saat itu aku yang seperti buku terbuka –karena tak sampai lima detik dia
mengalihkan wajahnya tanpa tersenyum padaku— padahal menurutku dia pria yang
ramah.
Aku
merasakan leherku basah seperti sedang berkeringat, tapi ternyata bukan, itu
air mataku yang menderas hingga membasahi leherku. Aku mengerjap dan saat itu
aku mengakui bahwa aku mencintainya sejak pandangan pertama. Aku mengambil tisu
dan melapnya. Setelah itu, aku kembali memegang ponsel. Ya, aku berniat
mengembalikan tiket itu supaya dia bisa menontonnya dengan kekasihnya.
Lagipula, tiket itu harganya mahal sehingga aku memang harus mengembalikannya.
“baiklah,
sekarang atau tidak sama sekali. Sekarang atau aku pencundang. Sekarang atau
aku tak akan pernah hidup tenang. Sekarang atau sebelum aku menyesal.” Hiburku
pada diri sendiri.
Aku
kembali menekan angka yang ternyata kuhapus saat nyaris melakukan percobaan
pertama tadi, setelah menarik nafa panjang aku menekan gambar telepon itu.
Dering
pertama, kedua, ketiga, hingga terdengar suara petugas operator, teleponku tak
diangkat dan aku tidak berminat untuk meninggalkan pesan suara. Aku memutuskan
panggilan tersebut dan melemparkan kembali ponselku ke dalam selimut. Aku
kembali merebahkan diri di kasur, lalu tanpa sadar aku tertidur.
Aku
tersentak begitu mendengar bunyi nyaring itu, nyaring yang panjang dan
mengganggu tidurku. Terpaksa aku membuka mata, mataku menjajah seisi kamar dan
pandanganku terpaku pada jam dinding yang menunjukan angka sembilan yang
tandanya aku hanya tidur selama satu setengah jam. Aku mencari ponselku dan
begitu menemukannya, ada satu voicemail
dari kontak bernama Badai.
Jantungku
seakan tak mau berdetak lebih santai ketika memegang ponsel itu, setelah
menarik nafas dan menghembuskannya, aku mendengar voicemail itu.
“halo,
ini Badai. Barusan nomer ini menghubungi saya ketika sedang menyetir, kalau ini
darurat, silakan menghubungi saya kembali di nomor ini.” Begitu bunyi pesannya
di mailbox-ku.
Ini pertanda, ini sinyal, teleponku direspon
! Pikirku gembira, segera aku menghubungi nomor Badai kembali dengan penuh
harap dan gugup yang membuat badanku terasa ngilu.
“selamat
malam,” suara itu terdengar hangat dan dalam, membuat lidahku kelu dan hanya
ingin mendengarnya saja.
“se-selamat
malam, Badai,” balasku gugup dan pasti terdengar sangat bodoh.
Ada
jeda sejenak sebelum akhirnya dia menyahut, “ya, ada apa ?” tanyanya ramah.
“aku..
aku ingin mengembalikan tiket konser Sound Of Classic, aku menemukannya ketika
kau menjatuhkannya di meja pengembalian buku lantai tiga dua hari yang lalu.
Tiket itu benar itu milikmu, kan ?” tanyaku lega ketika aku dapat mengucapkan
kalimat itu dengan lancar walaupun aku masih sangat gugup.
“ya,
itu punyaku. Apa ada padamu ?”
“ya,”
“oh
syukurlah, aku kira aku menghilangkannya. Jadi bagaimana aku bisa mengambilnya
?” dia terdengar senang sekali, membuatku meringis.
“...”
“hm..
bagaimana bila kita bertemu di kafetaria besok jam satu, apa kau keberatan ?”
usulnya yang membuat jantungku berdegup tak karuan, dia mengusulkan pertemuan
denganku ! yang benar saja, aku pasti bisa gila bila menolak.
Aku
mengangguk, “tak masalah.”
“oke,
kalau begitu terimakasih.” Lalu aku segera memutuskan panggilanku.
Aku
masih merasakannya, ribuan pasukan kuda yang berlari itu, masih terasa jelas di
dadaku. Aku menatap ponselku dan rasanya aku ingin memberi ponselku hadiah atas
kerja kerasnya.
Aku
membuka mata ketika merasakan cahaya yang menerobos masuk melalui celah mataku,
membangunkanku dan segera menyadarkanku bahwa hari baru telah tiba. Hal pertama
yang kurasakan adalah bahagia, kemudian semangat dan yang terakhir adalah aku
tak sabar menanti jam satu siang nanti.
Aku
segera beringsut dari tempat tidurku kemudian aku membereskan rumah dan pergi
mandi. Ketika selesai berpakaian, aku mendapati teleponku berdering.
“selamat
pagi, Ta,” sapaku riang. Oh, ternyata telepon Badai berdampak sangat baik
untukku, meskipun aku akan menemuinya untuk mengembalikan tiket konser yang
akan ditontonya dengan kekasihnya.
“kau
terdengar ceria sekali, mau berbagi denganku ?”
“aku
akan bertemu Badai jam satu nanti.”
“itu
bagus, akhirnya. Lalu apa kau akan jujur ?”
Darahku
seketika membeku, aku tak memikirkan itu, tepatnya tak sempat. Entahlah,
mendengar ia begitu bahagia akan mendapat tiketnya kembali, rasanya aku tak
memikirkan hal lain selain aku senang mendengarnya bahagia. Apa ia akan
menghindariku bila aku menceritakan apa yang selama ini aku simpan tentangnya ?
“halo,
apa kau masih sadar, sobat ?” panggil Letta yang memang menyadarkanku.
“entahlah,”
desahku gelisah.
“entah
? sudah sebaik ini kau masih bisa menjawab, ‘entah’ ? kini giliran aku yang
harus mengatakan ‘entah’ karena entah apa yang ada di kepala cantikmu sehingga
berani mengabaikan kesempatan emas.”
“...”
“ah
benar, aku tau itu, amat sangat tau. Kau takut bukan ?” tebaknya tepat sasaran.
“...”
“kau
pernah mengatakan ketakutan harus dihadapi. Tapi kau sendiri ? oh ayolah,
menyerah hanya pantas untuk orang yang sudah berusaha. Mengerti ?”
“baiklah,”
“baiklah
apa ?”
“aku
akan mencoba.”
“itu
bagus, dan jangan kau sampai lupa atau pura-pura lupa untuk mengabariku.
Baiklah, aku harus pergi sekarang. Semoga berhasil.”
Sepuluh
menit sebelum pukul satu aku sudah duduk di kafetaria, menunggu Badai.
Lagi-lagi jantungku tak mau berkompromi barang sebentar saja, terutama saat aku
akan menghadapi Badai nanti. Aku ingin bersikap tenang dan santai, bahkan
sempat terpikir untuk bersikap datar dan dingin, tapi aku pasti tak akan bisa.
Aku terlalu senang dapat bertemu dan berbicang dengannya.
Tepat
pukul satu, aku melihatnya. Dia berjalan sambil memandang sekeliling. Ah aku
lupa, dia pasti tidak mengenali siapa yang meneleponnya semalam. Bagaimana ini
? apa aku harus melambaikan tangan untuk memberi tanda ? setelah berpikir
matang, mungkin hanya itu cara terbaik. Akhirnya aku melambai, dengan rasa
cemas dan gugup yang membuatku berkeringat dingin.
Badai
melihatku yang masih melambai –aku tidak berani memanggilnya karena itu akan
memalukan jadi aku hanya tersenyum— tapi semakin dekat denganku langkahnya
terlihat semakin berat dan ragu, membuatku cemas setengah mati. Apa yang ia
pikirkan, aku tidak tahu dan tidak berani membayangkan. Apa mungkin ia
ketaku... stop ! dia tidak mengenalmu
bodoh, kenapa dia harus merasa takut padamu ? omelku pada diri sendiri.
Detik-detik
selanjutnya terasa lambat, tapi aku melihat ada kilatan dimatanya dan langkah
Badai terlihat ringan dan pasti. Aku bahkan berhalusinasi ia sedang tersenyum
ke arahku.
“hai,”
sapanya padaku. “sudah menunggu daritadi ?”
Aku
menggeleng, “tidak, aku baru datang.”
