Ini
adalah hari ketujuh aku tinggal di Bandung, dan hari ini, aku ingin pergi
mengelilingi taman-taman di kota ini. Aku menyiapkan kamera dan iPad ku, siapa
tahu saja ada yang bisa aku abadikan. Setelah selesai semua persiapanku aku
bersiap keluar kamar dan berharap tidak berpapasan dengan salah satu atau bahkan
kedua kakakku.
“kamu maukemana, Dek ?” tanya Kak
Alven. Ialah yang paling tua di antara kami.
“mau tau aja.” Jawabku sekenannya.
Ah, urusan seperti ini akan memakan waktu. Aku melangkahkan kaki menuju tangga
untuk menuruninya.
“hei, jawab kakak. Kamu mau kemana ?
sama siapa ? kamu kan baru di sini. Nanti kalau kamu nyasar gimana ? di culik ?
di perko..”
“Kak, kakak ini pikirannya kelewatan
deh ! Aku kan bisa naik TMB atau taksi ? kalaupun aku naik angkot aku kan bisa
tanya orang.” Hardikku tak sabar. Bisa-bisanya kakakku membayangkan hal buruk
padaku yang... yang... ah, kalau kalian tak percaya dulu aku ban hitam karate
saat SD. Kuharap aku masih bisa mempraktikannya saat kuperlukan nanti.
“ada apa nih ?” tanya Kak Fuzi, yang
lebih kalem dan tidak banyak bicara. Namun sekalinya ia bicara, “like brother like sister. Kalian ini
biang onar di rumah.”
Aku memelototkan mataku padanya, dan
ia hanya tersenyum tipis. Alhasil aku
membuang muka dan bergumam tidak jelas. Oh Tuhan, kenapa ada mimpi buruk di pagi
bolong ?
“Fuzi, kamu gak sopan banget sih
sama aku ! aku kan leih tua dari kamu.”
“lima menit ? it doesn’t matter. Ayah sama Om Edi aja yang beda dua tahun bisa
enjoy.”
“ya Tuhan, kamu ini bicara seenak
mulutmu sekali Fuzi !” bentak Kak Alven yang merasa dirinyalah yang
bertanggung jawab untuk menjaga
keselarasaan di antara persaudaraan kami.
Aku mengambil kesempatan ini untuk
kabur. Selama aku tinggal seatap dengan mereka, kira-kira perlu paling cepat
sepuluh menit untuk mendamaikan pertikaian yang seperti ini. Aku mengambil
lengkah pelan kesamping, keluar dari himpitan antara Kak Fuzi dan Kak Alven.
Namun aku melupakan satu hal.
“sekali lagi kamu ngelangkah, Dek,
kamu gak boleh keluar rumah.” Kecam Kak Fuzi, membuat Kak Alven ikut-ikutan
melirik tajam padaku.
“astagaaaaa !!! kalian ini kenapa
sih ? aku ini udah besar, aku juga bisa jaga diriku sendiri.” Teriakku frustasi.
Ah, kalau begini terus mana bisa aku dapat teman. “Buuuu, Yaaaah, aku mau
pergiiiiiii !!!!” teriakku lagi, berharap ada ibu dan ayah yang akan
mendengarnya di bawah sana.
“Moniiiic, kenapa kamu teriak-teriak
sayang ? kamu ini gak tinggal di hutan.” Kata ibu memperingatiku sambil
berteriak juga.
“ibuuu, aku mau pergi. Tapi Kak
Alven sama Kak Fuzi...”
“biarlah mereka ikut sayang, biar
kamu gak nyasar.” Balas ibu dengan suara yang diturunkan oktafnya.
Kakiku menghentak bumi, pertanda aku
mulai senewen dengan hal-hal seperti ini. Kalau aku melawan dengan alasan aku
ingin mendapat teman, ibu pasti menjawab dengan raut sedih yang membuatku tak
tega untuk memberi alasan seperti itu lagi.
“Monic, dengar ibu. Dulu saat kamu
lahir, ibu merasa senang sekali. Karena akhirnya ibu punya teman di rumah. Saat
kamu kecil, ibu membayangkan kalau saat kamu besar nanti, ibu bisa mengajarimu
berdandan, curhat tentang laki-laki, belanja bareng, ke salon bareng, pokoknya
hal-hal yang biasa di lakukan perempuan. Kamulah teman ibu, sayang. kita bisa
menjadi teman, sahabat atau ibu dan anak. Selain itu, kakak-kakakmu juga
temanmu, kenapa kamu masih merasa kesepian ? bukannya temanmu di sekolah juga
banyak ?” begitulah tuturan ibu bila aku mengeluh aku ingin bermain dan mencari
banyak teman.
Dulu kupikir semuanya memang masuk
akal. Aku bisa menganggap keluargaku sebagai temanku. Tidakkan semuanya terasa
menyenangkan ? banyak anak seusiaku yang tidak bisa berteman dengan
keluarganya. Bahkan ‘berkeluarga’ dengan keluarganya sendiripun tak bisa. Tapi
beginilah yang aku rasakan saat semakin aku beranjak dewasa. Salahkah aku bila
aku ingin memiliki teman yang bisa kuajak main kemanapun ? ku ajak bicara
tentang apapun ? selain ibu, ayah, dan kedua kakakku ? oh, ayolah, aku tak
ingin kehidupan hanya selalu tentang keluargaku. Aku ingin merasakan pesta
piyama dengan teman-teman perempuanku.
Atau kencan dengan lelaki idamanku. Tapi, saat mereka pertama datang ke
rumahku, mereka selalu keberataan karena grogi atau takut pada kedua kakakku.
“dengar ? kami akan ikut denganmu.
Emangnya kamu mau kemana, Monic ?” tanya Kak Alven, menarikku dari memori masa
lalu (ralat : memori sepanjang masa).
Aku masih diam. Malas sekali untuk
menjawab. Membayangkan apa yang akan dipikirkan orang saat melihatku diikuti
kedua kakakku. Mereka pasti berpikir : hey, lihat cewek itu ! dia pasti kuper
hingga harus diikuti kakak kembarnya hanya untuk sekedar memiliki teman bicara
‘kemana lagi kita setelah ini ?’. aaaaarrrgghh !!! membanyangkannya saja
membuatku kesal.
“heh, kamu mau kemana Fuzi ?” tanya
Kak Alven yang melihat Kak Fuzi melagkahkan kaki.
“ambil jaket.” Jawab Kak Fuzi
singkat, padat dan jelas.
“kamu, tunggu di sini. Aku juga akan
mengambi jaket. Jangan pernah berpikir untuk mengambil langkah seribu. Oke ?”
kata Kak Alven memperingatkan.
“you
wish !!!” sambarku dengan muka yang mungkin sudah memerah seperti wajah Tom
yang gemas terhadap Jerry.
Dan akhirnya, disinilah aku
sekarang..
Aku kadang melangkah cepat atau lambat, tergantung dimana kedua kakakku
berada. Kalau mereka berdiri di depanku, aku melambatkan jalan. Kalau mereka di
belakangku, aku mempercepat jalanku.
Aku membidik beberapa pemandangan di
Taman Jomblo. Beberapa orang tampak
duduk berdiam diri di bangunan-bangunan kecil berbentuk persegi panjang yang
berpencar dan berjarak. Menurutku bangunan-bangunan kecil itu adalah kursi yang
hanya mampu diduduki satu orang. Mungkin karena itulah kenapa taman ini disebut
Taman Jomblo. Jelas sekali kursinya hanya bisa diduduki oleh satu orang.
Seorang jomblo.
“heh, tingali geura. Kasep he-eh ?”
kata seorang perempuan yang berdiri tak jauh dariku, pada temannya. Meski aku
bukan orang Sunda, aku bersyukur karena nenek dari ibuku adalah orang Sunda.
Jadi setidaknya aku mengerti apa yang mereka katakan. Tapi, pada siapa mereka
mengatakan hal itu ? aku menolehkan wajah untuk melihat siapa yang mereka
maksud tampan, dan pikiranku ternyata benar.
“kamu liatin apa, Monic ?” tanya Kak
Fuzi yang merasa kuperhatikan.
Aku meringis mendengar itu. Karena
pada saat itu, otomatis kedua perempuan itu melirik ke arahku dan tersenyum
minta maaf.
“nothing.
Udah sana, cari tempat lain. Gak usah ikutin aku mulu.”
“gak bisa ! Alven lagi beli minum.
Nanti kalo kamu kabur gimana ? atau kamu di bawa kabur ?”
“astagaaaaa !!! huuh haaah huuuh
haaah, terserah saja !” kataku denga nafas memburu. Apa yang ada di pikiran
kedua kakakku ini ?
Aku duduk di salah satu kursi dan
melihat-lihat hasil bidikanku. Kak Alven ikut memiringkan badannya demi ikut
melihat hasil bidikanku. Meskipun terkadang (ralat : seringkali) kedua kakakku
menyebalkan, mereka adalah kakak yang sangat baik dan hangat. Saking sangatnya
hingga terkesan berlebihan, mungkin karena kami tumbuh bersama. Dan hidup bersama.
Sama sepertiku, kedua kakakku juga tidak punya banyak teman. Bedanya mereka
sudah punya minimal dua orang mantan kekasih. Sedangkan aku, ada yang
menyatakan cinta padaku saja, kedua kakakku yang menolak cinta mereka untukku.
Kak Fuzi adalah lelaki yang dingin
meski berwajah lebih tampan dari Kak Alven. Semua perempuan yang mengenalnya
pasti penasaran padanya. Mantannya hanya ada dua dan di jomblo sekarang.
Sedangkan Kak Alven kepalang baik sama perempuan, banyak perempuan yang patah
hati karena terbawa perasaan pada sikap baiknya. Untung saja kakakku yang
paling tua ini sudah akan bertunangan.
“kenapa sih, Kak Alven gak pergi
berdua aja sama Kak Mia ? jarak kan udah gak misahin kalian lagi.”
“Mia lagi pergi sama keluarganya.
Sebelum jadi istri, dia gak lebih penting dari kamu, Dek.”
Kami tertawa mendengarnya, hatiku
terasa hangat seketika. Ah, membayangkan kakakku yang akan dimiliki perempuan
lain membuatku merasa kehilangan meski baru membayangkannya saja.
“eh, by the way, siapa yang milih taman jomblo jadi destinasi utama sih
? bukannya tadi aku bilang aku mau ke taman musik ?” tanyaku sambil menghapus
ebeberapa gambar yang blur.
“gak tau tuh, kan si Fuzi yang
nyetir. Aku kan gak jomblo kaya kalian.” Ledek Kak Alven.
Aku memalingkan wajahku cepat pada
Kak Fuzi yang masih dengan gaya tenangnya. “ini yang paling deket dari rumah.
Kalian pikir Bandung gak macet ?”
Aku dan Kak Alven hanya
manggut-manggut sambil menatap Kak Fuzi penuh arti. “uuuuuh Fuziiii !!!” kataku
dan Kak Alven bersamaan, setelah itu kami tertawa bersama.
Yap, like brothers like sister. Abis berantem, kita pasti damai lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar