Aku tak mengerti. Kepergiannya, begitu berdampak besar
untuk kelangsungan hidupku. Aku termenung. Tanpa aku sadari, rintik air mata
menetes membasahi kedua lenganku yang saling bergelung satu sama lain. Entah
sudah berapa lama aku memutar kembali kenangan itu, lagi dan lagi, hampir
selama sebulan terakhir ini. Rasanya, baru kemarin aku merasakan kebahagiaan
itu. Muka memerah karena rasa bahagia yang membuncah. Kupu-kupu yang
bertebangan di perutku. Juga debar jantung yang sulit ku kendalikan saat aku
bersamanya. Seperti itulah manusia yang sedang kasmaran. Semuanya terasa begitu
indah, sempurna dan benar. Seolah kau tak ingin lagi untuk melangkahkan
langkahmu ke depan, atau mundur. Cukup sampai di titik kebahagiaan itu, dan kau
tak menginginkan yang lain lagi.
Rinai hujan di luar semakin mendukung suasana. Kepulan
uap hangat melayang-layang di atas cangkir coklat panasku. Rasa dingin dari
udara di sekitarku menusuk leherku yang tidak tertutupi rambut, menjalar ke
dadaku dan membekukan asa di hatiku. Lantunan lagu yang pernah dia nyanyikan
untukku juga terus berputar, dari sejak aku membuat coklat panas, hingga
sekarang.
Aku masih ingat betul semuanya. Aku ingat suaranya yang
agak nyaring meski masih berat, suara laki-laki pada umumnya. Suara tawanya
yang bisa membuatku ikut tertawa juga, aku masih mengingatnya betul. Termasuk
saat ia mengucapkan kalimat perpisahan itu.
“aku harus pergi.” Katanya, melalui telepon genggam, dari
sebrang ujung sana. Jauh sekali.
“kemana ? apa ada acara hari ini ?” tanyaku. Harusnya ia
libur, tapi ternyata dia akan pergi.
“Manhattan. Proyekku.”
Hening.
“berapa lama ?”
“aku tidak tahu pasti, tapi mungkin paling cepat tiga
tahun.” Katanya. Aku mendengarnya menghembuskan nafas panjang dan berat. Seakan
ia sulit dan lega untuk mengatakannya.
“apa kau akan..”
“Nadia, selama waktu itu, aku tak akan bisa kembali ke
negara ini.”
“begitu..”
“kau selalu tahu bahwa,”
“aku tahu. Aku tahu.”
“maafkan aku. Ini juga sulit untukku. Aku ingin sekali
mengajakmu, tapi kau tak akan mau, bukan ? kau juga tahu bahwa ini adalah
cita-citaku. Nadia, apa kau mendukungku ?”
Aku terdiam. Bukan sedang memikirkan jawaban, tapi aku
sulit mengatakannya saat ini. kau tak
perlu bertanya, kau tahu kalau aku selalu mendukungmu. “pergilah, kau tahu
aku akan tetap disini.”
“dengar, kau bisa mencoba untuk melanjutkan studi
desainmu disana.”
“aku harus menjaga ibuku juga, kau ingat ?”
Lagi-lagi hening. “maafkan aku.”
“pergilah, aku mendukungmu.”
Aku tahu sambunga telepon tak terputus saat itu, tapi ada
hening panjang yang mendebarkan. Aku juga tahu kalau ia sama cemasnya
sepertiku. Tapi, ia selalu lebih pandai menutupinya. Dan itulah yang juga aku
pelajari darinya. Mencoba terlihat tegar.
“kau selalu bisa mencari penggantiku.”
“diamlah..”
“aku tak pernah melarangmu untuk pisah dariku kalau kau
mau.”
“hentikan.”
“kau tahu, aku akan baik-baik saja.”
“apa-apaan kau ini ?!” teriakku histeris. “apa kau sadar
apa yang baru saja kau ucapkan, ha ? apa aku bagimu ? bagimu, apa yang telah
kita lalui selama ini ? kau menganggapnya sampah ? kau membuangnya begitu saja
?”
“kau ingin aku menjawab semua pertanyaan itu ?” tanyanya.
Lagi-lagi itu yang selalu di tanyakannya bila aku melemparinya serentetan
pertanyaan yang berputar di kepalaku.
“lebih bagus bila kau menjawabnya.” Jawabku dengan suara
dan emosi yang lebih terkendali.
“iya, aku sadar. Kau adalah orang yang aku cintai,
selamanya akan tetap begitu. Bagiku, semua ini adalah anugerah untukku. Tidak
dan tidak.” Jawabnya tenang, tanpa ada getaran di suaranya sedikitpun. Berbeda
denganku. “tidurlah, sudah hampir tengah malam, sayang.”
“aku tak ingin tidur.” Lirihku. Aku benci saat dia
mengatakan itu. “kau tahu, untuk bertemu dengamu adalah hal yang sulit. Dan
sekarang, kau ingin menambah jarak lagi denganku ? pintar sekali.”
“Nadia..”
“selamat malam.”
Begitulah akhir cerita kami. Sungguh akhir yang
menyedihkan. Keesokan harinya, dia datang ke rumahku. Sengaja. Dia membujuk
ibuku untuk bisa bertemu denganku, tapi aku sudah melarang ibuku untuk
membiarkannya bertemu denganku. Hari itu, aku merasa hampa seketika. Aku merasa
ada yang hilang. Aku merasa sedih tak terkira, selama beberapa minggu. Hingga
akhirnya aku mampu bangkit kembali dan melanjutkan hidupku. Tanpanya, dan tanpa
yang lain.
Laki-laki bodoh. Kau sia-siakan aku begitu saja. Kau
begitu naif dengan hidupmu sendiri. Aku mengutuknya, tak lagi memujinya seperti
biasa. Namun saat itu aku sadar. Aku juga sama bodohnya dengannya. Aku
menertawakan diriku sendiri atas kehancuran yang disebakan oleh diriku sendiri.
Baru kali ini, aku ingin bisa memutar waktu. Aku rela melepaskan karirku
disini, merintisnya lagi dari awal disana, bersamanya. Asalkan bersamanya. Lalu, bagaimana dengan ibuku ? ibu
merelakanku untuk ikut dengannya. Ibu bahkan memarahiku karena hal itu. Ia juga
menyesal telah melarang dia bertemu
denganku. Dan setelah memikirkan hal itu, aku baru menyesal. Amat sangat
menyesal.
“sudahlah, kau tahu sendiri bahwa rencana Tuhan lebih
bagus dari rencanamu.” Begitulah cara ibu menghiburku setiap kali aku terkenang
dirinya.
Dia, adalah lelaki biasa. Namun jauh dalam dirinya, ada
banyak hal yang akan membuat orang mudah menyukainya. Mungkin aku salah satu
yang menjadikan hal itu sebagai alasan mengapa aku... mencintainya.
Telepon genggamku yang tergeletak di sampir cangkir
coklatku begetar halus. Aku malas untuk memerikasanya, tapi ada satu dorongan
aneh yang membuatku ingin memeriksanya. Aku meraih ponselku dengan malas dan
menyalakannya. Ada satu email. orang
ini...
Peraih
Piala Oscar : hujan, dingin, bukankah
lebih baik kalau kau cepat meminum coklatm itu ? atau lari menuruni tangga dan
duduk di sofa, dekat dengan mesin penghangat. Denganku juga.
Jantungku berdegup kencang lagi. Demi apapun, aku
merindukan hal ini, aku rindu degup jantungku yang sulit ku kendalikan ini.
Tapi aku takut untuk sekedar berharap, aku sudah tak pernah lagi berharap.
“lama sekali menunggumu turun. Jadi aku memutuskan aku
yang naik. Tidak dingin, Non ?” suara itu
lagi. Aku bisa mendengar suara itu lagi. “kau tak ingin melihatku ?” aku
sangat ingin melihatnya. Tapi, apakah aku boleh ?
Lengan kokoh itu melingkar di bahuku, memelukku dengan
hangat. Masih sama seperti yang pernah aku rasakan sebelumnya. “harummu masih
sama, dan aku merindukanya.”
“aku tak pernah menggantinya.” Balasku bangga. “kau
pulang ?”
“ya, sekarang aku sudah pulang. Dan tak akan pergi lagi.”
“sayang,” panggilku dengan suara bergetar.
“ya ?”
“aku senang, semuanya masih tetap sama.”
“kalau begitu, akupun sama.” Dia mencium puncak kepalaku.
Aku sekarang tahu, aku tak akan lagi berkeinginan untuk memutar waktu. Semuanya
akan selalu berjalan sebagaimana seharusnya. Bukankah begitu ?
end