Sepenggal Rindu Lewat Edelweiss
author : Sunny
Mataku
menyalang jauh ke antah berantah, tempat dimana semua rasa sakit itu berkumpul,
bersatu dan melahirkan duka. Dadaku seketika sesak –amat sesak– bahkan hingga
aku seringkali berpikir, apa aku punya kelainan pernapasan ? kalau ya, kenapa
aku hanya merasakannya ketika mengingat duka itu saja ? duka yang sebelumnya
tak pernah kukira akan menjadi duka, duka yang sebelumnya sempat aku banggakan
karena dulu aku menyebutnya prinsip, duka yang akhirnya membuatku berusaha
bertahan hidup tanpa terpenuhinya kebutuhan yang kini menjadi duka itu sendiri.
Aku tak mengerti mengapa semua bisa menjadi serumit ini, semula aku menganggap
semuanya baik-baik saja, lurus, benar dan normal –bahkan terlalu normal– hingga
akhirnya aku sadari bahwa selalu menjadi normal, lurus dan benar terkadang
tidak membuat seseorang menjadi baik-baik saja, aku menyadari itu sekarang.
Suara
tawa yang pecah itu menarikku kembali dari kenyataan pahit yang hanya aku saja
yang tahu. Aku melihat teman-teman
disekelilingku tertawa lepas, begitu lepas hingga perasaan ingin menirunya saja
membuatku takut. Takut kalau aku akan sangat bersedih nantinya, setelah itu
maka aku akan kecewa karena bahagiaku hanya semu. Aku mendesah panjang, namun
suara desahan itu terendap oleh suara temanku yang lain. Di satu sisi aku
merasa lega karena tak ada yang menyadari keresahanku, di sisi lainnya, aku
merasa tak ada yang mempedulikanku dan aku merasa amat sendiri.
“kau
pasti bingung sekali. Yang satu begitu perhatian dan baik hati, tapi dia bukan
kekasihmu. Sementara yang satunya lagi baik dan tampan dia juga kekasihmu, tapi
mengapa kau malah membingungkan keduanya ? bukankah sudah jelas kau seharusnya
memilih kekasihmu saja dan fokus padanya. Kenapa kau bingung memikirkan
keduanya ?” cerocos temanku, Vita, yang hobi meracau panjang.
Luwi
mendesah putus asa, namun aku masih melihat kilatan bahagia dimatanya meskipun
memang dia terlihat sekali sedang dilemma. “ini tak semudah yang kalian
bayangkan saudari-saudariku, kalian tahu, aku sangat bingung karena aku
sepertinya mencintai orang lain selain kekasihku.”
“kau
terlihat tidak bingung, percayalah. Kau terlihat menikmati keduanya.” Goda
temanku yang lain bernama Liza. “bagaimana rasanya dicintai banyak lelaki ?”
“hei,
apa maksudmu ? apa kau baru saja mengatakan kalau aku ini wanita murahan ?
dengar ya sis, kukatakan padamu
sekali lagi bahwa aku sungguh kebingungan.” Ada jeda sejenak, kemudian Luwi
melanjutkan, “kau ingin tahu rasanya ? rasanya menyenangkan. Tapi kadang aku
juga merasa lelah. Kini aku hanya ingin... diam.”
Aku
mendengus pelan, namun ternyata ketiga temanku mendengarnya. “apa ?” tanyaku
begitu melihat mereka sedang memperhatikanku.
“Tara,
apa kau baik-baik saja ? aku lihat kau diam saja. Kau tidak menyimak cerita
Luwi ? ceritanya seru sekali, bayangkan, lagi-lagi dia dikerumuni banyak cinta
dari...”
“aku
mendengarnya, aku menyimak pembicaraan kalian.” Kataku memotong ucapan Vita.
“oh
ya ? lalu bagaimana menurutmu ? biasanya kalu selalu mempunyai saran bagus
untuk permasalahan seperti ini.” Kata Vita lagi yang disambut dengan aggukan
temanku yang lain.