Aku
kembali berhalusinasi ia sedang menghembuskan nafas lega, bahkan halusinaiku
bertambah parah ketika dia tersenyum hangat padaku sambil menatapku.
“jadi...”
“ah
iya, ini tiketmu. Maaf baru menghubungimu. Kau pasti cemas sekali.” Kataku
seolah mengerti apa yang akan di katakannya. Aku bergerak duluan karena aku
ingin menghindari sakit hati bila mendengar betapa ia mencemaskan tiket
konsernya dan kekasihnya ada padaku.
“ah,
iya tak masalah. Lagipula acaranya masih dua hari lagi.” balasnya santai sambil
terkekeh. Ya Tuhan, aku bahkan berkhayal mendengarnya tertawa. Aku pasti sudah
gila.
“apa
kau baik-baik saja ? kau terlihat pucat dan... cemas.”
Aku
mengerjap. Ya Tuhan, aku bahkan berkhayal lagi dia mencemaskanku. Setelah ini
aku harus ke psikiater untuk mengecek kesehatan mentalku.
“kau
tak menjawab ? apa kau baik-baik saja ? apa aku merepotkanmu ?” itu rentetan
pertanyaan yang membuat air mataku berdesakan ingin keluar karena terharu, dan
benar saja, aku bisa merasakan air mataku mengalir.
Aku
melihat Badai yang terlihat bingung. Tapi mana mungkin ? aku pasti sudah
terlalu banyak berkhayal, atau mungkin yang lebih parah aku sedang bermimpi ?
ah benar, mungkin aku memang sedang bermimpi.
Aku
menggeleng. Lebih baik aku memanfaatkan
mimpi ini, pikirku yakin. “apa kau baru saja mencemaskanku ?” itu bodoh,
aku tahu pasti itu tindakan bodoh.
Badai
mengerjap, “ya, ya tentu saja. Kau terlihat pucat, kau bahkan dari tadi
terlihat cemas bahkan ketika aku tersenyum kau tak membalas. Apa aku
merepotkanmu ?”
Mimpiku
melantur, mana mungkin dia mengaku dia cemas dan tersenyum padaku ? aku
meringis mengetahui kenyataan itu. “kau tau, aku ingin mengatakan sesuatu
padamu. Tunggu, jangan menyela. Cukup dengarkan, aku tak ingin menyiakan
kesempatan ini.” Kataku serius. Ketika kulihat dia tidak akan menyela dan
setuju mendengar, aku melanjutkan. “begini, aku akan langsung saja. Aku
menyukaimu, bahkan sepertinya aku mencintaimu. Kau membuatku seperti orang gila.
Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku memilih mengembalikan tiketmu dan
kekasihmu, kenapa aku bermimpi seindah ini, kenapa aku mengatakan ini padamu,
aku sungguh tak mengerti. Yang aku mengerti hanyalah aku ingin pikiranku
kembali normal dan hidupku tenang. Bertemu denganmu setiap hari, mengamatimu
seperti aku mengamati tumbuhan, membuatku kehilangan akal sehat untuk
menyelesaikan masalah seperti ini.”
Dentingan
sendok membuatku menoleh cepat ke arah suara itu. Apa mimpi bisa menghasilkan suara benda ? pikirku heran. Setelah
itu, aku melihat seorang pelayan mendatangi mejaku sambil membawa sepiring
banana split yang ia letakan di atas meja. Apa aku baru saja memesan makanan
ini ? aku bahkan bisa mencium harum strawberry dan melihat pelayan itu
tersenyum padaku. Ini aneh, aku tidak mungkin memimpikan seorang pelayan yang
tersenyum bukan ?
Aku
menatap Badai yang sedang serius menatapku. Apa yang ia pikirkan ? apa yang
sebenarnya...
“apa
kau sudah selesai bicara ?” tanyanya, membuatku mengerjap dua kali sebelum
mengangguk. “baiklah, sepertinya ada yang harus kuluruskan disini dan
sepertinya aku sudah bisa memahami kegelisahanmu.”
Aku
hampir tertawa mendengar ia mengatakan ia memahami kegelisahanku, yang benar
saja ? mimpi ini ternyata bukannya membantu malah menyiksaku.
“apa
kau berpikir ini mimpi ?” tanyanya membuatku tersentak seketika. Ya, tentu saja
aku berpikir ini mimpi, kejadian seindah ini tak mungkin adalah kejadian nyata.
Jadi aku memutuskan mengangguk. “baiklah, aku hanya ingin membantumu, kau
mengerti ?”
Aku
bingung, walau begitu aku mengangguk lagi.
“kau
sedang tidak bermimpi.”
“apa
?”
“ini
kejadian nyata. Semuanya.” Kemudian Badai menggenggam erat tanganku, membuatku
seperti merasakan sengatan listrik. Tapi tunggu, aku tak akan langsung percaya,
mungkin saja sentuhan ini milik ibuku yang sedang berusaha membangunkanku. Ya,
pasti begitu.
“aku
tak percaya.” Balasku tegas.
Badai
tersenyum geli. Ya Tuhan, dia semakin tampan bila tersenyum seperti itu.
“baiklah, aku akan memberimu bukti lain.” Kemudian dia menyendokan es krim
banana splitku ke mulutku. Dan setelah itu aku merasakan dingin es strawberry
di bibirku yang terkatup oleh suapan es itu, aku bahkan bisa merasakan rasa
strwberry itu. Tubuhku menegang, sepertinya Badai benar, aku tidak sedang
bermimpi. Aku mulai takut dengan imajinasi yang dibuat otak kananku.
“kau
percaya sekarang ?” tanyanya, membuatku mengangguk saja lebih untuk memastikan.
Bila ini terbukti tidak nyata, aku siap menangis sepanjang hari begitu
terbangun dari mimpi. “baiklah, karena kau sudah percaya dan sadar, kini
giliranku yang berbicara.”
“apa
? kau ingin bicara apa ?” tanyaku cemas.
“kau
salah paham tentang tiket ini.” Katanya sambil menggeser satu tiket di
tangannya ke arahku. “tiket itu bukan untuk kekasihku, sebenarnya aku tidak tau
bagaimana aku harus menyebutnya, yang jelas ia bukan kekasihku. Mungkin belum.”
Katanya, membuatku tak paham dan merasa dadaku sesak, aku memandang tiket di
depanku dengan bingung. “itu untukumu.” Katanya sambil tersenyum manis.
“apa
?”
“kau
mendahuluiku untuk mengatakan apa yang ingin kukatakan padamu. Aku takkan
mengatakan ‘aku juga’, tapi aku akan mengatakan bahwa aku selalu memperhatikanmu
dan tak pernah bisa berhenti melakukannya. Aku memikirkanmu seakan tak mau
memikirkan hal lain selain kamu. Aku ingin mendekatimu tapi kau selalu
menghindariku. Aku hampir menyerah tapi aku tak mau. Kau membuatku frustasi dan
semakin frustasi ketika kau sama sekali tak tersenyum padaku.”
“hei,
tunggu, aku tersenyum padamu ketika aku melambai.”
“kau
meringis, aku melihat itu jelas.”
“baiklah,
tapi kau bilang apa tadi ? aku membuatmu frustasi ? hahaha.. apa aku membuatmu
terganggu ?” tanyaku gusar.
“tidak,
bukan karena itu. Tapi karena aku senang ternyata perasaanku tak bertepuk
sebelah tangan.”
“apa
maksudmu ? tunggu, kenapa kau jahat sekali ? bisakah kau tidak membuatku
berharap meskipun ini hanya mimpi ?” tanyaku mulai jengah dan diliputi rasa sesak.
Mimpi ini ternyata jahat.
“aku
mencintaimu.” Badai berkata jelas dengan nada yang lugas, serius, tulus tegas.
“apa
?”
“apa
aku harus mengatakannya lagi ?”
“apa
aku tidak salah dengar ? kau bahkan tak mengenalku. Sementara aku, aku
mengenalmu dengan baik Badai. Ini menyedihkan.”
“kau
menyukai musik klasik maka dari itu kau selalu berada di lantai tiga untuk
menemukan buku-buku tentang musik klasik, kau menyukai cappuccino dengan sedikit
gula dan banyak krim, kau menyukai catur dan basket, kau selalu membaca di
perpustakaan hingga tertidur, kau suka anak kecil, kau mahasiswa semester dua,
motormu matic putih dengan stiker biola di depannya, kau mempunyai sahabat
bernama Letta dan kau... kau begitu sulit kubaca.” Jelasnya hingga membuatku
menganga karena terlalu terkejut. Darimana
ia tahu semua itu ?
