Berhenti
menjadi peduli itu sulit. Sesulit berhenti menenggak air ketika kau merasa
kerongkonganmu terbakar karena kau haus. Aku, terkadang aku membenci diriku
sendiri yang terlalu mudah peduli pada orang lain. Orang seperti aku ini,
pastilah bukan hanya pernah dikecewakan, tapi sering. Apa itu tandanya aku
mudah menaruh kepercayaan pada orang lain ? tentu saja tidak. Namun aku
terbilang mudah untuk peduli pada orang lain, dari perasaan peduli itu kemudian
tumbuh menjadi rasa sayang. ah, bicara apa aku ini ? aku ini anak sastra,
seharusnya aku bisa menulis lebih indah dan lebih baik dari ini. Seharusnya aku
bisa menuliskan perasaanku seromantis Anne Bradstreet pada suaminya, atau
segamblang Jhon Steinback yang menggambarkan perasaan seorang wanita padahal ia
sendiri adalah laki-laki, atau sekeren Ernest Hemmingway yang dengan mudahnya
melaporkan kisah hidupnya dalam tulisan-tulisan fiksi namun sebenarnya itulah
yang terjadi dalam hidupnya. Tapi.. baiklah, menjadi diri sendiri selalu lebih
baik bukan ? J
Dalam jurnal ini, aku hanya ingin menyampaikan perasaanku. Sebagaimana Victor
Frankenstein saat menuliskan surat untuk Elizabeth mengenai kabar dan
perasaannya.
Jadi
begini, sebelumnya aku sudah pernah menulis tentang kebahagiaanku bersama
Alvin, sekitar tiga bulan yang lalu. Bayangkan, tiga bulan yang lalu aku begitu
bergairah menuliskan perasaan bahagiaku saat akhirnya aku memilih Alvin sebagai
kekasihku. Bahkan aku sempat merasa gusar karena aku dilemma, antara
melanjutkan tulisan itu hingga chapter ke seribu namun mendapat kesulitan
karena kebahagiaan yang sangat memang sukar dituliskan dengan kata-kata, atau
berhenti dan merasakan euforia kebahagiaan itu seorang diri. Akhinya, aku
memutuskan untuk menulisnya dalam tiga chapter saja.
Roda
berputar. Waktu terus berjalan. Manusia pun pasti akan berubah seiring
berjalannya waktu, termasuk Alvin. Alvin menjelma menjadi laki-laki yang tidak
lagi aku kenali. Aku tak tau darimana awal mulanya, namun, kita tahu pasti
bahwa hati kecil selalu bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Hati
kecilku berkata, Alvin berubah sejak aku pulang mendaki. Saat itu, aku
mengerjainya, iya, aku melakukan itu. Seharusnya, kepulangan yang bernuansa
hangat dan penuh rindu itu, pada kenyataannya hanya mitos ! tidak ada ungkapan
penuh kerinduan, apalagi kehangatan dalam setiap kata yang kami lontarkan. Yang
ada hanya keributan. Dia, Alvin, marah padaku. Astaga, lagi-lagi aku berulah
padanya. Tuhan, apa kesalahanku begitu fatal hari itu ? kurasa tidak. Lantas,
mengapa Alvin begitu mengabaikanku hingga aku merasa tak sanggup menghadapinya
lagi ? hingga aku merasa aku perlu mengakhiri hubungan ini namun aku tak
sanggup. Aku tak sanggup karena selain aku masih menyayanginya, aku juga tidak
tahu letak kesalahanku dimana. Baiklah, baiklah, aku tau, aku salah karena
telah menjahilinya. Tapi, dia juga pernah melakukan itu padaku. Bahkan dua kali
! tapi apa yang terjadi ? aku memaafkannya. Mengapa ? karena aku sadar bahwa
dia hanya bercanda. Bahwa dia hanya menggodaku. Dan karena pada akhirnya aku
sadar bahwa dia baik-baik saja, tidak seperti kalimat candaan yang dikatakannya
padaku. Dia sama sekali tidak menjadi korban bom Sarinah.
Alvin
yang aku kenal adalah Alvin yang menyenangkan dan menggemaskan. Penuh canda dan
kehangatan. Tidak penuh rayuan, namun mampu memabukan. Tidak bersikap seolah
puitis, namun tetap terkesan romantis. Ya, dia adalah Alvinku. Milikku. Namun
yang ku lihat kini adalah sesosok laki-laki yang dingin, acuh, menyebalkan dan
sulit aku raih. Dia bergeser menjauh, perlahan namun pasti. Seolah memintaku
mengerti maksudnya padahal aku sama sekali tak mengerti apa maunya. Di atas
segalanya, aku tak mengenal sosoknya lagi, selain nama Alvin yang sejak lahir
memang menjadi identitasnya.
