Halo, nama asliku Anisa Aulia, si empunya dari blog oranye kesayanganku ini. Yang mengaku-ngaku Sunny, padahal memang benar nama penanya Sunny. Kali ini aku mau
share pengalaman terbaru, pengalaman duka di awal Ramadhan 2016 ini. Hm.. aku
akan mengawalinya dengan mengucapkan Alhamdulillah. Aku berterimakasih pada
Allah SWT yang masih memberikanku kesempatan untuk hidup hingga hari ini, dan
bisa menuliskan pengalaman ini saat ini. Percayalah, ketika aku menulis
pengalaman ini, keadaanku sudah jauh lebih baik dari awal kejadian yang ku
alami.
Hari pertama
di bulan Ramadhan, semuanya di awali dengan sesuatu yang berbau awal. Pertama,
hari senin. Kedua, hari pertama aku kembali bekerja di kantor tante. Ketiga,
hari pertama puasa. Semuanya serba pertama. Entah apa maksudnya, aku tak ada
firasat apapun tentang semua kebetulan itu. Aku menjalani hari sebagaimana
mestinya. Ya... paling tidak begitulah yang aku pikir sampai kejadian itu
terjadi dan membuatku tak habis pikir sampai sekarang, kurasa aku tidak serela
yang aku pikir.
Mama antusias
sekali terhadap hari pertama aku kembali bekerja. Berbanding terbalik dengan
ayah yang nampak setengah hati melihat anaknya mencari uang jajan sendiri.
“emangnya mau
kamu apain uangnya ?”
“tabunglah..
masa aku gak punya rekening sendiri, mam.”
Alhasil mama
mendukung aku dengan sepenuh hati, tahu sendiri anaknya banyak mau tapi punya sedikit dukungan.
Hari pertama
berkerja, hm... kalau kamu tanya gimana rasanya, rasanya deg-degan. Meski berurusan
dengantante sendiri, bukan berarti aku bebas dari omelan. Sebelumnya aku udah
pernah cerita tentang pengalaman kerjaku di blog ini, kan ? jadi ya gitu deh,
gak akan beda jauh rasanya sama aja. Tanteku tetep jadi orang yang idealis, tegas,
perfeksionis dan royal. Tapi dibalik semua sikapnya yang kadang bikin aku tahan
nafas, tanteku itu tetep orang yang baik.
Hari pertama
bekerja, hari pertama puasa pula. Sebenarnya hari ini diawali dengan sedikit
masalah yang membuatku agak kehilangan mood. Dimulai dari mama yang
mengomentari gaya pakaianku (yang menurutku pantas dan nyaman), hingga tukang
parkir rese yang mengancam tarif parkir mahal bila aku tidak menuruti kemaunnya
untuk tidak mengkunci ganda motorku. Tapi setelah itu semua, aku disambut
dengan antusias oleh para pekerja di kantor tante yang semuanya sudah ku kenal
dengan baik karena meski hampir semua laki-laki (kecuali sepupuku Lidya dan
tanteku), meski kami berbeda umur dan jaman, tapi mereka bisa menjadi teman
yang asik.
“wah, asisten
si ibu nambah satu, makin sering aja di suruh masang sama ngukur.” Celoteh salah
seorang karyawan tanteku.
“oh jelas
dong, kan biar cepet beres, Pak Jum,” balasku jenaka.
“Ca, kamu
puasa ?” tanya sepupuku Lidya.
“lagi nggak Ya,
hehe. Kamu puasa ?”
“puasa sih,
tapi gak tau. Kayanya batal deh, soalnya kaya yang belum bersih.”
“hm... cek
dulu lah. Lumayan, kita bisa godin bareng
lagi nanti.” Celetukku.
“ya udah, kamu
makan gih. Jajan aja sana, ca.”
“nggak ah Ya,
aku males. Lagian bingung mau jajan apa. Gak enak juga.”
Dari percakapan
singkatku dengan Lidya itu, entah kenapa aku langsung merasakan ada sekelebat
firasat aneh, tapi aku biarkan. Mungkin Cuma perasaan. Aku menghela nafas
berat. Padahal, kalau boleh jujur, aku sebenarnya cukup lapar dan sangat haus. Tapi
mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan, meskipun lalu-lalang aku
melihat orang makan dan minum di sekitar IBCC.
Jam-jam
yang merepotkan berlalu dengan lambat. Yap, lambat. Kadang aku merasa ingin
cepat pulang setiap kali bekerja di kantor tante. Tanteku sungguh menuntut
kecepatan dan ketelatenan. Kadang aku suka berbisik kalau sedang melayani
pelanggan tanteku, takut salah bicara. Tapi, kadang aku juga merasa waktu
berlalu dengan cepat ketika banyak sekali kerjaan yang harus kuselesaikan
dengan sepupuku. Menulis penawaran, mengirim penawaran, mengirim pesanan
barang, mengkonfirmasi pelanggan, membujuk para pekerja lapang untuk cepat
melakukan pengukuran atau pemasangan barang yang jumlahnya bisa membuat toko
tanteku terlihat bagai gudang yang sempit sekali.
Hingga
akhirnya, jam menunjukkan pukul lima. Waktunya pulang. Saat itu, di kantor
tante, aku malah seperti sedang kumpul keluarga. Omku datang dengan anaknya
yang tak lain adalah sepupuku, Shania. Selain itu, A dika dan Reza juga datang,
rencananya mereka ingin pergi gym dan mereka sudah janjian untuk kumpul di
kantor tante dan akan pergi bersama. Aku sangat antusias dengan ide itu melihat
perut buncit mereka yang... Ya Tuhan,
bukankah bagus kalau satu lingkaran besar di perut kalian berubah menjadi enam bentuk
persegi yang keras ?
Rencana,
tetaplah rencana. Kami semua sudah bersiap untuk pulang, padahal sore itu
hujan. Tidak deras, tapi cukup membuatku waspada. Aku tak suka hujan. Tapi mau bagaimana lagi ? semuanya sudah mulai
bersiap dan akan beranjak pergi. Dan akupun sebenarnya tak masalah di tinggal
sendiri, tapi aku ingin cepat pulang. Alhasil aku memakai jas hujanku dan
berkendara pulang.
Di
perjalanan, hujan mulai turun kembali. Aku sudah terima dengan resiko bajuku
yang akan basah karena jas hujanku layaknya bocor atau memang tidak tahan air. Selain
resiko itu, aku tidak memikirkan resiko lain. Perjalanan macet pun terasa wajar
mengingat jam lima sore adalah jam pulang kerja ditambah orang-orang sibuk
menambah kecepatan supaya bisa kumpul di rumah dan buka puasa hari pertama
bersama keluarga. Begitu juga dengan aku, meskipun aku sedang tidak puasa.
Aku
tidak pernah menyangka bahwa hari itu aku nyaris menjemput maut. Aku kecelakaan.
tetaptnya di dekat jalan Kawaluyaan. Seseorang menabrak motorku dari belakang
dan aku kehilangan keseimbangan hingga aku terjatuh dan tertindih motorku
sendiri. Orang-orang mulai berdatangan menolongku yang hanya berteriak
kesakitan karena tubuhku bagai ditindih batu besar. Aku marah sekali, sedih dan
juga sakit hati. Bagaimana bisa musibah ini datang di awal perjalanan liburan
panjangku ? jahat sekali si penabrak itu. Orang yang menolongku bertanya, apa
aku tahu siapa penabrak itu ? bukan hanya orang yang menolongku, tapi hampir
semua orang yang tau musibah ini, bertanya apa aku tahu orangnya ? tentu saja
tidak ! aku ini korban tabrak lari, si penabrak kabur entah kemana, bagaimana,
sendiri atau tidak, laki atau perempuan, muda atau tua, aku sama sekali tidak
tahu identitasnya. Seandainya saja aku tahu, akupun pasti akan melaporkannya
dan meminta ganti rugi. Pasalnya, orang gila mana yang mengendarai kendaraan
dengan tidak hati-hati di tengah hujan dan macet ?! sungguh gila orang itu.
Aku
menangis, tentu saja. Sakit semuanya. Hatiku sakit, tubuhku sakit. Aku tak habis
pikir semuanya akan menjadi seperti ini. Ini semua terasa sungguh keterlaluan. Aku
yang saat itu sangat terkejut dan kesakitan hanya bisa menangis dan berteriak
marah, meluapkan emosiku yang kubiarkan keluar begitu saja. Aku tak peduli, toh
aku tak akan bertemu mereka dua kali. Aku bakan sudah tak mengingat wajah orang
yang menolongku, tapi aku tak melupakan mereka. Kurasa aku tetap ingat dimana
aku diamankan pasca kecelakaan.
Seorang lelaki
menolongku, kukira dia polisi, tapi ternyata bukan. Dan aku tak ambil pusing. Dia
bertanya namaku, usia dan orang terdekat yang bisa aku hubungi. Aku mengeluarkan
ponselku yang untungnya aman di dalam tas yang kusimpan di bagasi motor. Tanganku
gemetar, tubuhku kesakitam, aku bagai tak memiliki tenaga barang untuk
menelepon orang di rumah. Dan sangat disayangkan aku tidak bisa pingsan,
padahal aku sangat ingin kehilangan kesadaran saat itu.
Aku menelepon
mama, meski aku tahu itu bukan ide yang bagus. Tapi dalam beberapa nada
sambung, panggilanku terjawab. Aku.. yang sebenarnya memiliki luka paling parah
di mulut, berusaha bisa. Sedih sekali mengingat gigiku yang patah karena
kejadian ini. Bicara saja susah. Suaraku gemetar dan belum terkendali. Bicaraku
kacau. Mulutku penuh darah dan liur, juga mulai membengkak. Sambil menangis aku
melaporkan keadaanku pada mama. Aku tak begitu jelas mendengar ucapan mama di
telepon, tapi yang aku tahu pasti, mama pasti panik dan cemas.
Mengetahui kondisiku
yang mulai lemah, sangat tidak berdaya dan terus menangis, lelaki yang
menelongku itu menjelaskan kondisiku pada mama. Kurasa mama mengerti dan
percakapan via telepon itu terhenti.
“kamu tunggu
ya, nanti habis ini ke rumah sakit. Tadi mama kamu kan ? dia lagi di perjalanan
kesini.” Hiburnya berusaha menenangkanku. “sudah, jangan menangis terus. Adek tetap
cantik kok.”
Aku semakin
keras menangis. Bagaimana bisa kondisi seperti ini tetap disebut cantik ?
gigiku patah dan bibirku bengkak. Belum lagi kepalaku yang sakit dan tubuhku
yang bagai remuk akibat tertindih motor kesayangan sendiri. Setelah tangisku
reda, dan aku mulai tenang, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Toh aku
masih bisa jalan meski kepayahan, motorku juga sepertinya masih bisa
dikendarai. Tapi lelaki itu bagai bisa membaca pikiranku.
“motor kamu
aman. Spionnya yang copot juga sudah disimpan. Habis ini kamu ke Al-Islam ya, Dek.”
Aku menggeleng.
Aku gak mau ke rumah sakit.
Orang itu
terperanjat. Mulai kesal. “kalau adek gak ke rumah sakit, lantas adek mau
kemana ? ini harus segera di obati.” Cerocosnya yang membuatku menangguk-angguk
saja, patuh.
Tak lama
kemudian, ayah dan mama datang menjemput, menggunakan motor. Mama mengambil
motorku, sementara ayah mengantarku ke rumah sakit. Aku langsung dilarikan ke
IGD. Meskipun berlabel Gawat Darurat, tetap saja pelayanannya tidak “segawat”
yang tertulis di pintu masuknya. Begitu lama aku menunggu untuk mendapatkan
penanganan. Padahal aku sudah ingin sekali merobek celana jeansku dengan
gunting operasi dan melihat luka yang sedari tadi sudah berdenyut minta di
atasi.
Setelah dokter
memerika keadaanku, aku bersyukur keadaannya tidak parah. Tidak ada luka sobek,
hanya memar dan lecet. Tapi ya, menurut perawat lemah lembut yang mengobatiku,
gigiku harus disambung supaya terlihat seperti normal lagi. Meskipun aku tidak
bisa segera mendapatkannya karena bibirku masih bengkak. Makan dan bicarapun sulit
sekali !
Bicara soal makan,
aku merasa sangat menyesal karena tidak mengikuti saran Lidya yang menyuruhku
makan saat di kantor tadi. Sekarang aku sangat kepayahan barang untuk
mengenyangkan perut kecilku. Alhasil aku hanya bisa makan bubur bayi begitu
sampai di rumah. Rasanyapun jadi tak enak, dan tidak kenyang. Aku merana sekali
begitu sampai di rumah. Aku masih terus menangisi keadaan yang terasa sangat
tidak menguntungkan. Gigiku patah, hilang, aku langsung merasa keberuntungan
sangat tidak berpihak padaku. Bagaimana bisa aku kehilangan gigi di usiaku yang
baru sembilan belas tahun ? menunggu tumbuh lagi pun rasanya mustahil, jadi tak
ada jalan lain selain disambung. Sungguh ironis !
Namun yang
paling penting, aku selamat. Aku masih di beri umur panjang, masih di beri
kesempatan untuk belajar lebih baik, memahami tentang hidup yang sebenarnya
dari setiap pengalaman yang aku dapatkan. Karena itulah proses belajar yang
sesungguhnya. Aku terus berusaha merelakan semua kejadian ini, semuanya sudah
terlanjur terjadi dan sudah berlalu. Tidak perlu menyesal. Toh semua ini bukan
akhir. Allah SWT sungguh menyayangiku. Ia membiarkanku menerima semua cobaan
ini karena Ia tahu aku adalah perempuan yang kuat dan mampu menanggung ujian
ini. Dan ya, kurasa sejauh ini aku berhasil menjalaninya. Hal ini tidak
terlepas dari dukungan keluargaku yang sangat mencintaiku tanpa syarat, yang
menyayangiku dengan tulus dan sepenuh hati. Aku sangat beruntung memiliki mereka.
Terimakasih semua, terimakasih Mama dan Ayah, aku sayang kalian.