Beberapa
detik berlalu tanpa ada yang bersuara, hingga akhirnya aku mendengar dan
merasakan ponselku bergetar di saku celanaku. Ya Tuhan, sepertinya aku memang
tidak bermimpi, aku juga bisa merasakan angin yang berhembus hingga membuat
bulu kuduku meremang. Aku membiarkan ponselku berhenti berdering dengan
sendirinya. Kalau memang ini bukan mimpi, aku pasti sudah mempermalukan diriku tadi
di depan Badai. Oh, tindakan bodoh apa lagi yang telah aku perbuat ? aku
menggebrak meja dan berdiri, hingga membuat Badai terkejut. Detik selanjutnya
aku merasakan perih di tanganku. Ya, aku akui sepenuh hati sekarang, aku tidak
sedang bermimpi. Aku benar-benar malu sekarang, aku sudah mengakui semuanya di
depan Badai. Dia sekarang pasti jijik padaku.
“kau
kenapa ?” tanyanya cemas sambil memandangku.
“berhenti
memandangku seperti itu, aku... aku tidak tahu apa yang telah aku perbuat. Aku
mempermalukan diriku dengan mengakui semuanya di depanmu, kau pasti akan
menghindariku.”
“hei,
apa kau tidak mendengarku tadi ? berapa kali aku harus mengatakan dan
menyakinkanmu bahwa aku juga menc...”
“kau
bahkan tidak tau namaku, Badai.”
“tentu
aku tahu, bahkan hal itu yang pertama aku ketahui. Oh, apa kau masih tidak
percaya juga ?” kemudian dia menyerahkan ponselnya yang menujukan sebuah kontak
dengan namaku tertera di atasnya. Ternyata
dia benar. “kau percaya sekarang ?”
“berhenti,
ini mulai kelewatan. Aku hanya ingin mengembalikan tiketmu padamu, tapi... aku
malah membocorkan semuanya dan mempermalukan diriku.”
Lalu
tanpa kusangka Badai berdiri dari kursinya, menghampiriku dan memelukku.
Pelukannya begitu hangat dan terasa benar. Aku tidak tahu mana yang lebih
parah, merasa diriku murahan karena mau-maunya di peluk oleh lelaki yang
tiba-tiba mengaku bahwa ia juga mencintaiku atau mempercayai ucapannya yang
terasa mustahil di telingaku.
“aku
tau mungkin ini terlalu cepat, aku juga tak menyangkanya. Tapi mendengarmu
mengatakan itu semua, mengatahui bahwa ternyata selama ini aku tidak sendiri,
membuatku merasa yakin bahwa aku telah sampai di tujuanku. Aku
bersungguh-sungguh.” Katanya di sela-sela pelukannya. Kemudian, dia melepaskan
pelukannya. “bagaimana dengamu ?”
Aku
mengerjap dan tampangku pasti terlihat bodoh. Aku senang, senang sekali,
mendengar ucapannya yang terdengar tulus. “apa kau serius ? kau juga begitu
padaku ? apa.. sungguh ini bukan mimpi ?”
Kedua
tangannya menepuk pipiku. “tentu saja bukan. Ini nyata dan semua yang kukatan
adalah benar. Jadi bagaimana ? kau mau datang ke konser itu denganku ? aku
belum tau apa aku akan pergi kesana dengan kekasihku atau denganmu, aku belum mendapat
konfirmasi yang jelas.” Katanya menatapku dengan penuh arti.
Jantungku,
lagi-lagi jantungku berdentum kencang hingga aku takut badai akan mendengarnya.
Aku tidak menyangka dengan kejadian hari ini, ini sungguh kejutan. Aku juga
belum tahu harus mengatakan apa, yang jelas aku senang, bahagia, yakin dan
merasa pasti sekarang. Aku tidak sedang bermimpi, jadi aku mengatakan, “ya, aku
akan pergi denganmu Badai.”
Badai yang telah memporak-porandakan hatiku.
Lirihku bahagia.
Written by :
Sunny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar