Klik !
Layar ponselku hitam dalam sekejap, lantas aku
meletakannya di atas nakas samping tempat tidurku. Aku lelah, tapi aku lega,
akhirnya semua ini telah usai. Aku menatap langit-langit kamarku, sementara
pikiranku sampai saat itu setidaknya masih kosong. Namun, apa kalian sadar ?
semakin lama kalian diam, melamun dan terpekur memperhatikan satu hal,
sebenanrnya hanya ada dua kemungkinan hal yang akan terjadi setelah kalian
melakukan hal itu. Pertama, pikiran yang tak di undang seketika menghinggapi
otak kalian. Atau yang kedua, kalian merasa tenang dan damai. Maka, dalam
ceritaku ini, hal pertamalah yang terjadi padaku. Malang memang !
Ponselku mendentingkan dengan lembut bunyi kristal . Aku terkesiap. Bukankah aku
sudah mematikan koneksi datanya ? pikirku pada diriku sendiri. Aku memeriksa
pesan masuk di salah satu sosial mediaku. Ah astaga, aku lupa kalau aku baru
saja mengirimkan curhat colonganku di grup kumpulan sahabatku.
That’s all. Menurut
aku semuanya udh selesai. It’s over !
Ternyata mereka menanggapi cuhat colongaku dengan ucapan
syukur.
Alhamdulillah
Naha ? pegat ? tadi hujan dordar gelap nya L
Yang terbaik adalah itu ca.
Selepas itu, mereka
berusaha menguatkan aku. Mereka memintaku cerita, dan aku ingin, tapi aku tidak
tahu apa yang harus diceritakan. Karena tidak ada cerita. Tidak ada lagi. Entah
sejak kapan, dimatanya kami mungkin sudah jauh sejak lama telah berakhir.
Hahahahahaha
Aku ingin tertawa, juga ingin menangis. Dia pasti sudah
gila ! atau mungkin aku yang gila ?! ya Tuhan, katakan bahwa semua ini tidak
akan membuatku gila. Dan tentu saja tidak, aku tak akan membiarkannya. Aku
mengenal diriku sendiri sebagai sosok yang kuat dan mandiri. Setidaknya, aku
tidak akan membiarkan orang melihatku menderita atau kepayahan menghadapi kesedihan.
Tapi,
Dia pasti sudah gila !
Mengingat kejadian lima belas menit yang lalu, membuat
tubuhku bergetar hebat. Lebih hebat dari yang aku duga. Aku terguncang. Astaga,
aku tak mengira aku akan sesedih dan
seterpukul ini ! aku tak mengira bahwa dampaknya ternyata sebesar ini. selama
ini, aku tak pernah percaya pada kiasan-kiasan yang berlebihan dalam sebuah
lagu atau kutipan picisan tentang cinta. Tapi kini aku mengerti apa yang di
maksud dengan Cinta Ini Membunuhku, Seluruh Nafas Ini, Jangan Ada Angkara, atau
bahkan All of Me sekalipun ! aku juga seketika mengerti apa yang disebut mati perlahan, nafas yang direnggut, dan
kalimat lebay lainnya. SEKARANG AKU MENGERTI ITU SEMUA !
Aku benar-benar mengerti ketika aku mulai merasa bahwa
nafasku seperti sedang direnggut, bahwa aku sedang di bunuh perlahan-lahan,
bahwa aku seperti tidak sedang bernafas dan bahwa dada ini... sakit seakan
diremukkan oleh tangan kosong. Semuanya karena Si Gila itu !
Ya Tuhan, aku benar-benar menangis malam itu. Aku
benar-benar merasa hancur. Aku merasa seakan aku tidak ingin lagi peduli dengan
hal apapun. Mengecewakan. Semuanya mengecewakan ! apapun yang aku lihat, yang
aku rasakan, semuanya menyakitkan. Bahkan terlalu menyakitkan. Aku ingin marah,
tapi pada siapa ? satu-satunya orang yang paling pantas aku marahi bagai hilang
di telan bumi.
Tapi, baguslah !
Telan saja dia, bumi ! biar dia juga tahu seberapa sakit
luka yang dia berikan padaku.
Malam itu, aku berusaha menguatkan diri. Aku memaksakan
diriku untuk tidak bersedih, bahkan untuk tidak meneteskan lagi air mata yang
selama ini pernah aku tumpahkan untuknya. Tidak lagi ! jangan lagi-lagi !
Tapi ternyata aku tidak cukup kuat, lagi, aku menumpahkan
air mataku. Ku bilang, biarkan saja, hanya untuk malam ini. Akhirnya, aku
membiarkan diriku menangis malam itu. Lagi. Dan nyaris seperti histeris bagai
orang depresi. Aku tak tahan. Ini semua terlalu menyakitkan. Antara kenyataan
dan harapan, semuanya bagai kaset rusak yang kusut. Tanpa Si Gila itu tahu, aku diam-diam memiliki cita-cita yang indah
bersamanya. Aku menyimpan rapi semuanya, untuk kami. Tapi aku lupa, bukankah
cita-cita bersama harusnya di
wujudkan bersama ? ya, matilah aku ! aku terlalu gengsi, aku
terlalu idealis. Mana ada cita-cita bersama
diwujudkan seorang diri ?
Ya Tuhan, aku benar-benar menangis malam itu. Tubuhku
bergetar hebat. Aku duduk di atas tempat tidurku. Memeluk lututku dan terus
menangis. Membiarkan semua rasa sakit ini tercurahkan memlalui air mata. Biar
hanya Tuhan saja yang melihat betapa tak berdayanya aku malam itu.
Tubuhku bergetar hebat. Aku menginginkan dekapan. Tapi
mengingat akan nyamannya sebuah dekapan ketika menangis, malah membuat
tangisanku semakin deras. Aku menginginkan sebuah dekapan disaat dekapan
terbaik yang pernah aku rasakan tidak akan pernah bisa aku rasakan kembali.
Sialan, dekapan Si Gila itu ternyata
candu ! aku menangis semakin kencang.
Malam ini aku hanya seorang diri. Siapalah yang ingin
mendekapku. Aku hanya bisa mendekap diriku sendiri, dalam ketidakberdayaan. Aku
berusaha mengumpulkan kembali kekuatanku, berdoa pada Tuhan, semoga luka ini
cepat mengering dan pulih. Meski aku tahu bahwa bekasnya tidak akan pernah
menghilang. Tapi, tak masalah. Biar suatu saat dia lihat sendiri bekas luka
ini. Biar dia lihat sendiri bahwa dia telah melukai hati yang telah berusaha
sebaik mungkin untuk menjadi yang terbaik di matanya. Biar dia tahu sendiri
bahwa ada hati yang telah ia khianati.
Aku merebahkan tubuhku kembali di atas tempat tidur. Aku
mulai kelalahan setelah menangis seperti orang kesetanan. Aku ingin tidur dan
melupakan semuanya, untuk sedikit waktu. Tapi sebelum aku memejamkan mataku,
aku memeriksa kembali ponselku, memastikan tidurku tidak akan terganggu. Tanpa
sengaja, aku membuka ruang percakapanku dengan Si Gila. Belum dibaca.
Aku mendesahkan nafas panjang dan dalam, berusaha
menenangkan pikiranku supaya cepat tertidur.
Kau hanya belum
mengerti bahwa mempertahankan dan berjuang sendiri itu tidak mudah, pikirku
lelah sebelum kesadaranku direnggut dariku.