Begitulah
yang selalu dilontarkan teman-temanku, sejak aku masih duduk di bangku SMP. Aku
selalu dengan senang hati mendengar curahan mereka, kemudian memberi mereka
saran terbaik yang bisa kupikirkan. Dan beruntungnya aku, saranku selalu
berhasil dan mereka puas. Dulu aku merasa begitu, puas dan senang dengan
kebahagiaan temanku apalagi bila aku yang menjadi alasannya. Tapi sekarang,
tidak. Aku tidak terlalu memikirkan apa kini saranku memuaskan mereka ? apa
mereka bahagia ? apa aku ada di dalam kebahagiaan mereka ? tepatnya, aku merasa
sebagian besar diriku menolak menerima kebahagiaan mereka. Ya, aku tak mau
peduli lagi. kenapa ? karena aku iri, karena aku sakit hati, karena aku lelah,
karena aku ingin berhenti peduli. Bukankah itu manusiawi ?
Terkadang
aku merasa dunia tak adil dan kejam padaku. Kenapa di saat teman-temanku
bahagia, aku tidak. Kenapa di saat teman-temanku bisa membicarakan tentang
mantan, pacar dan lelaki yang mengejar mereka, aku tidak. Kenapa di saat mereka
begitu merasakan banyak cinta dan kasih sayang, aku tidak. Aku selalu merasa
sendiri di antara keramaian yang mencekikku, yang menekanku, yang menyiksaku.
Aku ingin merasakan apa yang mereka rasakan barang sekali. Aku ingin merasakan
kebahagiaan di cintai, di kagumi dan di idamkan, meski hanya sebentar.
Memang,
awalnya aku menganggap semua itu tidak penting. Aku sering beranggapan bahwa
urusan percintaan itu merepotkan dan merusak semua rencanaku akan masa depanku.
Tapi sekarang, aku termakan ucapanku sendiri. Aku mulai menyadari, di usiaku
yang sudah hampir menginjak kepala dua, bahwa cinta itu di perlukan. Bahwa
mencintai dan dicintai itu diperlukan.
“tidak
ada. Aku sedang tidak bisa memikirkan apapun.” Aku tak ingin memikirkannya. Balasku, bertolak belakang antara
bibir dan batin.
“oh,
ayolah.. kau harus membantu Luwi. Lihat dia, begitu bingung dan... bingung.”
Liza menyahut iba.
Kepala
dan hatiku mulai panas. Tidakkah mereka mengerti bahwa aku jauh lebih tidak
berpengalaman dibandingkan mereka ? tidakkah mereka mengerti kesedihanku ?
tidakkah mereka mengerti keinginanku yang besar untuk berusaha tidak ingin
peduli ?
“kau
jauhi keduanya.” Kataku datar.
“apa
?” tanya mereka serentak.
“kau
ingin hidupmu tenang, kan, Luwi ? maka, jauhi keduanya.” Kataku lagi, berusaha
terdengar lebih bersahabat. Biar bagaimanapun, mereka temanku. Aku tak tega
untuk melukainya. “makan siangku sudah selsai. Kurasa aku harus pergi, sampai
ketemu besok.” Kataku, setelah itu aku berlalu meninggalkan kantin.
Setelah
meninggalkan mereka, sebenarnya aku tidak tahu kemana dan apa tujuanku. Aku
hanya ingin menyendiri. Menenangkan diriku sebelum aku bertindak diluar batas
dan melukai sekitarku. Ya, kuakui belakangan ini – beberapa bulan setelah aku
kuliah – aku selalu bersikap uring-uringan. Sebisa mungkin aku berada sejauh
mungkin dari kehidupan sosial yang terlalu mencolok. Sebisa mungkin aku
berusaha tak peduli pada problema masa mudaku yang dapat mengganggu prestasi
akademikku. Sebisa mungkin aku menjauhi kebiasaan anak muda seusiaku yang
sedang hobi merayu lawan jenisnya. Kuakui, tak sekali aku termakan rayuan
murahan seperti itu karena aku sedang lengah dan saat itu aku sedang tak
berlindung di balik tembok kokoh yang kubangun untuk kepentingan diriku
sendiri. Dan ketika saat seperti itu terjadi, maka saat itu aku semakin benci
diriku yang kurasa tak punya arti dan daya tarik. Aku memang payah.
Tak
terasa langkahku membawaku jauh ke
sudut belakang beranda gedung kesenian.
Aku tak sadar langkahku membawaku kemari dan membuatku duduk di sebuah batu
besar yang sangat nyaman kududuki. Tapi aku tak menyesal, tampat ini indah,
nyaman dan damai. Aku juga baru sadar bahwa aku hanya sendiri disini, hingga
membuatku heran mengapa tempat seindah ini begitu sepi ? mataku menjelajah
sekitar beranda itu dan mendapati kandang kelinci disitu. Dan apa yang baru
saja kubilang ? tempat ini indah ? memang. Tapi aku juga menyadari tempat ini
bau urine kelinci. Ah, tapi aku tak peduli. Yang penting aku bisa sendiri.
Aku
memejamkan mataku, merasakan hembusan angin yang membelai wajahku. Sesekali aku
dapat mencium aroma dari kandang kelinci itu, namun aroma daun dan tanah yang
basah juga mendominasi. Aku tersadar ketika mendengar suara itu, suara blitz
kamera.
“gambar
ini lain daripada biasanya.” Gumam seorang lelaki sambil mengamati gambar di
kamera DSLRnya.
“apa
maksudmu ? kenapa kau disini ?” tanyaku kesal. Kenapa Tuhan tak mengizinkanku
tenang sebentar saja ?
“gambar
ini, biasanya bagus. Hari ini jadi lebih bagus, kau tahu, mungkin karena ada
modelnya.” Guraunya sambil menunjukan gambar dikameranya dari tempatnya
berdiri.
Aku
tak membalas karena merasa tak perlu. Biarlah dia melakukan apa yang ingin
dilakukannya selama dia tak menggangguku. Mungkin sebentar lagi dia juga akan
pergi, batinku yakin.
“kau
harus membayar,” kata lelaki itu lagi, mengusikku.
“untuk
apa ? oh ya ampun, bisakah kau meninggalkanku ?”
“kalau
begitu kau harus menyewa.”
Aku
memutarkan mataku dengan kesal, “menyewa apa ? apa yang aku sewa darimu ?”
“tempat
ini dan batu yang kau duduki.” Balasnya santai sambil terus membidikan
kameranya, termasuk ke arahku.
Aku
mendengus dan berdiri menatapnya. “kau pikir tempat ini milikmu ? tempat ini
berada di wilayah kampus, berarti ini milik kampus.”
Kali
ini dia yang mendengus sambil balas menatapku. “dengar nona, tempat ini memang
berada di wilayah kampus. Namun perlu kau ketahui bahwa tempat ini sangat jauh
di jangkau kampus sehingga tidak terawat. Dan perkenalkan, aku adalah orang
yang selama ini merapikan tempat ini. Dan perkenalkan juga, itu Miko dan Mili,
penghuni tempat ini.” Katanya sambil menunjuk sepasang kelinci di dalam kandang
kayu itu.
Aku
terpana sesaat. Apa aku salah dengar ? apa ia baru saja menganggapku seperti
tamu tak di undang ? lagi-lagi aku hanya mendengus.
“baik,
begini saja. Karena suasana hatiku sedang baik, aku mengizinkanmu duduk disini
asal dengan satu syarat.” Katanya seolah aku ingin bernego.
“apa
?” tanyaku yang ternyata berani ambil pusing.
“kau
harus menjadi modelku, setidaknya sampai aku puas.” Katanya santai, membuat
terbelalak. Lebih baik aku segera pergi, batinku.
“kalau kau meninggalkan tempat ini sebelum aku puas memotretmu, maka kau harus
membayar.” Katanya seolah membaca pikiranku dan mengurungkan niatku untuk
pergi.
Aku
tak sudi mengeluarkan sepeserpun untuknya, batinku berkeras. Aku menarik nafas dengan kesal dan
mengembuskannya dengan kasar, kemudian kembali duduk.
“gadis pintar. Tenang saja,
aku tak akan menyulitkanmu. Aku fotografer lanskap, jadi aku lebih menyukai
gambar yang natural. Bersantailah seakan tak ada aku disini.”
Pikirmu mudah ? aku terlalu
peka dan mudah sekali terusik. Batinku lagi menahan kesal. Baiklah, aku akan
berusaha santai meski aku tidak yakin. Meski aku merasa aku tidak yakin tapi
ketenangan selanjutnya yang ditimbulkan lelaki itu membuatku yakin.
“tampat ini, kenapa aku
baru tahu sekarang ? kenapa tidak dari dulu saja ? kenapa aku tetap diam
sementara aku merasa tak nyaman ?” lirihku.
“sudah kukatakan tadi,
tempat ini memang tak terjangkau. Tapi tempat ini cukup indah bukan ?” tanya
seseorang di belakangku.
“kau benar, tempat ini
cukup indah untuk merenung.” Kataku dengan suara bergetar. Ah, lagi-lagi
pikiran seperti itu meruntuhkanku. Kenapa aku jadi melankolis sekali ? kenapa
aku tidak mampu berusaha lebih sabar dan menerima kenyataan ? “kenapa ? kenapa
begini ? apa yang salah denganku, Tuhan ? mengapa aku merasa tak ada yang
istimewa dari diriku ? mengapa aku merasa aku begitu malang dan menyedihkan ?
mengapa aku merasa aku hanya di permainkan ? mengapa tak ada yang menarik dari
diriku ?” pekikku sambil memukul dadaku yang terasa sakit. Tanpa sadar ternyata
aku sudah menangis.
“aku tahu manusia tidak ada
yang sempurna, tapi bisakah Kau memberiku satu kelebihan saja ? satu daya tarik
saja ? satu orang saja yang bisa mengerti aku, menyayangiku, mengisi
kekosonganku, mengatakan padaku bahwa semuanya baik-baik saja.” Kataku masih
sambil terisak. Aku menangis banyak siang itu, di tempat itu. Menumpahkan semua
yang menghimpit dadaku. Menumpahkan semua yang selama ini selalu kutata rapi
dan kusimpan sendiri.
Setelah aku merasa lebih
baik dan tenang, aku beranjak meninggalkan tempat itu, dan berhenti melangkah
ketika melihat sebotol minuman teh dan secarik kertas bertuliskan,
Aku
tak tahu suasana hatimu sedang buruk, maafkan bila aku mengganggumu. Tapi
terpaksa kukatakan, aku belum puas dengan bayaranmu. Semoga kita bertemu lagi.
*note : kau pasti tahu teh mengandung kaffein yang
menenangkan. Aku hanya punya ini, semoga kau suka.
Aku
tercenung sesaat setelah membaca surat itu, menyadari bahwa aku lupa aku tak
sendiri tadi. Dia, lelaki tadi, pasti mendengar semua racauanku. Ah, bayangkan
betapa menyedihkannya aku sekarang dimata orang yang bahkan aku tidak tahu namanya.
Keesokan
harinya, setelah kuliah selesai, aku pamit pada teman-temanku untuk segera
pulang ke rumah. Aku masih merasa belum bisa berbaur dengan mereka dengan
suasana hati yang buruk. Tapi apa yang terjadi, aku malah kembali ke tempat
kemarin, ke beranda di belakang gedung kesenian. Aku tidak mengerti kenapa,
lagi-lagi kakiku melangkah dengan sendirinya hingga aku bisa selamat sampai di
tempat ini.
Tempat
itu sepi seperti kemarin, dengan sepasang kelinci yang baru aku sadari terlihat
menggemaskan. Aku menghampiri kandang kelinci itu dan memberinya seikat
kangkung segar yang tergeletak di dekat kandang.
“kau
akan membuat mereka obesitas.” Kata suara itu mengejutkanku. Aku segera
berbalik dan berhadapan dengan lelaki tampan dengan tinggi menjulang dan
tatapan teduh.
“a-apa
?” kataku tergagap dan dengan segera melepaskan beberapa batang kangkung yang
ku pegang. “oh, maafkan aku. Aku tidak tahu.”
Dia
mengalihkan matanya dariku ke kelincinya. Lalu mengambil batang kangkung yang
kujatuhkan dan memberikannya padaku. “aku bercanda. Kau boleh memberi mereka
makan, kau mendahauluiku melakukannya. Sekarang kau harus bertanggung jawab
memberi mereka makan karena sepertinya mereka menyukaimu.”
Aku
masih tergagap, namun akhirnya aku mengangguk.
“aku
Leo. Kau ?” tanyanya sambil mengarahkan kameranya dan mulai membidikku. Awalnya
aku hendak protes, tapi tidak jadi karena aku mengingat kesepakatan kemarin.
Dia belum puas memotretku. Aku sedikit meyesal kenapa tidak lebih memilih
membayar saja, tapi aku juga tak ingin kehilangan tempat rahasiaku, kalau aku
boleh menyebutnya begitu.
“Tara.”
Jawabku berusaha terlihat santai.
“kau
dari jurusan apa ?”
“Sastra
Inggris.”
“aku
Geologi.” Katanya tanpa kutanya. Dan aku juga tidak berniat untuk berbicara
lagi, tapi lagi-lagi dia membuatku berbicara. “kenapa kau kemari lagi ?”
“aku
tidak tahu.”
“kau
pasti merasa berhutang.” Katanya dengan percaya diri.
“aku
bisa membayarmu,”
“aku
tak butuh uangmu. Aku hanya ingin modelku tetap datang sesuai kesepakatan.”
Aku
tak membantah, juga tak membalas.
“Mili
terlahir cacat – setidaknya itulah yang aku lihat saat menemukannya sepulang
mendaki gunung – kaki kirinya lumpuh. Tapi aku senang dia mau bertahan apalagi
sejak ada Miko.” Ceritanya padaku sambil tersenyum menatap sepasang kelincinya,
setelah itu dia mengeluarkan kedua kelinci itu yang patuh ditangannya. “kau mau
menggendongnya ?” tanyanya sambil mengangsurkan Mili padaku, membuat alisku
berkerut ragu. “tenang saja, aku sudah memberishkan mereka dan kandang mereka.”
Akhinya
aku menggendong Mili. Aku setuju dengan Leo. Pertama, aku tidak mencium bau
pekat urin. Kedua, sepertinya Mili benar-benar lumpuh karena yang kutahu kaki
kelinci pasti akan menendang-nendang bila tangan asing menyentuhnya. Tapi Mili
tidak, dia tidak meronta.
“dia
menyukaimu.” Katanya sambil tersenyum senang. kemudian kembali membidik
kameranya padaku. Tanpa sadar aku tersenyum merasakan situasi yang menyenangkan
seperti ini.
“kenapa
kau tidak merawat mereka dirumah ?” tanpa sadar aku bertanya. Ah, lagi-lagi aku
tanpa sadar mencemplungkan diri pada sebuah interaksi sosial. Padahal aku ingin
membatasi pergaulan, terutama dengan laki-laki. Yah, lebih untuk self defense, supaya aku tidak terlalu
sakit.
“aku
tidak tinggal di rumah. Aku kost, dan di kostanku tidak boleh ada binatang
peliharaan. Lagipula, tidak ada halaman dan itu pasti akan menyiksa mereka.”
Aku bergumam ‘oh’ dalam benakku. “bagaimana dengamu ? kau tinggal dirumah ?”
Aku
berpikir sejenak, mempertimbangkan kemungkinan terburuk dengan cara membuka
diri lagi. Sejujurnya aku masih enggan mengenal orang baru, tapi ada suatu
dorongan yang membuatku merasa aku akan baik-baik saja meski menambah satu
teman lagi. “ya, aku tinggal dengan Kakakku.”