Aku
sungguh merindukan Alvinku yang dulu, Tuhan. Alvin yang mampu membuatku rela
bersikap acuh terhadap hal yang aku prioritaskan sejak aku ada di bangku
menengah pertama. Memang, aku tidak cuek sepenuhnya terhadap pendidikanku.
Apabila aku seperti itu, maka aku tidak ada bedanya dengan Malin Kundang. Hanya
saja, aku mau bertaruh karena menjadikannya salah satu prioritasku.
Memberikannya perhatian, meluangkan waktuku yang padat untuk sekadar berbicara
dengannya, bahkan menyebut namanya dalam setiap doaku pada Tuhan. Aku juga
pernah rela menangis untuknya. Bukankah itu menjadi sesuatu yang mahal bagi
seseorang ? ditangisi berarti kau mempunyai arti penting bagi orang yang
menangisimu. Bahkan, Shin Ji Hyung harus rela menjadi arwah, meminjam tubuh
orang lain dan berkelana selama 49 hari untuk mencari tiga air mata orang yang
tulus mencintainya supaya ia bisa hidup lagi. hai Alvin, bahkan aku pernah
menangisimu lebih dari tiga kali ! seharusnya kau bisa menjadi malaikat, bukan
manusia lagi ! kalau kau marah dengan kalimatku barusan, maka kau kurang
bertanya dan bicara padaku. Itulah kekurangannya kita, sayang. Kau tidak perlu
mati untuk menjadi malaikat, kau paham ? maksudku, setelah aku menangisimu
sebanyak sekian kali, tandanya kau harus bisa mengerti apa arti dirimu buatku
dan setelah itu kau menghargai hal itu dengan cara menjadi malaikat untukku.
Kau tau ? sama seperti yang dikatakan Dewi Lestari, Malaikat Tak Bersayap. Atau
seperti kata Cinta Laura, Guardian Angel.
Kau pilih menjadi yang mana ? kalau kau tanya aku, aku suka kau menjadi
keduanya. Malaikat Pelindung yang Tidak Bersayap, bukankah itu keren ? kau
seperti pahlawan. Sama seperti Peter Parker terhadap Marry Jane, atau seperti
Tobias terhadap Tris.
Kau
tau, kesedihanku ini seakan tak ada ujungnya. Mengapa ? karena banyak sekali
hal yang membuatku ingat padamu. Termasuk hal kecil sekalipun. Apa kau merasa
seperti itu juga ? merasakan hidupmu hampa, sepi, muram, dan kehilangan, tanpa
aku. Aku selalu tertawa getir saat terpikirkan pertanyaan itu, mengapa ? karena
aku tau jawabannya. Tidak, jawabannya adalah tidak. Kau tidak merasakan hal
yang sama seperti yang aku rasakan. Astaga, apa berarti selama... beberapa
waktu ini aku jatuh cinta sendirian ? kau tega sekali, Alvin. Apabila kau
membaca tulisanku ini, aku hanya mampu berkata maaf, karena seperti itulah
jawaban yang terpikirkan olehku. Pasalnya, kau pernah berkata padaku supaya aku
tidak mempertanyakan pertanyaan yang aku sendiri sudah tau jawabannya. Dan yap,
seperti itulah jawabanku. Tapi lagi-lagi maafkan aku, aku tidak mengikuti
perkataanmu. Kau bilang, aku jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau boleh bilang
aku bodoh, karena aku tak mengerti kalimat itu. Aku tak mengerti, hal apa yang
tidak boleh aku pikirkan dengan aneh ? apakah hal tentangmu ? aku ? atau kita ?
Alvin, aku manusia biasa. Aku tidak bisa malarang diriku dari sifat manusiawiku
yang bisa berpikiran aneh saat menghadapi kejanggalan di kehidupanku sendiri.
Jadi, maafkan aku atas pikiran aneh atau bahkan buruk tentangmu dan tentang
kita yang ku tuliskan dalam paragraf-paragraf aneh di jurnal ini.
Aku
hanya ingin satu hal darimu, Alvin. Aku ingin penjelasan. Apabila banyak orang
diluar sana yang merasa tidak membutuhkan penjelasan, maka aku berbeda, aku
membutuhkannya. Karena, disaat orang lain bisa melihat dan mendengar kenyataan
itu dengan indra mereka sendiri, apalah dayaku yang hanya bisa menanti kabarmu
melalu sinyal telepon yang terkadang bisa melambat seiring terpencilnya tempat
dan menipisnya saldo kuota. Maka, sekianlah jurnalku ini. semoga pembaca tidak
membenciku, tapi baiklah.. lagi-lagi itu terserah padamu. Itu hak kalian bila
merasa benci padaku. Padahal aku hanya menulis HHHH xD
With love,
Lily
Tidak ada komentar:
Posting Komentar