“kau
beruntung,” katanya tanpa menatapku.
“kau
salah, aku tidak beruntung.”
“tidak,
kau beruntung. Kau hanya tidak bersykur.”
Aku
menoleh cepat. Ucapanya, begitu menamparku hingga sadar. Aku sadar itu, aku
tahu aku kurang bersyukur. Tapi aku, aku memang kurang beruntung di banding
yang lain.
“aku
sendiri di kota ini. Aku memilih berpisah sejak SMA dengan kedua orang tuaku
yang juga saling terpisah. Aku menghidupi diriku sendiri dari hobiku. Bukan
karena mereka orang tua yang jahat, hanya saja kami memiliki cara pandang hidup
yang berbeda. Jadi disinilah aku sekarang. Terkadang kami bertemu untuk saling
memastikan bahwa kami masih hidup. Setelah itu, kami berpisah lagi dan
menjalani hidup dengan impian kami masing-masing.” Jelasnya membuatku terpana
menatapnya. Aku tidak menyangka ada orang yang hidup seperti dirinya.
“maafkan
aku,” kataku lirih. Aku sendiri tak mengertimengapa aku berkata begitu.
“bukan
salahmu.” Katanya sambil terkekeh. “aku bahagia dengan hidupku.” Katanya lalu
menatapku. “maka seharusnya kau lebih bahagia dariku.”
Aku
begitu tenang mendengar ucapannya. Aku seolah merasa dia baru saja mengucapkan,
semuanya baik-baik saja.
Setelah
pertemuan hari itu, aku sering kembali ke tempat rahasia itu dan berbicara
banyak hal dengannya. Tanpa sadar sudah hampir empat bulan aku menghabiskan
sore dan meikmati senja bersama Leo. Dan semakin mengenalnya, aku semakin
kagum. Leo adalah lelaki yang baik, mandiri, tegar, kuat dan cerdas di balik
kesempurnaan fisiknya yang pasti banyak memikat wanita. Oh ya, dia juga setahun
lebih tua dariku, dan hal itu membuat aku semakin segan padanya.
Aku
merasa hari-hariku lebih lengkap semenjak aku menginjakan kaki di beranda
gedung kesenian, semenjak aku mengenal Leo, semenjak betapa aku tersanjung akan
sikap lembut dan menyenangkannya. Ah, menyadari hal itu aku pasti sudah
termakan oleh cinta lagi, dan tak lama setelah ini aku pasti akan kecewa lagi
karena sepertinya Leo tak merasakan hal yang sama denganku. Baiklah, aku terima
dan aku akan bersiap.
Hingga
suatu hari, ketika aku sedang menikmati senja dengan Leo, dia berbicara dengan
nada yang serius sekali hingga membuatku memberi seluruh perhatianku untuk
mendengarnya. Karena ini kali kali pertama aku mendengar cerita yang membuatku penasaran
dan belum pernah disinggungnya.
“aku
belum pernah bertemu dengan perempuan sepertimu. Begitu takut di dekati, begitu
menjaga jarak, begitu membuatku bingung bagaimana cara menghadapi perempuan
sepertimu. Kau membuatku, penasaran.” Katanya membuatku tak mengerti apa yang
sebenarnya ingin diutarakannya padaku. Perlahan tapi pasti, aku merasa takut
dan cemas. Pikiran negatif berkelebat dalam kepalaku dan menyuarakan, dia pasti
hanya penasaran denganmu dan sekarang dia sudah menuntaskan rasa penasarannya.
Hatiku mencelos ketika mengakui kebenaran pikiranku itu.
“mengenalmu
sungguh menyenangkan, aku tak menyesalinya dan bahkan mensyukurinya.
Terimakasih sudah hadir dalam hidupku.” Katanya lagi seolah itu adalah ucapan
perpisahan bahwa dia akan segera hengkang dari hidupku. Hatiku terasa sakit
ketika aku memikirkannya. “tapi, bolehkan aku meminta satu hal padamu ?”
Kau ingin meninggalkanku setelah kau
menuntaskan rasa penasaranmu ? ya, kau boleh. Begitu lebih baik. “apa ?”
akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.
“tunggu
aku,” katanya dengan nada yang begitu serius dan tenang.
“tunggu
? memangnya kau ingin aku menunggumu untuk apa ?” tanyaku tak mengerti. Aku
jadi meragukan pikiran negatifku.
“kau
tidak keberatan, kan ? aku tidak lama dan akan segera kembali. Setelah itu,
mungkin giliran aku yang menunggu. Oh ya, aku titip Miko dan Mili padamu untuk
sementara, rawat mereka.”
Setelah
mengatakan itu, dia pergi dan aku tak pernah melihatnya lagi. Demi Tuhan dia
bersungguh saat mengatakan aku harus menunggunya, dan sekarang itulah yang aku
lakukan. Seminggu, aku masih belum bertemu dengannya. Dua minggu, hasilnya
tetap sama. Hingga sebulan kemudian, akhirnya aku melihat hal lain di belakang
beranda. Seikat bunga edelweiss tergeletak di batu tempat aku biasa duduk
berdua dengan Leo. Aku menghampiri bunga itu dan mengambil catatan yang
tertindih di bawahnya. Tapi sayang, kertas itu kosong. Setitik harapan muncul
di hatiku, hatiku mengatakan Leo telah kemabali. Aku mencari sosoknya, tapi aku
tak melihatnya. Ya Tuhan, tidakkan dia mengerti bahwa aku merindukannya.
Aku
terpekur menatap kertas kosong itu dan bunga yang kugenggam erat, air mataku
menetes mengahadapi ketidakberdayaan ini. “aku merindukanmu Leo. Kapan kau
kembali ?”
“aku
memetik bunga itu dua minggu yang lalu, saat aku menemukannya di dekat puncak
gunung yang sedang kudaki. Bunga itu memiliki dua kesamaan dengan dirimu.
Pertama, untuk mendapatkannya sangat sulit dan aku harus berlelah dulu. Kedua
–mungkin ini hanya kesamaan yang kubuat-buat– tapi aku pernah berharap meskipun
edelweiss bunga yang abadi, aku berharap bunga itu tetap segar sebelum sampai
ke tangamu, sepertinya harapanku terkabul. Bunga itu masih terlihat segar meski
tanpa akar selama dua minggu lamanya.”
Aku
berbalik dan saat itu juga aku melihat Leo disana. Berdiri dengan senyum hangat
dan tatapan teduhnya. Aku masih terisak menatapnya, aku tak percaya aku
mengalami hal seindah ini dihidupku.
“itu
isi suratnya. Aku ingin berinovasi dengan membuat surat kertas yang bicara.”
Kemudian dia terkekeh.
“apa
maksud kemiripan poin nomer dua ?” tanyaku bingung.
“maksudku,”
dia berjalan mendekatiku dan berdiri menjulang di depanku. “aku menganalogikan
bunga itu adalah dirimu. Dan kesegaran bunga itu adalah penantianmu untukku.
Bunga itu masih segar, berarti kau masih menungguku. Bukankah begitu ?”
Aku
hanya terpana menatapnya. Sungguh, aku merindukan lelaki yang selalu merasa
percaya diri ini. Aku tak mampu berkata apapun dan aku juga tak mampu menahan
air mataku yang terus berlinang.
“Tara,
aku menunggumu. Aku menunggu kau membuka hati dan diri untukku, aku sudah
berusaha membuatmu melakukannya. Tapi aku tak yakin meski aku sudah berusaha
sekuatku.” Dia mengucapakannya sambil menangkupkan kedua tangannya yang besar
di kedua pipiku. “dan aku masih bersedia menunggu bila kau belum percaya
padaku.”
Aku
percaya padanya. Ya, aku mempercayainya karena itu yang bisa aku rasakan ketika
aku berani mempertaruhkan hatiku saat bersamanya. “aku mempercayaimu, Leo.
Terimakasih sudah menungguku.”